*Pembatal Puasa Kontemporer* (bagian.05)
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
🌎https://chat.whatsapp.com/BNpY43aWZNUB6jgGXdxFfu ikhwan
*Anestesi (Pembiusan)*
Anestesi adalah hilangnya rasa pada tubuh yang disebabkan oleh pengaruh obat bius atau kita dapat katakan mati rasa. Tanpa adanya anestesi, pembedahan tentu sangat menyiksa pasien.
Bagaimanakah pengaruh anestesi terhadap puasa seorang muslim? Masalah ini perlu adanya rincian karena ada beberapa macam anestesi dan beberapa cara yang dilakukan.
Macam dan Cara Anestesi
Anestesi (pembiusan) ada dua macam: (1) anestesi total, yang membuat pasien tidak sadarkan diri; dan (2) anestesi lokal, yang membuat mati rasa bagian tubuh yang akan diambil tindakan.
Anestesi bisa dilakukan dengan beberapa cara:
(1) Anestesi melalui jalur hidung, di mana orang yang sakit akan menghirup gas yang akan mempengaruhi syarafnya sehingga terjadilah anestesi.
(2) Anestesi kering atau akupuntur Cina. Yaitu, dengan memasukkan jarum kering ke pusat syaraf perasa yang ada di bawah kulit sehingga akan menghasilkan semacam kelenjar untuk melakukan sekresi terhadap morfin alami yang ada dalam tubuh. Dengan itu, si pasien akan kehilangan kemampuan untuk merasa. Secara umum anestesi semacam ini termasuk anestesi lokal dan tidak ada zat yang masuk ke dalam perut.
(3) Anestesi melalui suntikan.
Anestesi ini bisa jadi berupa anestesi lokal melalui suntikan pada gusi, otot dan semacamnya.
Anestesi ini bisa pula berupa anestesi total dengan cara injeksi melalui pembuluh darah dan beberapa saat langsung tidak sadarkan diri. Boleh jadi suntik yang diberikan terdapat zat makanan dan ada hukum tersendiri mengenai hal tersebut.
Pengaruh Anestesi terhadap Puasa
Anestesi dengan cara pertama yaitu melalui hidung tidaklah membatalkan puasa. Karena gas yang dihirup melalui hidup tidaklah mempengaruhi puasa sama sekali, juga bukan merupakan zat makanan, sehingga jelaslah tidak membatalkan puasa.
Anestesi akupuntur Cina juga tidak berpengaruh pada puasa. Karena tidak ada sesuatu yang masuk hingga ke perut. Begitu pula anestesi lokal lewat suntikan berlaku hukum yang sama.
Sedangkan anestesi total dengan injeksi melalui pembuluh darah bisa jadi dengan memasukkan zat cair pada pembuluh darah. Atau bisa jadi menyebabkan hilangnya kesadaran. Yang kita tinjau saat ini adalah kondisi yang kedua yaitu hilangnya kesadaran karena pembiusan.
Para ulama berselisih pendapat mengenai batalnya puasa karena hilangnya kesadaran. Kita dapat meninjau bahwa hilangnya kesadaran itu ada dua macam:
Pertama: Hilangnya kesadaran pada seluruh siang. Yang dimaksud seluruh siang adalah tidak sadarkan diri selama waktu diwajibkannya puasa, yaitu mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan bahwa siapa yang pingsan pada seluruh siang, puasanya tidaklah sah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
“Setiap amalan anak Adam untuknya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151). Dalam riwayat lain disebutkan,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى ، الصِّيَامُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal.” (HR. Muslim no. 1894). Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa puasa adalah menahan diri dari makan-minum dan syahwat. Sedangkan orang yang pingsan tidak melakukan demikian.
Ulama Hanafiyah dan Al Muzani dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa puasanya sah. Karena keadaan seperti itu semisal dengan orang yang tidur dan tidak membawa dampak apa-apa dan ia sudah berniat berpuasa.
Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama karena jelas terdapat perbedaan antara orang yang pingsan dan orang yang tidur. Orang yang tidur bisa terbangun ketika diingatkan, namun berbeda halnya dengan orang yang pingsan. Oleh karenanya jika ada yang dibius dan tidak sadarkan diri pada seluruh waktu saat diwajibkannya puasa, puasanya tidaklah sah dan wajib qodho’ (mengganti puasa di hari lain).
Kedua: Hilangnya kesadaran bukan pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Artinya, bisa mendapati waktu untuk menjalani puasa pada hari tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika telah sadar sebelum waktu zawal (saat matahari tergelincir ke barat), maka harus memperbarui niat.
Imam Malik berpendapat bahwa puasanya tetap tidak sah.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jika ia mendapati sebagian waktu siang (waktu diwajibkannya puasa), puasanya sah.
Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Jika seseorang mendapati sebagian dari waktu siang, puasanya sah. Karena tidak ada dalil yang menyatakan batalnya dan masih ada niat untuk imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada sebagian siang. Sebagiamana juga pendapat Ibnu Taimiyah bahwa tidak disyaratkan imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Cukup imsak itu ada pada sebagian siang, puasanya sudah sah. Seperti ini telah tercakup dalam hadits qudsi,
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
“Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Muslim no. 1894).
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika seseorang dibius dan tidak sadarkan diri bukan pada seluruh siang, maka pembiusan tadi tidaklah merusak puasa dan tidak menunjukkan batalnya puasa. Adapun jika pembiusan sampai membuat tidak sadarkan diri pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa), maka puasanya batal. Wallahu a’lam.
Semoga pembahasan ini bisa menjawab beberapa permasalahan seputar pembiusan. Misalnya saja, ada yang ingin dikhitan ketika puasa dan terang saja butuh dengan bius saat itu. Karena pembiusan yang dilakukan bukanlah bius total, maka sebagaimana keterangan di atas tidaklah membatalkan puasa. Ini contoh sederhana yang bisa dipraktekkan.
Semoga Allah senantiasa memberi kita ilmu yang bermanfaat.
(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 18 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.