Oleh : Abu Ghozie As Sundawie
Agama Islam ini mulia, indah, mudah dan telah sempurna, sehingga tidak butuh penambahan atau pengurangan dalam seluruh aspeknya, baik yang berhubungan dengan masalah aqidah ataupun masalah ibadah.
Hal ini berdasarkan Firman Allah :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3).
Tentang ayat ini Imam Malik rahimahullah berkata :
مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الْإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَداً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةِ، لِأَنَّ اللَّهَ يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْناً
“Barangsiapa yang melakukan bid’ah (mengada-ada) didalam Islam dengan suatu bid’ah dan memandangnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh ia telah menyangka bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhianati risalah (tidak menyampaikan agama ini seluruhnya), karena Allah telah berfirman Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, maka perkara yang pada saat itu bukan bagian dari agama, pada hari inipun bukan bagian dari agama” (Al I’thishom, Imam Syathibi 1/49)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan keras agar umatnya tidak beramal tanpa tuntunan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin sekali umatnya mengikuti ajaran beliau dalam beramal sholeh. Beliau bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari : 20 dan Muslim : 1718)
Diantara perkara yang menunjukkan kesempurnaan Islam adalah bahwasannya Islam mengatur tatacara ibadah dan bagaimana cara menghidupkan bulan Sya’ban.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa pada suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Sya’ban adalah bulan yang terlupakan oleh manusia, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang didalamnya amal perbuatan akan diangkat (dilaporkan) ke sisi Rabb semesta Alam, maka aku lebih suka kalau amalanku dilaporkan sementara akau sedang berpuasa” (HR. Ahmad : 21753, di shahihkan oleh syaikh Al Albani didalam As Shohihah 4/1898).
Dari hadits diatas menunjukan bahwa menghidupkan bulan Sya’ban itu adalah dengan memperbanyak ibadah puasa.
'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
"Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari : 1969 dan Muslim : 1156).
Ibadah puasa yang dimaksud adalah ibadah puasa yang disyari’atkan seperti puasa Senin Kamis, puasa Dawud, puasa tiga hari dalam setiap bulan. Dan puasa yang paling utama adalah puasa Dawud.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Puasa yang paling di cintai Allah adalah puasa Dawud, yaitu puasa sehari dan berbuka sehari” (HR. Bukhari : 3420, Muslim : 186)
Sangat di sayangkan bagi sebagian kaum Muslimin dibulan Sya’ban yang seharusnya meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghidupkannya, akan tetapi malah memeriahkannya dengan mengadopsi berbagai praktek ritual ibadah yang berasal dari adat istiadat bahkan sebagiannya dari ajaran Hindu yang bertentangan dengan syari’at Islam. Kalaupun ada yang berasal dari sesuatu yang berbau agama seperti puasa atau shalat, akan tetapi tidak lepas dari penyimpangan karena tidak adanya dalil yang menjadi dasar dan pegangan pengkhusuan ibadah di bulan Sya’ban.
Diantara ritual ritual tersebut adalah :
[1] Ruwahan
Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke tujuh, dalam kalender jawa. dan berbarengan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah sehingga bulan Sya’ban pun dikenal juga oleh sebagian masyarakat khususnya di daerah Sunda dan Jawa dengan bulan ruwah.
Kata “ruwah” sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang.
Ruwahan sendiri bukan dari ajaran Islam akan tetapi berasal dari hindu. Lalu ritual ruwahan tersebut di adopsi kedalam agama Islam berupa kebiasaan kirim do’a kepada kerabat yang sudah meninggal dunia dengan mengadakan tahlilan atau yasinan dan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka diberi ”berkat” sebagai simbul rasa terima kasih.
[2] Nyadran.
Nyadran adalah ziarah kubur untuk mengingatkan manusia kepada asal-usulnya yaitu para leluhur.
Nyadran di awali dengan membersihkah makam dan sekitarnya dari rerumputan liar dan sampah lalu membacakan tahlil dan Yasin.
Nyadran sendiri berasal dari kata “sradha”, yang konon merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit.
Pada zaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo.
Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada para Dewa. Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga oleh Prabu Hayam Wuruk. Lalu sampai akhirnya di bumbui diramu dan di campurkan dengan ajaran Islam dan di lestarikan sampai sekarang.
Ziarah kubur adalah ibadah yang sangat di syari’atkan akan tetapi menetapkan lebih utama di bulan Sya’ban butuh kepada dalil khusus, sementara dalailnya dalam masalah ini tidak ada.
[3] Mengkhususkan shalat dan puasa pada malam Nisfu Sya’ban.
Sebagian orang beralasan dengan hadits palsu :
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا، وَصُومُوا نَهَارَهَا
Apabila berada pada malam Nisfu Sya’ban maka shalatlah malam harinya dan puasalah siang harinya (HR. Ibnu Majah : 1388).
Hadits ini palsu sebagaimana penjelasan Al Bushiri bahwa didalam sanadnya ada Ibnu Abi Sabrah yang nama aslinya Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Abi Sabrah. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Ma’in menyatakan, “ia telah membuat hadits palsu”. (Zawaaid Ibnu Majah 2/10, lihat Bida’ Wa Akhtho’ Tata’alaqu Bil Ayyam Was Syuhur, hal. 352).
Maka dalam hal ini bukan masalah shalatnya atau puasanya yang tercela tapi penetapan keutamaannya yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban yang butuh kepada dalil khusus, sementara dalil dalil dalam pengkhususan malam Nisfu Sya’ban untuk beribadah tertentu tidak ada yang shahih.
Seperti misalnya malam Jum’at itu waktu yang utama akan tetapi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengkhususkannya unutk beribadah tertentu.
Beliau bersabda :
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim : 1144).
Didalam kaedah tentang bid’ah disebutkan
كُلُّ عِبَادَةٍ مُطْلَقَةٍ ثَبَتَتْ فِيْ الشَّرْعِ بِدَلِيْلٍ عَامٍ؛ فَإِنَّ تَقْيِيْدَ إِطْلَاقِ هَذِهِ الْعِبَادَةِ بِزَمَانٍ أَوْ مَكَانٍ مُعَيَّنٍ أَوْ نَحْوِهِمَا بِحَيْثُ يُوْهِمُ هَذَا التَّقْيِيْدَ أَنَّهُ مَقْصُوْدٌ شَرْعًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ الْعَامُ عَلَى هَذَا التَّقْيِيْدِ فَهُوَ بِدْعَةٌ
“Setiap ibadah mutlak yang disyari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak ditunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut adalah bid’ah.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 116).
Adapun Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah : 1390, dishahihkan oleh syaikh Al Albani rahimahullah, lihat As Silsilah As Shahihah : 1144, Shahihul Jaami’ : 1819).
Hadits ini menunjukkan bahwa diantara sebab meraih keutamaan malam Nishfu Sya’ban yaitu ampunan Allah Ta’ala, dengan menjauhi permusuhan, kedengkian, hasad, bersihkan hati, cintailah saudaranya dari kaum Muslimin. Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bolehnya mengkhususkan ibadah tertentu di malam Nisfu Sya’ban.
Dalam masalah ini Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’I rahimahullah berkata :
وأما الصَّلَاةِ الْمَخْصُوصَةِ لَيْلَتهَا ليلة النصف وَقَدْ عَلِمْت أَنَّهَا بِدْعَةٌ قَبِيحَةٌ مَذْمُومَةٌ يُمْنَعُ مِنْهَا فَاعِلُهَا، وَإِنْ جَاءَ أَنَّ التَّابِعِينَ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ كَمَكْحُولٍ وَخَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ وَلُقْمَانَ وَغَيْرِهِمْ يُعَظِّمُونَهَا وَيَجْتَهِدُونَ فِيهَا بِالْعِبَادَةِ، وَعَنْهُمْ أَخَذَ النَّاسُ مَا ابْتَدَعُوهُ فِيهَا وَلَمْ يَسْتَنِدُوا فِي ذَلِكَ لِدَلِيلٍ صَحِيحٍ وَمِنْ ثَمَّ قِيلَ أَنَّهُمْ إنَّمَا اسْتَنَدُوا بِآثَارٍ إسْرَائِيلِيَّةٍ وَمِنْ ثَمَّ أَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ أَكْثَرُ عُلَمَاء الْحِجَازِ كَعَطَاءٍ وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ وَفُقَهَاء الْمَدِينَة وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ قَالُوا: وَذَلِكَ كُلُّهُ بِدْعَةٌ؛ إذْ لَمْ يَثْبُت فِيهَا شَيْءٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ
“Adapun mengkhususkan shalat tertentu pada malam Nishfu Sya’ban seb agaimana telah diketahui bahwasanya ia adalah bid’ah yang buruk lagi tercela, dilarang untuk melakukannya, walaupun ada diantara para tabi’in dari negeri Syam seperti Makhul, Khalid bin Ma’dan, dan Luqman dll mengagungkan malam Nisfu Sya’ban dan bersungguh sungguh beribadah padanya, dari merekalah manusia mengambil alasan mereka untuk melakukan bid’ah mereka pada malam tersebut, sementara tidak ada dalil. Dari sanalah dikatakan kalau sandaran mereka berasal dari riwayat israiliyat (cerita dari ahlil kitab), sehingga karena itupula lah para Ulama hijaz seperti ‘Atho, ibnu Mulaikah, dan para Ulama ahli fikih Madinah, demikian juga perkataan para pengikut Madzhab Syafi’I, Malik dan yang selain mereka mengingkarinya, mereka mengatakan bahwa semua itu adalah bid’ah karena tidak ada dalil yang shahih datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau seorang pun dari para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”. (Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra 2/80)
[4] Melakukan shalat Alfiyyah atau shalat Baroah, yaitu shalat 100 raka’at di malam Nisfu Sya’ban disetiap raka’atnya membaca Qul Huwallahu Ahad 10 kali, maka dinamakanlah shalat Alfiyyah (seribu) karena bacaan Qulhunya sebanyak seribu kali dalam seratus raka’at.
Cukuplah penjelasan Imam An Nawawi rahimahullah, seorang Ulama besar dari kalangan Ulama yang bermadzhab Syafi’I tentang apa hukum melakukan shalat Alfiyyah ini. Beliau rahimahullah berkata :
الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذَكَرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ
“Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaaib yaitu shalat 12 raka’at dilakukan antara Maghrib dan Isya dimalam Jum’at pertama dibulan Rajab, dan juga shalat dimalam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 raka’at (shalat Alfiyyah), maka kedua shalat ini adalah bid’ah yang munkar lagi buruk, jangan tertipu dengan disebutkannya kedua shalat ini di kitab Qutul Qulub dan kitab Ihya Ulumuddin, jangan pula tertipu kalau kedua shalat ini ada haditsnya karena semua hadits hadits tersebut adalah bathil” (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, An Nawawi 3/506, lihat juga Al Baa’its, Ibnu Syaamah, hal. 124-138)
[5] Mengkhususkan sedekah dan membuat makanan di bulan Sya’ban, khususnya di malam Nisfu Sya’ban. Sampai'sampai di sebagian daerah di Jawa mengharuskan makanan yang khusus yang dikaitkan dengan simbol simbol tertentu dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya. Mereka saling kirim makanan dengan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah : ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan, dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan (ahfum).
Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata :
لاَ يُعْرَفُ فِيْ السُّنَّةِ إِثْبَاتُ فَضْلٍ لِشَهْرِ شَعْبَانَ إِلَّا مَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِكْثَارِ الصِّيَامِ فِيْهِ وَأَمَا حَدِيْثُ : فَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كِفَضْلِيْ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ .
Tidak dikenal didalam sunnah penetapan keutamaan bulan Sya’ban kecuali apa yang telah shahih datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasannya beliau memperbanyak melakukan puasa sunnah di bulan tersebut, Adapun hadits yang berbunyi, “Keutamaan bulan Sya’ban dibandingkan dengan bulan lainnya seperti keutamaan aku dibandingkan dengan seluruh para Nabi” adalah hadits yang palsu”. (Mu’jamul Manahil Lafdziyyah, Syaikh Bakar Abu Zaid, hal. 316).
*KESIMPULAN :*
Marilah kita memperbanyak ibadah puasa sunnah di bulan Sya’ban ini, termasuk bagi mereka yang masih memiliki utang puasa ramadhan di waktu waktu lalu khususnya kaum hawa, hendaklah mengqadhanya di bulan ini sebelum datangnya bulan Ramadhan.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim : 151).
Hadits ini menunjukan boleh seseorang untuk melakukan qadha puasa Ramadhan walaupun di bulan Sya’ban, akan tetapi yang utama untuk bersegera didalam urusan membayar utang apalagi ini menyangkut utang terhadap Allah.
Adapun ada hadits yang melarang berpuasa kalau sudah lewat pertengahan Sya’ban, seperti hadits :
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud : 3237, At-Turmudzi : 738, dan Ibnu Majah : 1651; dinilai sahih oleh Al-Albani).
Maksud hadits ini adalah larangan berpuasa mutlak setelah datang pertengahan Sya’ban. Sebagi dijelaskan oleh Al Munawi rahimahullah :
أَيْ يُحْرَمُ عَلَيْكُمْ اِبْتِدَاءُ الصَّوْمِ بِلَا سَبَبٍ حَتَّى يَكُوْنَ رَمَضَانَ
“Maksud hadits, terlarang bagi kalian untuk memulai puasa tanpa sebab (maksudnya puasa mutlak), sampai masuk bulan Ramadhan” (Faidhul Qadir, Al Munawi 1:304 : 494)
Adapun bagi yang sudah terbiasa melakukan puasa sunnah atau puasa qadha Ramadhan maka di bolehkan untuk berpuasa walaupun lewat pertengahan Sya’ban.
Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari kecuali puasa yang sudah biasa dia lakukan” (HR. Bukhari : 1914, Muslim : 1082)
Imam An Nawawi rahimahullah berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا لا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلا خِلافٍ . . . فَإِنْ صَامَهُ عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَجْزَأَهُ ، لأَنَّهُ إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى . .
Para Ulama kami (Syafi’iyyah) berkata tidak sah puasa pada hari ragu (yakni Ramadhan sudah masuk atau belum) tanpa ada perbedaan pendapat para Ulama. Adapun kalau puasa qadha, atau nadzar, atau kafarat maka boleh berpuasa (setelah lewat tengah Sya’ban) karena kalau puasa yang sunnah saja di bolehkan (apabila sudah terbiasa) maka puasa yang sebabnya adalah wajib (seperti qadha, nadzar, dan kafarat) lebih utama lagi untuk bolehnya” (AL Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab 6/399).
Dan maksud larangan berpuasa kalau sudah masuk pertengahan Sya’ban maksudnya kalau setelah pertengahan Sya’ban baru mau memulai puasa, adapun kalau sudah berpuasa sebelum pertengahan Sya’ban lalu nyambung berpuasa sampai melewati pertengahan Sya’ban maka hal ini boleh. Sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu anaha, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا
“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang puasa Sya’ban seluruhnya (banyak berpuasa), terkadang beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban kecuali sedikit” (HR. Bukhari : 1970, Muslim : 1156).
Semoga bermanfaat dan dapat mencerahkan, wallahu a'lam
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.