Skip to main content

CINCIN DAN AIR MATA

Dia adalah pemuda yang hidup sederhana, tapi memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan pemuda pada umumnya.

Dari Abdullah bin Faraj al-'Abid dia mengisahkan:

Suatu ketika aku ingin mencari seorang kuli bangunan untuk merenovasi bagian rumah kami. Lalu aku pergi ke pasar dan mencari kuli bangunan, kemudian ku dapati di ujung pasar ada seorang pemuda berkulit kuning serta terdapat buntalan besar di tangannya. Dia berjalan mengenakan jubah serta kain dari bulu domba. 

"Tukang bangunan?" kataku.

"Iya." Jawabnya.

"Berapa bayarannya?" 

"Satu dirham lebih seperenam"  Katanya.

"Mari, kamu bekerja di tempatku"

"Aku ingin mengajukan syarat" 

"Apa itu syaratnya?" 

"Kalau datang waktu zhuhur dan muadzin sudah adzan maka aku akan berhenti bekerja untuk wudhu dan shalat berjama'ah di masjid, usai itu aku akan kembali. Demikian pula jika telah datang waktu ashar." Mintanya.

"Baiklah" Tandasku.

Kemudian kami pun mendatangi kediamanku. 

Aku ikut membantu pekerjaannya, mengambilkan material dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia bekerja dengan tekun dan rapih, hanya saja dia tidak berbicara sedikitpun padaku walau satu kata. Hingga tibalah adzan zhuhur, lantas dia berkata, "Wahai hamba Allah! Muadzin telah adzan!" "Oya, silakan" Izinku. Kemudian dia pun keluar dan shalat.

Sekembalinya dari shalat dia bekerja lagi dengan baik dan tekun, hingga tiba waktu ashar. Dan lagi-lagi dia meminta izin kepadaku, "Wahai hamba Allah! Muadzin telah adzan." "Oya silakan!"  Jawabku sama. Kemudian dia pun keluar untuk shalat, lalu kembali lagi. 

Terus berlanjut seperti itu hingga waktu sore pun tiba. Kemudian aku hitung kerjanya hari itu dan kuberikan padanya upah. Setelah itu dia pergi berlalu.

Berjalan beberapa hari setelah itu kami kembali ingin melakukan perbaikan pada bagian rumah kami. Istriku berkata, "Panggil saja si pemuda kuli bangunan yang dulu bekerja di tempat kita. Dia telah bekerja dengan baik kepada kita."

Aku lantas pergi ke pasar untuk menemui sang pemuda itu tapi tidak bertemu dengannya. Ku tanyakan kepada orang-orang yang ada di sana dan mereka mengatakan, "Kamu bertanya tentang pemuda malang berkulit kuning yang kami tidak melihatnya melainkan dari Sabtu ke Sabtu berikutnya, dan tidaklah dia duduk kecuali hanya sendirian?" Mendengar sedikit keterangan dari mereka kemudian aku pulang.

Pada hari Sabtu berikutnya aku kembali pergi pasar, dan kali ini kebetulan aku bisa menemukannya. Aku tawarkan pekerjaan padanya,

"Masih kerja kuli bangunan?" Tanyaku.

"Anda sudah tahu upah dan syaratnya?" Dia mengingatkan aku.

"Semoga Allah mudahkan" Jawabku.

Maka dia pun kembali bekerja bersamaku, bekerja sebagaimana dulunya, tekun, rapih, dan berhenti ketika waktunya shalat. 

Seusai kerja aku lantas menghitungnya dan kali ini aku berinisiatif untuk menambah upah untuknya. Tapi ternyata dia menolak untuk ditambah. Aku terus mendesaknya agar mau menerima tambahan upah itu, akan tetapi justru dia jemu dengan sikapku lalu meninggalkan aku tanpa meminta upah sama sekali.

Aku iba dengannya. Aku kasihan melihatnya. Ku ikuti dan ku tenangkan perasaannya, hingga dia pun bersedia menerima upahnya saja.

Hari-hari pun berlalu. Lagi-lagi kami ingin memperbaiki beberapa bagian rumah. Aku pergi ke pasar pada hari Sabtu sengaja untuk mencari pemuda itu, namun kali ini aku tidak lagi mendapatinya. Setelah kutanyakan kepada orang-orang di sana kemudian ada di antara mereka yang menjawab, 

"Pemuda itu sakit. Biasanya dia datang ke pasar dari hari Sabtu ke Sabtu berikutnya. Dia bekerja hanya mengambil upah Satu dirham lebih seperenam, dan membeli makan setiap hari hanya senilai seperenam dirham. Dan kini dia sudah lama sakit."

Aku mencari-cari informasi tempat tinggalnya. Akhirnya aku temukan ternyata dia tinggal di rumah seorang nenek tua. Aku tanyakan kepada sang nenek, 

"ApakAh benar ini tempat tinggal pemuda yang bekerja sebagai kuli bangunan itu?" 

"Iya betul. Dia sakit sejak lama." Jawab sang nenek.

Aku masuk ke dalam rumah itu lantas ku temui si pemuda.  Sungguh benar. Dia sedang sakit, terbaring dengan berbantalkan sepotong batu bata. Kuucapkan salam padanya dan ku katakan, 

"Apakah kamu butuh sesuatu?"

"Iya, jika anda bersedia memenuhinya" Katanya.

"Aku akan penuhi in syaa Allahu Ta'ala."

Lantas mulailah dia berpesan,

"Jika aku meninggal maka juallah peralatan kerjaku, cuci jubah dan kain kulit domba ini lantas kafanilah aku dengannya. Bukalah saku jubah ini karena di dalamnya ada sebuah cincin, ambil kemudian tunggulah waktu rombongan khalifah Harun ar-Rasyid lewat. Cegat dia di mana saja anda bisa mencegatnya, ajaklah dia bicara dan tunjukkanlah cincin ini kepadanya niscaya dia akan memanggil anda, lalu serahkanlah cincin ini kepadanya. Akan tetapi janganlah anda lakukan semua itu kecuali jika aku telah meninggal."

"Baiklah. Akan aku lakukan" Tandasku.

Tidak lama setelah itu sang pemuda pun meninggal. Aku jalani pesan-pesannya. Setelah usai mengurus jenazahnya maka tugas selanjutnya adalah menanti kapan rombongan khalifah lewat. 

Pada hari kedatangan khalifah aku duduk di  jalan. Dan setelah mereka benar-benar lewat aku pun berteriak, 

"Wahai Amirul mukminin! Ada titipan untukmu" Sambil cincin itu pun aku lambaikan.

Sontak sang khalifah memerintahkan pengawalnya untuk mengambil dan membawaku, hingga aku pun diajak ke tempat tinggalnya. Sesampainya ia memanggilku dan memerintahkan orang-orang yang ada di ruangan itu untuk meninggalkan kami berdua. Kemudian sang khalifah mulai mengajakku bicara,

"Siapa kamu ini?"

"Abdullah bin Faraj" Jawabku.

"Ini cincin, darimana kamu dapatkan?"

Pertanyaannya  mengantarkan aku untuk menceritakan kisah sang pemuda itu kepadanya. Hati khalifah Harun larut dan hanyut dengan kisah tersebut. Dia hanya bisa terdiam dan menangis, sampai-sampai aku pun terharu melihatnya.

Setelah khalifah mulai tenang maka aku memcoba memberanikan diri untuk bertanya,

"Wahai Amirul mukminin! Apa hubungan anda dengan pemuda itu?" 

" Dia adalah anakku." Jawab Harun.

Bagaimana kejadiannya bisa seperti ini?

Sang khalifah pun menguraikan kenangan masa lalunya.

"Dia lahir sebelum aku diangkat menjadi khalifah.  Dia dibesarkan dengan baik, belajar Al-Qur'an dan ilmu agama. Maka tatkala aku menjabat sebagai khalifah dia pun meninggalkan aku dan tidak mau bermegah-megahan dengan dunia sedikitpun. Lalu aku titipkan cincin ini kepada ibunya. Cincin ini terbuat dari intan permata yang setara dengan harta sekian banyaknya. Aku berpesan kepada ibunya, 'Kelak jika dia sudah besar berikanlah cincin ini kepadanya. -(dan ia adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya)- Berpesanlah kepadanya agar hendaklah cincin ini selalu menyertainya, sebab bisa jadi suatu hari kelak dia butuh kepada cincin ini.'

Hari berganti, bulan tak terasa pergi, dan tahun ke tahun terus berlalu, sang ibu pun wafat. Dan setelah itu aku tidak lagi mengetahui kabar tentang anakku itu kecuali setelah kamu ceritakan kisahnya kepadaku."

Kemudian setelah itu Amirul mukminin mengatakan kepadaku, "Nanti malam kita pergi melihat kuburnya". 

Maka setelah malam tiba sang khalifah Harun ar-Rasyid keluar bersamaku tanpa pengawal seorang pun. Kami berjalan hingga tibalah kami di sana. Sang khalifah duduk di sisi kuburan sang putra tercinta. Air mata tak terbendung, dia pun menangis sejadi-jadinya. 

Fajar tiba kami pun beranjak meninggalkan tempat itu.

Sungguh aku sama sekali tidak menyangka kalau pemuda kuli bangunan itu ternyata adalah putra khalifah Harun ar-Rasyid."

-Selesai-

----𖣔----

Kini kita tahu bahwa dia bukanlah anak yang ditelantarkan, bukan gembel, bukan pula yang putus harapan lantas memelas kepada manusia.... 

Justru dia hidup sederhana karena lari dari dunia. Khawatir akan terfitnah dengan gelimang harta benda. Karena kemegahan telah banyak melalaikan anak manusia.....

Dialah pemuda yang berbakti kepada ibundanya....

Dialah pemuda yang mengamalkan ilmunya ... 

Dialah sang pemilik jubah lusuh dari kulit domba....

Dialah kuli bangunan yang menolak kelebihan upah....

Dialah yang bergegas ke masjid di kala adzan tiba....

Dialah yang di kala sakit hanya berbantalkan sepotong batu bata.....

Maka adakah karakter ini ada pada diri kita?.......

Dan satu lagi; Ternyata dia adalah seorang pangeran, putra mahkota ....

Yaa Rabb, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang shalih dan rendah hati.... 

Jauhkanlah kami dari kesombongan serta bangga diri..... 

Yaa Rabb, kauruniai kami anak keturunan yang berbakti kepada kedua orang tua.....

Jadikanlah mereka simpanan pahala yang tetap mengalir saat kami telah tiada.....

Dan pertemukanlah kami dan mereka kelak di al-Jannah.....

Yaa Arhamar Rahimin......

[Al-Ghuraba Lil Imam al-Ajuriy: 61]

[Diterjemahkan dengan beberapa tambahan gaya bahasa tanpa mengubah makna]

-Catatan al-Basimiy-

https://t.me/ponselmuslim/329

📱WhatsApp Ahlus Sunnah Poso

Join whatsapp : 

https://chat.whatsapp.com/LqpAJsluBfuHGm2bqxgNed

📱Telegram Ma'had Al-Manshuroh Poso

Join telegram:

https://t.me/mahad_almanshuroh_poso

Ikut berbagi :

Https://t.me/Faidah_Video

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.