Tuesday, July 5, 2022

Puasa Arafah Berbeda dengan Hari Arafah

 

https://chat.whatsapp.com/BNpY43aWZNUB6jgGXdxFfu ikhwan

Jika terjadi perbedaan dalam menentukan tanggal 9 Dzulhijjah, antara pemerintah Indonesia dengan Saudi, mana yang harus diikuti? Kami bingung dalam menentukan kapan puasa arafah?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,

Pertama, puasa arafah mengikuti wuquf di arafah.

Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah (Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiyah) Arab Saudi. Mereka berdalil dengan pengertian hari arafah, bahwa hari arafah adalah hari dimana para jamaah haji wukuf di Arafah. Tanpa memandang tanggal berapa posisi hari ini berada.

Dalam salah satu fatwanya tentang perbedaan tanggal antara tanggal 9 Dzulhijjah di luar negeri dengan hari wukuf di arafah di Saudi, Lajnah Daimah menjelaskan,

يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوماً قبله فلا بأس

Hari arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa arafah dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika anda ingin puasa arafah, maka anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika anda puasa sehari sebelumnya, tidak masalah. (Fatawa Lajnah Daimah, no. 4052)

Kedua, puasa arafah sesuai tanggal 9 Dzulhijjah di daerah setempat

Karena penentuan ibadah yang terkait dengan waktu, ditentukan berdasarkan waktu dimana orang itu berada. Dan hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga penentuannya kembali kepada penentuan kalender di mana kaum muslimin berada.

Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Utsaimin. Beliau pernah ditanya tentang perbedaan dalam menentukan hari arafah. Kita simak keterangan beliau,

والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا )

Yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.

Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا

Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, volume 20, hlm. 28)

Dari keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa perbedaan penentuan hari arafah, kembali kepada dua pertimbangan:

Pertama, apakah perbedaan tempat terbit hilal (Ikhtilaf Mathali’) mempengaruhi perbedaan dalam penentuan tanggal ataukah tidak.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam menentukan tanggal awal bulan, kaum muslimin di seluruh dunia disatukan. Sehingga perbedaan tempat terbit hilal tidak mempengaruhi perbedaan tanggal.

Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan mathali’ mempengaruhi perbedaan penentuan awal bulan di masing-masing daerah. Ini meruakan pendapat Ikrimah, al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, Imam Malik, Ishaq bin Rahuyah, dan Ibnu Abbas.  (Fathul Bari, 4/123).

Dari dua pendapat ini, insyaaAllah yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat kedua. Adanya perbedaan tempat terbit hilal, mempengaruhi perbedaan penentuan tanggal. Hal ini berdasarkan riwayat dari Kuraib – mantan budak Ibnu Abbas –, bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits (Ibunya Ibnu Abbas) pernah menyuruhnya  untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.

Kuraib melanjutkan kisahnya,

Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku

“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.

“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.

“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.

“Ya, saya melihatnya dan  masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa.” Jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan,

لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه

“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”

Kuraib bertanya lagi,

“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”

Jawab Ibnu Abbas,

لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580, Nasai 2111, Abu Daud 2334, Turmudzi 697, dan yang lainnya).

Kedua, batasan hari arafah

Sebagian ulama menyebutkan bahwa puasa arafah adalah puasa pada hari di mana jamaah haji melakukan wukuf di arafah. Tanpa mempertimbangkan perbedaan tanggal dan waktu terbitnya hilal.

Sementara ulama lain berpendapat bahwa hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga sangat memungkinkan masing-masing daerah berbeda.

Ada satu pertimbangan sehingga kita bisa memilih pendapat yang benar dari dua keterangan di atas. Terlepas dari kajian ikhtilaf mathali’ (perbedaan tempat terbit hilal) di atas.

Kita sepakat bahwa islam adalah agama bagi seluruh alam. Tidak dibatasi waktu dan zaman, sebelum tiba saatnya Allah mencabut islam. Dan seperti yang kita baca dalam sejarah, di akhir dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, islam sudah tersebar ke berbagai penjuru wilayah, yang jarak jangkaunya cukup jauh. Mekah dan Madinah kala itu ditempuh kurang lebih sepekan. Kemudian di zaman para sahabat, islam telah melebar hingga dataran syam dan Iraq. Dengan alat transportasi masa silam, perjalanan dari Mekah menuju ujung wilayah kaum muslimin, bisa menghabiskan waktu lebih dari sebulan.

Karena itu, di masa silam, untuk mengantarkan sebuah info dari Mekah ke Syam atau Mekah ke Kufah, harus menempuh waktu yang sangat panjang. Berbeda dengan sekarang, anda bisa menginformasikan semua kejadian yang ada di tanah suci ke Indonesia, hanya kurang dari 1 detik. Sehingga orang yang berada di tempat sangat jauh sekalipun, bisa mengetahui kapan kegiatan wukuf di arafah, dalam waktu sangat-sangat singkat.

Di sini kita bisa menyimpulkan, jika di masa silam standar hari arafah itu mengikuti kegiatan jamaah haji yang wukuf di arafah, tentu kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh dari Mekah, tidak mungkin bisa menerima info tersebut di hari yang sama, atau bahkan harus menunggu beberapa hari.

Jika ini diterapkan, tentu tidak akan ada kaum muslimin yang bisa melaksanakan puasa arafah dalam keadaan yakin telah sesuai dengan hari wukuf di padang arafah. Karena mereka yang jauh dari Mekah sama sekali buta dengan kondisi di Mekah.

Ini berbeda dengan masa sekarang. Hari arafah sama dengan hari wukuf di arafah, bisa dengnan mudah diterapkan. Hanya saja, di sini kita berbicara dengan standar masa silam dan bukan masa sekarang. Karena tidak boleh kita mengatakan, ada satu ajaran agama yang hanya bisa diamalkan secara sempurna di zaman teknologi, sementara itu tidak mungkin dipraktekkan di masa silam.

Oleh karena itu, memahami pertimbangan di atas, satu-satunya yang bisa kita jadikan acuan adalah penanggalan. Hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, dan bukan hari jamaah haji wukuf di Arafah. Dengan prinsip ini, kita bisa memahammi bahwa syariat puasa arafah bisa dipraktekkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia tanpa mengenal batas waktu dan tempat.

Puasa Arafah Sudah Ada Sebelum Ada Wukuf di Arafah.?

Benarkah puasa arafah sudah ada sebelum adanya wukuf di arafah? Ini terkait penentuan kapan puasa arafah yg benar.

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa puasa arafah sudah ada sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wukuf di arafah.

Diantaranya, hadis riwayat Nasai dari salah satu istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali kamis. (HR. Nasai 2429 dan dishahihkan al-Albani).

Kemudian, dalam hadis dari Maimunah Radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

Manusia ragu apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ketika hari arafah. Kemudian aku membawakan segelas susu ke tempat beliau wukuf. Lalu beliau meminumnya dan orang-orang melihatnya. (HR. Bukhari 1989 & Muslim 2692).

Keterangan:

Para sahabat ragu apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ataukah tidak puasa, karena mereka meyakini bahwa hari itu adalah hari untuk puasa sunah Arafah. Sehingga mereka bertanya-tanya, apakah beliau ketika wukuf itu puasa ataukah tidak. Kemudian oleh Maimunah ditunjukkan bahwa beliau tidak puasa.

Seperti yang kita tahu dalam buku sejarah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan haji di tahun 10 Hijriyah, sementara beliau wafat bulan Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah. Artinya, bulan Dzulhijjah tahun 10 H, adalah Dzulhijjah terakhir yang beliau jumpai. Karena di tahun 11 H, beliau meninggal di awal tahun, di bulan ketiga (Rabiul Awal).

Sehingga para ulama memahami, hadis riwayat Nasai yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rutin melakukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah, itu terjadi sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan haji wada’.

Keberangkatan Haji Pertama dalam Islam

Di bulan Dzulqa’dah (bulan ke-11) tahun 6 Hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat datang ke Mekah untuk melakukan Umrah. Namun dihalangi orang musyrikin dan beliau dilarang masuk kota Mekah. Hingga terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Dengan salah satu poin perjanjian, kaum muslimin harus kembali tahun itu, dan baru boleh datang tahun depan untuk hanya tinggal di Mekah selama 3 hari.

Di tahun 7 Hijriyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik ke Mekah untuk melakukan Umrah qadha. Mengqadha umrah tahun sebelumnya digagalkan oleh orang musyrikin Quraisy. Beliau memerintahkan semua yang umrahnya gagal, untuk turut serta.

Kemudian di tahun 8 Hijriyah tepatnya bulan Ramadhan (bulan ke-9), terjadilah penaklukan kota Mekah (fathu Mekah). Selanjutnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disibukkan dengan perang Hunain, dan perang thaif. Kemudian setelah masuk bulan Dzulqa’dah (th. 8 H) dari Thaif beliau mengambil miqat di Ji’ranah dan melakukan umrah. Setelah itu beliau balik ke Madinah.

Bulan Rajab, 9 hijriyah, beliau melakukan penyerangan ke Tabuk untuk menaklukan sebagian wilayah romawi. Setelah kembali ke Madinah, di bulan Dzulqa’dah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar sebagai amirul haj (pemimpin haji). Beliau berangkat bersama 300 kaum muslimin. Dan inilah haji pertama dalam islam. Selama di Mekah dan awal dakwah di Madinah, kaum muslimin tidak melakukan haji. Kaum muslimin baru bisa melaksanakan haji, setelah kota Mekah ditaklukkan.

Apakah Puasa Arafah sudah ada Sebelum Adanya Wukuf.?

Kami tidak bisa memastikan hal ini, karena kita tidak tahu kapan tepatnya adanya anjuran puasa Arafah? Dan apakah haji yang dipimpin Abu Bakar as-Shidiq juga melakukan wukuf di Arafah?

Hanya saja, ada penggalan hadis yang bisa kita garis bawahi, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah’. Kalimat ini menunjukkan bahwa puasa arafah termasuk rutinitas beliau. Dan sesuatu iti disebut rutinitas jika dilakukan beberapa kali.

Bulan Dzulhijjah tahun 9 H, Abu Bakr berhaji, dan pada Dzulhijjah tahun 10 H, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat haji.

Andai puasa arafah harus dilakukan bertepatan dengan kegiatan wukuf di arafah, dan kita menganggap bahwa haji yang dilakukan Abu Bakr juga ada wukuf di Arafah, berarti puasa arafah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru SEKALI. Tepatnya, ketika hajinya Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Dan semacam ini tidak tepat jika disebut kebiasaan.

Terlebih, jika wukuf di Arafah pertama terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji wada’. Berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukkan puasa arafah, sekalipun belum ada kegiatan wukuf di Arafah.

Bisa Jadi Orang Musyrik telah Melakukan Wukuf.?

Kita tidak tahu bagaimana tata cara haji mereka. Dan andaipun mereka melakukan wukuf, tentu wukuf mereka tidak dianggap karena mereka orang musyrik. Lebih dari itu, kita tidak pernah mendapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat berusaha mencari tahu kapan hari wukufnya orang musyrikin, sehingga mereka jadikan acuan untuk pelaksanaan puasa Arafah. Sehingga puasa arafah yang dilaksanakan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat di Madinah, tidak dibarengi dengan kegiatan wukuf di Arafah.

Karena itu, kami berpendapat, bahwa puasa arafah adalah puasa di tanggal 9 Dzulhijjah sesuai daerah masing-masing. Sekalipun tidak bertepatan dengan kegiatan wukuf di Arafah. Karena puasa arafah tidak ada kaitannya dengan kegiatan wukuf di Arafah

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits 

(Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

No comments:

Post a Comment

Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.