Buletin Teman Surga #182 Desember 2021
Pergantian tahun masehi gak bisa kita hindari. Alami. Gak masalah kalo masa pergantian tahun itu cuman diwarnai gerakan kalender berganti. Masalahnya, gak cuman itu yang terjadi.
Pergantian tahun selalu diwarnai dengan perayaan di banyak tempat di seluruh dunia. Momen yang selalu ditunggu untuk merengkuh kebersamaan dengan orang-orang terdekat. Jauh-jauh hari agendanya sudah disiapkan. Ada yang touring ke tempat wisata untuk menghabiskan malam pergantian tahun. Ada juga yang bikin acara di hotel, cafe, atau studio TV sambil menikmati konser musik musisi idola.
Tahun lalu, saat pandemi corona masih merajalela, eufora perayaan tahun baru bisa diredam. Demi memutus mata rantai penularan wabah covid-19. Tapi kini, setelah kndisinya kembali membaik euforia itu mulai menunjukkan gejalanya kembali. Hati-hati!
Jangan Latah Gaes!
Pastinya, kamu sebagai remaja yang enerjik dapat ajakan untuk ikut tahun baruan. Meski cuman di sekitar lingkungan rumah atau sekedar jalan-jalan malam pergantian tahun. Keliatannya sepele, ngumpul bareng, bakar jagung, niup terompet, nggak terlalu hingar bingar pesta pora yang meriah.
Meski begitu, tetep kita mesti hati-hati. Bisa jadi yang dianggap sepele itu justru menunjukkan ‘kebahagiaan’ dan persetujuan kita dalam merayakan tahun baruan. Ini urusannya akidah dan keimanan lho. Makanya jangan latah.
Biar kita punya sikap yang tegas terkait perayaan tahun baru masehi, berikut beberapa hal yang mesti kita pahami.
Pertama, perayaan tahun baru bukan budaya Islam.
Kalo kita telusuri sejarahnya, perayaan tahun baru masehi jelas-jelas bukan budaya Islam. Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Seiring perkembangan jaman, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sampai sini makin jelas ya, kalo tradisi perayaan tahun baru masehi bukan budaya Islam. Jadi sangat beralasan kita sebagai remaja muslim nggak ikut ambil bagian. Catat!
Kedua, perayaan tahun baru rawan kemaksiatan.
Dari awal, perayaan tahun baru masehi lahir dari pola hidup masyarakat barat yang steril dari aturan agama. Apalagi aturan Islam. Nggak heran kalo dalam prakteknya, kemaksiatan merajalela. Mulai dari fastabiqul aurat alias berlomba-lomba memamerkan aurat dan daya tarik seksual, campur baur laki perempuan yang bebas tanpa batas yang berujung pada seks bebas, peredaran narkoba dan minuman keras, hingga situasi yang bisa memancing emosi seperti sering terlihat dalam setiap kerusuhan konser musik.
Cukup beralasan ya kenapa kita mesti jauh-jauh dari hingar-bingar perayaan tahun baru masehi. Rawan kemaksiatan, dan kita bisa kecipratan. Dosanya juga mudharatnya. Jangan sampai deh!
Ketiga, pestaphoria melestarikan hedonisme.
Secara istilah, ’pestaphoria’ masih satu keturunan dengan ‘euphoria’. Kalo euphoria berarti ekspresi senang yang berlebihan, pengertian pestaphoria pun nggak jauh beda. Pestaphoria berarti pesta yang berlebih-lebihan. Lebih sering, lebih heboh, dan tentu saja lebih bervariasi bentuknya. Yang penting menjanjikan kesenangan, kemeriahan, dan hura-hura. Sehingga banyak acara remaja yang disusupi gaya hidup pestaphoria. Salah satunya, perayaan malam pergantian tahun baru masehi.
Pestaphoria yang lekat dengan kesenangan dan hura-hura adalah cerminan gaya hidup hedonis yang makin digandrungi kawula muda. Gaya hidup ini menggiring remaja untuk memuja kesenangan dunia dan menjauhi penderitaaan untuk meraih kebahagiaan.
Temans, tiga alasan di atas cukup bagi kita untuk bersikap tegas mengatakan, tolak perayaan malam tahun baru masehi!
Remaja Muslim, Jaga Kemuliaan.
Momen pergantian tahun masehi dijadikan sebagai salah satu perayaan suci orang-orang kristen. Itulah sebabnya mengapa kalau ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu atau yang biasa mereka tulis dengan Merry Christmas and Happy New Year (selamat hari natal dan tahun baru).
Terlebih lagi, merayakan tahun baru berarti sama saja meniru-niru tradisi orang kafir alias tasyabuh bil kuffar. Jika umat Kristiani menggunakan lonceng untuk memanggil jama’ahnya ketika beribadah, orang Yahudi menggunakan terompet sementara orang Majusi menggunakan api, maka pada jam 00:00 WIB malam tahun baru semua model tersebut hadir dalam satu waktu. Lonceng berbunyi, terompet berbunyi, kembang api pun dinyalakan. Komplit tasyabuhnya!
Padahal, jelas-jelas kalo kita meniru perilaku orang kafir, status keislaman kita bisa tergadai. Rasulullah saw mengingatkan para sahabatnya agar mereka menyelisihi Yahudi dan Nasrani dalam segala hal, beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sebagai remaja muslim, sikap kita udah jelas. Nggak ikut-ikutan perayaan malam tahun baru masehi. Karena perayaan tahun baru itu merupakan perayaan besar bangsa pagan Romawi yang dilakukan setiap memasuki awal tahun. Nggak pengen dong, kita mengorbankan keislaman kita demi euforia hitung mundur malam pergantian tahun.
Jadi, untuk apa tahun baruan? Bukan untuk kita yang komitmen menjaga kemuliaan dan kehormatan diri sebagai seorang muslim. Allah swt berfirman: _"Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya."_ *(QS al-Furqan : 72)*
Cukup. Tak ada lagi perayaan malam tahun baru dalam kamus hidup kita sebagai remaja muslim. Nggak ada lagi gaya hidup hedonis yang merusak masa depan kita di dunia dan akhirat. Tak ada lagi pesta pora, hura-hura, foya-foya dalam keseharian kita. Sebaliknya, kita banyak bersyukur atas setiap nikmat yang Allah berikan. Keimanan, kesehatan, dan kesempatan menimba ilmu setiap waktu. Mari jadikan diri kita bagian dari remaja taat syariat. Aktif berdakwah saling mengingatkan dan menguatkan. Dan jangan lupa, rutin ikut ngaji. Biar akidah tambah kuat dan jauh dari maksiat. #YukNgaji! []
NB:
*Mau buletin @temansurga versi pdf? Bantu share #BroadcastTemanSurga ini sebelum klik >>* https://simpellink.com/temansurga
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.