Skip to main content

PERKARA PERKARA PENENTU DALAM WARIS MEWARIS


https://t.me/menebar_cahayasunnah

Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Dalam sistem waris Islam, ada beberapa perkara yang sangat menentukan bagi terealisasinya proses waris-mewarisi. 

Ia meliputi rukun waris, syarat waris, sebab waris dan penghalang waris.

Tiga perkara pertama (rukun waris, syarat waris, dan sebab waris) keberadaannya diharuskan, sedangkan perkara keempat (penghalang waris) keberadaannya tidak diperbolehkan. Mengingat betapa pentingnya memahami rincian empat perkara tersebut, maka ikutilah penjelasan berikut ini.

Rukun Waris

▪️Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Proses waris-mewarisi mempunyai tiga rukun yang tidak akan terealisasi suatu proses waris-mewarisi kecuali dengan keberadaannya.” (At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 28)

Tiga rukun waris tersebut adalah:

1. Muwarrits: si mayit yang meninggalkan harta waris/pemilik harta waris.

2. Warits: ahli waris/pewaris yang berhak mendapatkan harta waris.

3. Mauruts/tarikah: harta waris yang ditinggalkan oleh si mayit. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 18)

Kalau tidak ada muwarrits (si mayit yang meninggalkan harta waris) maka tidak akan ada harta waris, demikian pula orang yang mewarisinya. 

Jika tidak ada ahli waris, maka harta waris yang ditinggalkan si mayit pun tidak ada yang mewarisinya (dari ahli waris yang sesungguhnya). Demikian pula ketika tidak ada harta waris, tidaklah mungkin bisa terjadi proses waris-mewarisi. 

Dari sini jelaslah bahwa keberadaan tiga rukun waris tersebut mutlak ada demi terealisasinya proses waris-mewarisi.

Syarat Waris

Syarat waris  merupakan salah satu penentu bagi terealisasinya proses waris-mewarisi. 

Karena betapapun telah terpenuhi rukun waris sementara syarat warisnya belum terpenuhi, maka proses waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan. 

Apa sajakah syarat waris itu?

Syarat waris dalam hukum waris Islam ada tiga:

1. Kejelasan tentang meninggalnya si pemilik harta waris (muwarrits), baik meninggalnya bisa dipastikan maupun sebatas didasari dugaan yang kuat (hukmi).

Bisa dipastikan, maksudnya bahwa proses kematian si pemilik harta waris tersebut benar-benar bisa dipastikan, baik dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran akan kematiannya, atau dengan persaksian dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan didasari dugaan yang kuat adalah bahwa vonis kematian yang dijatuhkan kepada pemilik harta waris tersebut atas dasar dugaan yang kuat. Seperti seseorang yang diduga kuat telah mati, karena sejak lama menghilang dan tak didapati lagi tanda-tanda kehidupannya.

2. Kejelasan tentang hidupnya ahli waris setelah meninggalnya si pemilik harta waris/muwarrits walau sesaat, baik secara pasti maupun didasari oleh dugaan kuat (hukmi). Maksud secara pasti adalah bahwa ahli waris tersebut dipastikan masih hidup saat meninggalnya pemilik harta waris.

 Kepastian ini bisa dibuktikan dengan melihatnya secara langsung, dengan kemasyhuran bahwa dia masih hidup, atau dengan persaksian dua orang lelaki yang adil (bisa dipertanggungjawabkan). Sedangkan yang dimaksud dengan didasari oleh dugaan yang kuat adalah bahwa vonis tentang hidupnya ahli waris tersebut didasari atas dugaan yang kuat. 

Seperti seorang anak yang masih berada di perut ibunya saat meninggalnya pemilik harta waris (muwarrits-nya) walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. Maka dia digolongkan ke dalam jajaran ahli waris dan bisa mendapatkan harta waris, dengan syarat dilahirkan dalam kondisi hidup.

3. Mengetahui segala hal yang terkait dengan sebab terjadinya proses waris-mewarisi tersebut dan mengetahui keterkaitan masing-masing ahli waris dengan pemilik harta waris (muwarrits)-nya. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 18-19)

Sebab Waris

Waris-mewarisi dalam hukum waris Islam tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi amat terkait dengan sebab waris yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi. 

Sebab waris tersebut ada tiga:

1. Perkawinan yang dibangun di atas akad nikah yang sah. Manakala telah terlaksana suatu perkawinan yang sah, maka suami istri tersebut mempunyai hak untuk saling mewarisi walaupun belum terjadi khalwat (berduaan) maupun jima’ (hubungan sebadan) di antara mereka.

Lebih-lebih lagi bila telah terjadi khalwat ataupun jima’ antara keduanya. 

Dalilnya adalah keumuman firman Allah :

“Dan bagi kalian (para suami) setengah (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. 

Jika istri-istri kalian itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. 

Para istri memperoleh seperempat (1/4) harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utang kalian.” (An-Nisa’: 12)

Sebab pertama ini akan terus berlaku hingga terjadinya talak bain (cerai yang ketiga kalinya, atau cerai yang pertama/kedua dan telah habis masa ‘iddah/tenggangnya) atau fasakh (pembatalan nikah). 

Dengan terjadinya talak bain atau fasakh, maka sejak saat itu pula mereka tidak bisa saling mewarisi lagi. 

Kecuali jika talak bain tersebut dijatuhkan oleh suami menjelang kematiannya yang (diduga kuat) bertujuan untuk menghalangi istri tersebut dari hak warisnya, maka dalam kondisi semacam ini si istri tetap mendapatkan jatah warisnya menurut pendapat yang rajih.

 Adapun talak raj’i (cerai yang pertama/kedua) dan masih dalam masa ‘iddah/tenggang, maka masih memungkinkan bagi mereka untuk saling mewarisi jika saat itu salah satunya ada yang meninggal dunia, karena statusnya masih terhitung sebagai suami-istri. (Lihat Tashilul Faraidh, hal. 20 dan 22, dan At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 32-35)

2. Ikatan nasab, yaitu hubungan kekerabatan antara dua orang baik secara dekat maupun jauh. 

Hubungan kekerabatan ini meliputi ushul (bapak, ibu, kakek, dan nenek si mayit), furu’ (anak, cucu dari anak lelaki si mayit, dan terus ke bawahnya), dan hawasyi (saudara-saudara si mayit dan anak-anak lelakinya, paman-paman si mayit dan ke atasnya, anak-anak lelaki paman dan terus ke bawahnya).

 Dalilnya adalah firman Allah :

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat di dalam Kitab Allah). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal: 75) [Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 37 dan Tashilul Faraidh, hal. 21]

3. Ikatan wala’, yaitu pembebasan seseorang terhadap budak tertentu, baik karena berderma semata atau karena suatu kewajiban; seperti nadzar, zakat, dan kafarah. 

Gambaran kasusnya adalah bila seorang mantan budak meninggal dunia dan tidak ada yang mewarisi dari kalangan ahli warisnya, maka seseorang yang dahulu membebaskannya dari perbudakan itulah yang mewarisi hartanya. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, proses waris-mewarisi antara mantan budak dan yang membebaskannya itu hanya satu arah saja, yakni yang bisa mewarisi hanyalah pihak yang membebaskan saja, dan tidak sebaliknya. 

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dan para ulama yang bersama beliau berpandangan bahwa proses waris-mewarisi bisa terjadi dari dua arah, yakni antara mantan budak dan yang membebaskannya tersebut bisa saling mewarisi. 

Mereka bisa saling mewarisi manakala tidak didapati ahli waris (asli) yang mewarisi dari masing-masingnya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 37 dan Tashilul Faraidh, hal. 21)

Demikianlah tiga sebab yang dengannya bisa terjadi proses waris-mewarisi menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama.

Asy Syariah edisi 047

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.