Skip to main content

Benarkah Nafkah Adalah “Uang Jajan” Bagi Istri?


oleh Yulian Purnama 

Sebuah tulisan di blog muslimah menyatakan,

“kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih merupakan ‘gaji’ atau honor dari seorang suami kepada istrinya. Sebagaimana ‘uang jajan’ yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.

Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada istri. Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban istri, melainkan kewajiban suami”

Inti dari tulisan tersebut menyatakan bahwa yang disebut nafkah dari suami kepada istri adalah pemberian suami di luar pemenuhan kebutuhan rumah, makan, pakaian dan turunannya yang bebas digunakan istri sesuai keinginannya. Dan menurut tulisan ini, nafkah dari suami adalah sebagaimana uang jajan dari orang tua kepada anaknya.

Sanggahan untuk pernyataan ini, terdiri dari beberapa poin:

*1. Nafkah suami kepada istri adalah kewajiban, dan berdosa jika tidak menunaikannya*

Banyak dalil yang menunjukkan wajibnya seorang suami memberi nafkah kepada istri. Allah Ta’ala berfirman:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. An Nisa: 34).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka‘: “yaitu berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap istri mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/292).

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Thalaq: 7).

Syaikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy Syanqithi mengatakan, “Para ulama menyatakan, dalam ayat yang mulia ini, ada 2 perkara penting:

Wajibnya nafkah, yaitu dalam kalimat  ?????????. Sehingga memberi nafkah pada istri hukumnya wajib.

Nafkah dikaitkan dengan keadaan si suami.  Jika suami adalah orang kaya, sesuai dengan apa yang Allah karuniakan baginya dari kekayaannya. Jika suami miskin, maka semampunya sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya dalam kondisi miskin tersebut” (Sumber: website pribadi syaikh Muhammad Asy Syanqithi).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

“cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud 1692, Ibnu Hibban 4240, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Maka wajib hukumnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya dan keluarganya, dan bila itu tidak dilaksanakan maka ia berdosa.

Dari sini bisa kita ambil faidah, bahwa penyataan “nafkah dari suami adalah sebagaimana uang jajan” memiliki konsekuensi bahwa suami yang tidak memberikan istrinya “uang jajan” berarti ia belum memberikan nafkah kepada istri, belum menunaikan kewajibannya dan ia berdosa. Tentu ini adalah konsekuensi yang berat jika tidak didukung oleh dalil syar’i.

*2. Definisi nafkah istri secara syar’i adalah kebutuhan pokok dan umumnya berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunannya*

Setelah mengetahui wajibnya nafkah suami kepada istri, kita telaah apa yang dimaksud nafkah. Nafkah atau an nafaqah secara bahasa artinya pengeluaran. Dalam kitab Al Fiqhul Muyassar (1/337) dijelaskan,

“An Nafaqah secara bahasa diambil dari dari kata al infaq, yang pada dasarnya bermakna: pengeluaran. Dan kata al infaq ini tidak digunakan kecuali dalam hal yang baik”.

Maka semua jenis pengeluaran harta itu secara bahasa dapat disebut infaq atau nafaqah, termasuk pula pengeluaran harta seorang suami untuk istrinya.

Sedangkan, makna nafaqah secara istilah (dan ini yang kita bahas), para ulama mendefinisikan sebagai berikut. Dalam Majma’ Al Anhar (1/484), kitab fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah:

“sesuatu yang keberlangsungan sesuatu ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian dan tempat tinggal”

Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah,

“menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung”.

Dalam Ad Durr Al Mukhtar, kitab fiqih Syafi’i, disebutkan:

“nafaqah adalah makanan, pakaian dan tempat tinggal” (dinukil dari Ar Raddul Mukhtar, 3/572).

Dalam Al Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan:

“secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut”

Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal:

Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, tetap sehat dan tergaja sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer.

Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarikan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia.

Maka, memaknai nafkah sebagai “uang jajan” sama sekali tidak sesuai dengan definisi nafkah yang disebutkan para ulama. Karena “uang jajan” bukanlah kebutuhan primer.

*3. Batasan nafkah diperselisihkan ulama, namun belum diketahui adalah ulama yang menyebutkan “uang jajan” sebagai bentuk dari nafkah*

Telah disebutkan bahwa pada umumnya para ulama menyebutkan nafkah mencakup tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Abu Ishaq Al Hambali dalam Al Mubdi’ ketika menjelaskan nafkah beliau berkata:

“maka wajib bagi suami untuk memenuhi semua kebutuhan istrinya berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal”

Dan inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i.

*1. Nafkah makanan & 2. Nafkah pakaian*

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

“wajib bagi kalian (para suami) memberikan rizki (makanan) dan pakaian dengan ma’ruf kepada mereka (para istri)” (HR. Muslim 1218).

Juga hadits yang diriwayatkan dari Mu’awiyah Al Qusyairi:

“aku berkata: ‘wahai Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?’. Beliau bersabda: ‘engkau beri ia makan jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah‘” (HR. Abu Daud 2142 dihasankan Al Albani dalam Adabuz Zifaf, 208).

*3. Nafkah tempat tinggal*

Allah Ta’ala berfirman:

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (QS. Ath Thalaq: 6).

Ayat ini membahas mengenai wanita-wanita yang ditalak, Allah perintahkan para suami untuk tidak mengeluarkan mereka dari rumahnya hingga habis masa iddah. Namun para ulama mengambil istinbath dari ayat ini bahwa wajib bagi suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istrinya sesuai dengan kemampuannya (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Syaikh Husain Al Awaisyah, 5/181).

Namun para ulama berselisih pendapat mengenai kadar dari masing-masing tiga hal ini. Berapa kadar makanan yang wajib, berapa pakaian yang mesti diberikan, dan bagaimana kadar minimal tempat tinggal yang wajib? Para ulama khilaf. Namun yang tepat insya Allah, batasan semua ini kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan) daerah masing-masing. Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Durarus Saniyyah (3/150) dikatakan:

“nafkah wajib untuk istri berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal dan yang semisal itu yang urgensinya setara. Dan hal ini berbeda-beda tergantung pada keadaan negeri dan zaman, juga tergantung keadaan kedua suami-istri dan adat kebiasaan mereka berdua”

Demikian juga, sebagian ulama menyebutkan beberapa hal lainnya selain tiga hal ini, yang dikategorikan termasuk nafkah. Dalam kitab Raudhatut Thalibin (9/40-52) disebutkan 6 hal yang termasuk nafkah:

1. Ath Tha’am (makanan pokok)

2. Al ‘Udm dan sejenisnya (makanan yang menemani makanan pokok; lauk-pauk)

3. Al Khadim (pembantu)

4. Al Kiswah (pakaian)

5. Alaatut tanazhuf (alat-alat kebersihan)

6. Al Iskan (tempat tinggal)

Namun yang tepat, sebagaimana sudah dijelaskan, batasan cakupan nafkah ini kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan). Semisal jika memang adat setempat menganggap pembantu adalah hal yang wajib disediakan suami sebagai nafkah, maka wajib baginya menyediakan pembantu, sesuai dengan kemampuannya.

Dan kami belum pernah mendengar atau membaca pernyataan ulama bahwa “uang jajan” atau yang semakna dengan itu sebagai bentuk nafkah.

*4. Pemberian suami selain dari nafkah adalah bentuk sedekah yang paling afdhal*

Setelah memahami makna dan batasan nafkah, perlu kita tekankan bahwa bukan berarti suami tidak perlu memberikan hal lain kepada istrinya selain nafkah yang wajib. Jadi, bukan berarti “uang jajan” tidak perlu diberikan kepada istri. Bahkan pemberian di luar nafkah yang wajib merupakan sedekah yang paling afdhal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinas yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad).

Maka seorang suami sangat dianjurkan memberikan sedekah kepada keluarganya, terutama yang dapat menunjang keshalihan dan kebaikan keluarganya. Suami memberikan mereka buku-buku bermanfaat, alat-alat belajar, pakaian-pakaian tambahan, kendaraan, dan sebagainya. Termasuk juga “uang jajan” yang bisa digunakan oleh sang istri untuk kebutuhannya, ini merupakan sedekah yang afdhal. Tentunya sesuai dengan kemampuan suami dan tanpa berlebih-lebihan.

*5. Berbicara masalah agama dengan dalil dan pemahaman para ulama, tidak dengan logika dan hawa nafsu*

Sangat disayangkan tulisan dari blog tersebut, dari awal hingga huruf terakhir, tidak menyebutkan satu dalil pun yang melandasi pernyataannya. Sehingga terkesan hanya mengedepankan logika dan opini semata. Padahal berbicara agama tidak layak hanya berdasarkan logika dan opini, semua mesti dikembalikan kepada dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

Allah ta’ala juga berfirman,

“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa: 65).

Dan Allah ta’ala juga melarang hamba-Nya berbicara agama tanpa ilmu:

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata-kata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al A’raf: 33).

Terutama dalam mewajibkan atau mengharamkan sesuatu. Tidak hanya membutuhkan dalil, namun juga pemahaman yang benar dan penguasaan ilmu-ilmu alat untuk memahami dalil. Semoga ini bisa menjadi nasehat untuk kita semua.

Demikian risalah singkat ini, semoga bermanfaat. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

https://muslimah.or.id/7240-benarkah-nafkah-adalah-uang-jajan-bagi-istri.html



Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك...

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an...

Lailatul Qodar

Pengertian Lailatul qodar adalah malam kemuliaan yang hanya terdapat pada bulan ramadhan. Keutamaan Lailatul qodar , Allaah telah menerangkan dalam QS. Al-Qadr ayat 1-5 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Qadr. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar." Waktu / malam Lailatul Qadr berada diantara sepuluh malam terakhir pada bulan ramadhan, dan lebih khusua lagi pada malam-malam yang ganjil. Rasulullaah bersabda, yang artinya : " Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." ( HR. Bukhari dan Muslim) Oleh sebab itu pada malam-malam itu kita di anjurkan untuk memperbanyak amal soleh. Tanda-tanda Lailatul Qadr : 1. Pada malam lailatul qadr terasa sejuk, tidak panas, dan tidak dingin. Riwayat dari Jabir bi...