Skip to main content

AQIDAH IMAM EMPAT MADZHAB (Menjelaskan Tafsir Istawa Dan Kesucian Allah Dari Tempat Dan Arah)

Penjelasan al-Imâm Abu Hanifah Tentang Makna Istawâ

Di Antara Bukti Abu Hanifah Berkeyakinan Allah Ada Tanpa Tempat

(Bagian Terakhir)

Kemudian karya Abu Hanifah yang lain, berjudul al-Washiyyah, beliau menuliskan : 

نقر بأن اللّٰه على العرش استواى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه وهو الحافظ للرش وغير العرش، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوق ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان اللّٰه تعالى ! تعالى اللّٰه عن ذلك علوا كبيرا. 

Artinya : "Kita menetapkan sifat Istiwâ' bagi Allah pada Arsy bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada Arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di Arsy. Allah yang memelihara Arsy dan memelihara selain Arsy maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ni dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atan lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas Arsy, lalu sebelum menciptakan Arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan Arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan Arsy Dia berada diatasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci daripada itu semua dengan kesucian yang agung". ( Syarh‌ al-Fiqh al-Akbar, Mulia Ali al-Qari', h. 70).

Dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imâm Abu Hanifah menuliskan : 

كان اللّٰه تعالى ولا مكان، كان قبل أن يخلق الخلق، كان ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء، وهو خالق كل شىء

Artinya : "Allah ada tanpa permulaan (Azalyy; Qadîm) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata : Aku tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah la di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Alah bertempat di Arsy, tapi saya tidak tahu apakah Arsy itu di bumi atau di langit". ( al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Dalam tulisan al-Imâm Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata : "Aku tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia dilangit atau di bumi?". Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata : "Allah bertempat di Arsy, tapi saya tidak tahu apakah Arsy itu di bumi atau di langit". Anda perhatikan, klaim kafir dari al-Imâm Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti merupakan sesuatu yang baharu (makhluk), bukan Tuhan.

💡 Semoga Bermanfaat 💡

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك...

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an...

Lailatul Qodar

Pengertian Lailatul qodar adalah malam kemuliaan yang hanya terdapat pada bulan ramadhan. Keutamaan Lailatul qodar , Allaah telah menerangkan dalam QS. Al-Qadr ayat 1-5 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Qadr. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar." Waktu / malam Lailatul Qadr berada diantara sepuluh malam terakhir pada bulan ramadhan, dan lebih khusua lagi pada malam-malam yang ganjil. Rasulullaah bersabda, yang artinya : " Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." ( HR. Bukhari dan Muslim) Oleh sebab itu pada malam-malam itu kita di anjurkan untuk memperbanyak amal soleh. Tanda-tanda Lailatul Qadr : 1. Pada malam lailatul qadr terasa sejuk, tidak panas, dan tidak dingin. Riwayat dari Jabir bi...