https://t.me/menebar_cahayasunnah
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa di samping muhasabah, obat yang lain bagi jiwa yang ammarah bis-su’ adalah mukhalafah, yakni menentang hawa nafsu atau keinginan jeleknya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (an-Nazi’at: 40—41)
Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya, memperingatkan jiwanya dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang haram.”
Sahl rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan keinginan buruk jiwa adalah kunci surga. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ
‘Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)’.” (an-Nazi’at: 40—41)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu mengatakan, “Kalian sekarang berada pada zaman yang kebenaran menuntun hawa nafsu. Akan datang nanti sebuah masa ketika hawa nafsu yang justru menuntun kebenaran. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari zaman tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Al-Alusi rahimahullah dalam tafsirnya juga menerangkan,
“…. (Arti ayat di atas) adalah memperingatkan jiwanya dan menahannya dari kemauan-kemauan yang membinasakan, yaitu condong kepada syahwat.
Demikian pula meluruskan jiwanya dengan kesabaran, membiasakannya untuk mengutamakan kebaikan, tidak membiasakannya dengan hiasan dunia dan kembang-kembangnya.
Dia tidak terkecoh oleh gemerlap dunia dan hiasan-hiasannya karena mengetahui betapa jeleknya akibatnya.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dan Muqatil rahimahullah mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah seseorang yang berkeinginan melakukan maksiat dan teringat kedudukannya saat dihisab di hadapan Rabbnya lantas dia takut lalu meninggalkan maksiatnya.
Kata al-hawa (seperti dalam ayat) asalnya bermakna al-mail (kecondongan, kemauan, keinginan, hasrat).
Namun, kata ini menjadi populer untuk menyatakan makna kecondongan atau keinginan kepada syahwat.
Dengan demikian, segala keinginan kepada syahwat disebut al-hawa (Ind: nafsu syahwat). (Kata kerja hawa juga bermakna terjun. Jadi, nafsu syahwat dinamakan demikian) karena hal itu akan mengempaskannya kepada segala yang lemah di dunia dan kepada jurang yang dalam di akhirat.
Oleh karena itu, orang yang menentang hawa nafsunya menjadi terpuji. Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Apabila engkau ingin kebenaran, lihatlah hawa nafsumu lalu selisihilah.’
Al-Fudhail rahimahullah mengatakan, ‘Seutama-utama amalan adalah menentang hawa nafsu….’
Keburukan mengikuti hawa nafsu dan kebaikan dalam hal menyelisihinya adalah dua hal yang hampir mesti.
Akan tetapi, orang yang tidak menurutinya hanya sedikit, selain para nabi dan beberapa ash-shiddiqin (yang sangat jujur dalam beriman). Beruntunglah orang yang selamat darinya.” (Ruhul Ma’ani)
Mengendalikan jiwa adalah sifat orang yang cerdas
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Orang yang cerdas akan menahan jiwanya dari sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan dan syahwat yang mewariskan penyesalan. Cukuplah ukuran ini sebagai pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi hawa nafsu.” (Dzammul Hawa)
Nabi Yusuf alaihis salam adalah salah satu teladan dalam hal menentang hawa nafsu dan keinginan jiwa yang tidak baik.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Nabi Yusuf tergolong ‘orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya’.”
Sesungguhnya, Yusuf waktu itu adalah seorang yang muda dan bujang. Dia tertawan di negeri musuh.
Di sana tidak ada kerabat dan teman yang ia merasa malu terhadap mereka apabila melakukan perbuatan keji.
Sebab, sebagian besar manusia akan terhalangi melakukan perbuatan-perbuatan jelek oleh rasa malunya terhadap orang yang dia kenal.
Jadi, apabila mengasingkan diri, seseorang akan melakukan apa saja yang diingini oleh hawa nafsunya.
Nabi Yusuf alaihis salam saat itu juga hanya berdua sehingga tidak takut kepada siapa pun. Menurut hukum nafsu ammarah—apabila nafsu beliau demikian—mestinya beliaulah yang merayu-rayu (istri raja). Bahkan, mestinya beliaulah yang membuat tipu daya untuk meraihnya, sebagaimana kebiasaan mayoritas orang yang berhasrat kepada wanita-wanita bangsawan apabila tidak mampu secara langsung mengajaknya ‘berbuat’.
Adapun apabila dia diajak atau diminta, walaupun yang meminta itu seorang wanita pembantu, tentu dia menyambutnya dengan segera.
Lantas, bagaimana apabila yang memintanya adalah tuan yang menguasainya, yang dia takut menyelisihi perintahnya?
Ditambah lagi suaminya _yang seharusnya marah besar kepada istrinya_ ternyata tidak menghukumnya.
Justru Yusuf-lah yang diperintah untuk menyingkir, sebagaimana seorang dayyuts (yang tidak punya cemburu) berteriak.
Apalagi, wanita tersebut meminta bantuan wanita-wanita lain dan memenjarakan Yusuf.
Namun, Nabi Yusuf alaihis salam mengatakan sebagaimana firman Allah,
قَالَ رَبِّ ٱلسِّجۡنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدۡعُونَنِيٓ إِلَيۡهِۖ وَإِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّي كَيۡدَهُنَّ أَصۡبُ إِلَيۡهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ
Yusuf berkata, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)
Hendaknya seorang yang cerdas memperhatikan faktor-faktor yang mendorong wanita tersebut untuk mengajak Yusuf kepada apa yang dia ajak:
terpenuhinya segala sarana,
kuatnya ajakan sang wanita,
tiada yang memalingkannya apabila dia melakukannya,
tidak ada pula makhluk yang menyelamatkannya dari perbuatan tersebut
(Namun, Nabi Yusuf alaihis salam tetap menolaknya –pen.).
Ini semua untuk menjelaskan bahwa ujian yang diberikan kepada Yusuf alaihis salam termasuk ujian yang sangat besar.
Demikian pula, ini menjelaskan bahwa ketakwaan dan kesabaran Yusuf alaihis salam dalam menahan diri dari maksiat termasuk kebaikan dan ketaatan terbesar.
Sungguh, jiwa Yusuf alaihis salam termasuk jiwa yang paling bersih. Bagaimana dia mau mengatakan,
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Allah Mahatahu bahwa jiwanya bersih, bukan jiwa yang ammarah bis-su’ (suka menyuruh kepada kejelekan). Bahkan, jiwa beliau termasuk jiwa yang paling suci.
Hasrat yang sempat ada pada beliau justru menambah kesucian jiwa dan ketakwaannya.
Dengan sempat munculnya hasrat itu lantas beliau tinggalkan karena Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh menambah satu kebaikan yang termasuk kebaikan yang sangat besar yang menyucikan jiwa. (Majmu’ Fatawa bagian tafsir dengan sedikit diringkas)
Itulah salah satu gambaran indah dalam hal melawan keinginan jiwa.
Dengan itu, jiwa semakin suci, kedudukan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala pun semakin tinggi.
Bahkan, untuk mencapai tingkatan yang lebih sempurna, tidak cukup hanya melawan kemauan jeleknya.
Akan tetapi, dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk membekali jiwa dengan amalan-amalan saleh.
Itulah yang diistilahkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dengan jihadun nafs.
Wallahua'laam..
https://asysyariah.com
✒️Oleh Ustadz Qomar Z A.
📗 Dari kitab Al Fawaid hlm,177-178..
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.