Showing posts with label pembatal puasa. Show all posts
Showing posts with label pembatal puasa. Show all posts

Friday, February 11, 2022

Pembatal Puasa Kontemporer || Anestesi (Pembiusan) ???

 *Pembatal Puasa Kontemporer*  (bagian.05)



Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

🌎https://chat.whatsapp.com/BNpY43aWZNUB6jgGXdxFfu ikhwan

*Anestesi (Pembiusan)*

Anestesi adalah hilangnya rasa pada tubuh yang disebabkan oleh pengaruh obat bius atau kita dapat katakan mati rasa. Tanpa adanya anestesi, pembedahan tentu sangat menyiksa pasien.

Bagaimanakah pengaruh anestesi terhadap puasa seorang muslim? Masalah ini perlu adanya rincian karena ada beberapa macam anestesi dan beberapa cara yang dilakukan.

Macam dan Cara Anestesi

Anestesi (pembiusan) ada dua macam: (1) anestesi total, yang membuat pasien tidak sadarkan diri; dan (2) anestesi lokal, yang membuat mati rasa bagian tubuh yang akan diambil tindakan.

Anestesi bisa dilakukan dengan beberapa cara:

(1) Anestesi melalui jalur hidung, di mana orang yang sakit akan menghirup gas yang akan mempengaruhi syarafnya sehingga terjadilah anestesi.

(2) Anestesi kering atau akupuntur Cina. Yaitu, dengan memasukkan jarum kering ke pusat syaraf perasa yang ada di bawah kulit sehingga akan menghasilkan semacam kelenjar untuk melakukan sekresi terhadap morfin alami yang ada dalam tubuh. Dengan itu, si pasien akan kehilangan kemampuan untuk merasa. Secara umum anestesi semacam ini termasuk anestesi lokal dan tidak ada zat yang masuk ke dalam perut.

(3) Anestesi melalui suntikan.

Anestesi ini bisa jadi berupa anestesi lokal melalui suntikan pada gusi, otot dan semacamnya.

Anestesi ini bisa pula berupa anestesi total dengan cara injeksi melalui pembuluh darah dan beberapa saat langsung tidak sadarkan diri. Boleh jadi suntik yang diberikan terdapat zat makanan dan ada hukum tersendiri mengenai hal tersebut.

Pengaruh Anestesi terhadap Puasa

Anestesi dengan cara pertama yaitu melalui hidung tidaklah membatalkan puasa. Karena gas yang dihirup melalui hidup tidaklah mempengaruhi puasa sama sekali, juga bukan merupakan zat makanan, sehingga jelaslah tidak membatalkan puasa.

Anestesi akupuntur Cina juga tidak berpengaruh pada puasa. Karena tidak ada sesuatu yang masuk hingga ke perut. Begitu pula anestesi lokal lewat suntikan berlaku hukum yang sama.

Sedangkan anestesi total  dengan injeksi melalui pembuluh darah bisa jadi dengan memasukkan zat cair pada pembuluh darah. Atau bisa jadi menyebabkan hilangnya kesadaran. Yang kita tinjau saat ini adalah kondisi yang kedua yaitu hilangnya kesadaran karena pembiusan.

Para ulama berselisih pendapat mengenai batalnya puasa karena hilangnya kesadaran. Kita dapat meninjau bahwa hilangnya kesadaran itu ada dua macam:

Pertama: Hilangnya kesadaran pada seluruh siang. Yang dimaksud seluruh siang adalah tidak sadarkan diri selama waktu diwajibkannya puasa, yaitu mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.

Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menyatakan  bahwa siapa yang pingsan pada seluruh siang, puasanya tidaklah sah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

“Setiap amalan anak Adam untuknya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151). Dalam riwayat lain disebutkan,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى ، الصِّيَامُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

“Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku nantinya yang akan membalasnya. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal.” (HR. Muslim no. 1894). Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa puasa adalah menahan diri dari makan-minum dan syahwat. Sedangkan orang yang pingsan tidak melakukan demikian.

Ulama Hanafiyah dan Al Muzani dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa puasanya sah. Karena keadaan seperti itu semisal dengan orang yang tidur dan tidak membawa dampak apa-apa dan ia sudah berniat berpuasa.

Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama karena jelas terdapat perbedaan antara orang yang pingsan dan orang yang tidur. Orang yang tidur bisa terbangun ketika diingatkan, namun berbeda halnya dengan orang yang pingsan. Oleh karenanya jika ada yang dibius dan tidak sadarkan diri pada seluruh waktu saat diwajibkannya puasa, puasanya tidaklah sah dan wajib qodho’ (mengganti puasa di hari lain).

Kedua: Hilangnya kesadaran bukan pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Artinya, bisa mendapati waktu untuk menjalani puasa pada hari tersebut.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika telah sadar sebelum waktu zawal (saat matahari tergelincir ke barat), maka harus memperbarui niat.

Imam Malik berpendapat bahwa puasanya tetap tidak sah.

Imam Syafi’i  dan Imam Ahmad berpendapat bahwa jika ia mendapati sebagian waktu siang (waktu diwajibkannya puasa), puasanya sah.

Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Jika seseorang mendapati sebagian dari waktu siang, puasanya sah.  Karena tidak ada dalil yang menyatakan batalnya dan masih ada niat untuk imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada sebagian siang. Sebagiamana juga pendapat Ibnu Taimiyah bahwa tidak disyaratkan imsak (menahan diri dari makan dan minum) pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa). Cukup imsak itu ada pada sebagian siang, puasanya sudah sah. Seperti ini telah tercakup dalam hadits qudsi,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“Dia meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Muslim no. 1894).

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika seseorang dibius dan tidak sadarkan diri bukan pada seluruh siang, maka pembiusan tadi tidaklah merusak puasa dan tidak menunjukkan batalnya puasa. Adapun jika pembiusan sampai membuat tidak sadarkan diri pada seluruh siang (waktu saat diwajibkannya puasa), maka puasanya batal. Wallahu a’lam.

Semoga pembahasan ini bisa menjawab beberapa permasalahan seputar pembiusan. Misalnya saja, ada yang ingin dikhitan ketika puasa dan terang saja butuh dengan bius saat itu. Karena pembiusan yang dilakukan bukanlah bius total, maka sebagaimana keterangan di atas tidaklah membatalkan puasa. Ini contoh sederhana yang bisa dipraktekkan.

Semoga Allah senantiasa memberi kita ilmu yang bermanfaat.

(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 18 Sya’ban 1433 H

www.rumaysho.com

Pembatal Puasa || Menggunakan Inhaler dan Obat Tetes pada Hidung?


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

https://chat.whatsapp.com/BNpY43aWZNUB6jgGXdxFfu ikhwan

Sekarang kita akan meneliti lagi pembatal puasa pada jika ada sesuatu yang masuk melalui hidung, setelah sebelumnya dua hal yang dibahas yang masuk lewat mulut. Untuk mengatasi hidung mampet bisa dengan menghirup uap zat aromatik seperti mentol atau kayu putih. Produk inhaler yang mengandung mentol, minyak peppermint, dan Cajeput eucalyptol, komponen dari kayu putih cukup manjur. Cukup dengan meletakkan inhaler tepat di bawah hidung, kemudian dihirup, maka uap dari inhaler akan melonggarkan sinus. Lalu apakah menghirup mentol semacam ini, juga masalah yang sama pada hidung yaitu menggunakan obat tetes atau semprot hidung membatalkan puasa?



Kaitan Hidung dan Kerongkongan


Hidung sudah kita ketahui memiliki saluran menuju kerongkongan sebagaimana dibuktikan pula dengan hadits, realita dan penelitian dokter terkini.


Dalil hadits yang membuktikan hal di atas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا


“Masukkanlah air dengan benar kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2366, An Nasai no. 87, Tirmidzi no. 788, Ibnu Majah no. 407. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa hidung punya hubungan ke kerongkongan lalu ke perut. Hal ini dibuktikan pula dalam penelitian kedokteran saat ini.

Meninjau Obat Tetes Hidung

Para ulama fikih kontemporer berselisih pendapat mengenai obat tetes hidung apakah membatalkan puasa ataukah tidak. Ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Tidak membatalkan puasa. Demikian pendapat Syaikh Haytsam Al Khiyath dan Syaikh ‘Ajil An Nasymiy.

Alasan mereka:

1. Zat yang sampai dalam perut dari obat tetes ini amatlah sedikit.

2. Obat pada tetes hidung dalam jumlah sedikit juga bukanlah zat makanan. Padahal alasan makanan bisa membatalkan puasa adalah jika bisa menguatkan dan mengenyangkan sebagaimana telah diterangkan dalam bahasan sebelumnya. Tetes hidung pun tidak dianggap makan dan minum jika ditinjau secara bahasa maupun secara ‘urf. Padahal Allah hanyalah mengaitkan pembatal puasa dengan makan dan minum saja.

Pendapat kedua: Obat tetes pada hidung membatalkan puasa. Demikian pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.

Alasan mereka:

Hadits Laqith bin Shobroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Masukkanlah air dengan benar kecuali jika dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2366, An Nasai no. 87, Tirmidzi no. 788, Ibnu Majah no. 407. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi orang yang berpuasa menggunakan obat tetes hidung yang nantinya dapat sampai pengaruhnya ke perut.

Pendapat Terkuat

Pendapat terkuat dalam masalah ini, obat tetes hidung tidaklah membatalkan puasa walau ada sedikit yang masuk ke perut. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bahasan yang telah lewat bahwa tetes hidung bukanlah aktivitas makan dan minum ditinjau secara bahasa maupun ‘urf. Begitu pula sebagaimana berkumur-kumur itu boleh saat puasa asal tidak berlebihan, padahal ada kemungkinan sedikit air itu masuk. Demikian halnya dengan tetes hidung. Bahkan tetes hidung hanya sedikit zat yang masuk ke dalam perut dibanding berkumur-kumur sehingga dari sini tepat dinilai tidak membatalkan. Wallahu a’lam bish showwab.

Meninjau Obat Semprot Hidung

Ada juga obat yang digunakan berupa semprot (sprayer). Maka bahasannya sebagaimana bahasan ventolin sebelumnya berupa sprayer untuk penderita asma. Dalam pembahasan tersebut disebutkan tidak batalnya puasa. Maka sama halnya dengan obat semprot hidung.

Meninjau Inhaler

Sedangkan penggunaan inhaler yang digunakan untuk melancarkan pernafasan pada hidung bagi yang menderita hidung tersumbat, maka sama halnya dengan dua pembahasan di atas. Penggunaan inhaler tidak membatalkan puasa karena tidak punya pengaruh pada perut, artinya orang yang menggunakan inhaler tidaklah kenyang atau semakin kuat dengan menghirup inhaler. Padahal alasan makan dan minum bisa membatalkan puasa adalah karena alasan bisa mengenyangkan dan menguatkan tubuh sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Begitu pula menghirup inhaler yang mengandung menthol, minyak peppermint dan cajeput eucalyptol, tidaklah disebut makan dan minum secara bahasa maupun secara ‘urf. Wallahu a’lam.

Semoga sajian ilmu ini bermanfaat.

(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Sya’ban 1433 H

www.rumaysho.com

Wednesday, February 9, 2022

Pembatal Puasa Kontemporer


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

https://chat.whatsapp.com/BNpY43aWZNUB6jgGXdxFfu ikhwan

Meneropong Lambung dengan Endoskopi

Untuk memeriksa keluhan pada lambung yang ditandai dengan nyeri pada ulu hati, kembung, mual dan muntah bisa dilakukan dengan teknik endoskopi. Alat yang digunakan dimasukkan lewat mulut, lalu menuju faring, sampai ke esophagus hingga ke lambung. Teknik ini bisa mengangkat daging (polip) di tenggorokan (esophagus) atau daging tumbuh (polip) pada lambung. Teknik ini pula bisa mengambil benda-benda yang tertelan seperti koin, gigi palsu, duri ikan, batu baterai (jam tangan), kancing, dll.

Endoskopi adalah pemeriksaan atau tindakan pengobatan ke dalam saluran pencernaan yang mempergunakan peralatan berupa teropong (endoskop). 

Tindakan endoskopi dapat dibedakan menjadi 3:

1. Gastroskopi (gastroscopy), digunakan untuk melihat dan mengetahui keadaan serta melakukan tindakan terapi dalam rongga saluran cerna bagian atas dari tenggorokan (esophagus), lambung (maag) sampai ke usus 12 jari (duodenum).

2. Kolonoskopi (colonoscopy), digunakan untuk melihat dan mengetahui keadaan serta tindakan terapi dalam rongga saluran cerna bagian bawah (usus besar) dan bagian akhir usus halus.

3. ERCP (endoscopic retrograde cholangio pancreatography), yaitu pemeriksaan untuk melihat kelainan dan tindakan terapi di dalam saluran empedu dan pankreas. (Sumber bacaan: mitrakeluarga.com)

Meninjau Apakah Setiap yang Masuk dalam Perut Membatalkan Puasa?

Sebelum melihat lebih jauh apakah teknik endoskopi bisa membatalkan puasa ataukah tidak, maka perlu dikaji lebih dulu apakah sesuatu yang masuk ke dalam lambung otomatis membatalkan puasa ataukah dipersyaratkan yang masuk adalah makanan. Para ulama dalam masalah ini berselisih pendapat. Sebab perselisihan yang ada mengenai qiyas makanan dengan selain makanan. Yang dapat dipahami secara tekstual dari dalil hanyalah masuknya makanan ke dalam perut yang bisa membatalkan puasa. Jika dilogikakan (ma’qul), maka tidak bisa diqiyaskan makanan tadi dengan selain makanan. Namun jika ada yang menganggap bahwa pembahasan ini tidak bisa dilogikakan (ghoiru ma’qul), maka yang dimaksud larangan makan ketika puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang masuk ke dalam tubuh baik yang masuk berupa makanan atau benda lainnya. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Dari penjelasan di atas, untuk permasalahan ini intinya ada dua pendapat ulama:

Pendapat pertama: Mayoritas ulama terdahulu dan saat ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam perut membatalkan puasa walaupun yang masuk bukan berupa makanan, tidak bisa larut dan tidak bisa mencair.  Seandainya ada sepotong besi atau batu masuk dengan sengaja ke dalam tubuh, maka puasanya batal. Demikian pendapat madzhab Abu Hanifah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.

Alasan mereka:

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghindari celak mata yang bisa masuk melalui mata hingga kerongkongan. Padahal celak mata bukanlah makanan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak disyaratkan yang masuk ke dalam tubuh berupa makanan yang dianggap sebagai pembatal puasa.

Sanggahan:

Hadits yang membicarakan masalah celak sebagai pembatal puasa adalah hadits dho’if (lemah).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah (di antaranya) celak mata tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana ajaran Islam lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 234)

2. Puasa adalah menahan diri (imsak) dari memasukkan segala sesuatu ke dalam tubuh. Jika seseorang memasukkan non makanan, itu berarti tidak menahan diri (imsak). Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa orang yang makan tanah atau batu tetap disebut makan.

Sanggahan:

Padahal penyebutan makan disebutkan oleh mayoritas pakar bahasa dikaitkan dengan makanan seperti dalam Lisanul ‘Arob disebutkan,

أكلت الطعام أكلاً ومأكلاً

“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”

Ar Romaani dalam Al Mishbahul Munir berkata,

الأكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه، فبلع الحصاة ليس بأكل حقيقةً

“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”

Dalam Al Mufrodhaat Al Ashfahani disebutkan,

الأكل تناول المطعم

“Makan adalah mencerna makanan.”

Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Puasa itu meninggalkan makanan  dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903).

3. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata,

إنما الفطر مما دخل وليس مما خرج

“Pembatal puasa adalah segala sesuatu yang masuk dan bukan yang keluar.” (HR. Al Baihaqi dan dihasankan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 327).

Sanggahan:

Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa mengenai hal ini terdapat khilaf (perselisihan pendapat) apakah setiap yang masuk ke dalam tubuh itu membatalkan puasa atau hanyalah dikhususkan makanan. Lagi pula tidak setiap yang keluar itu tidak membatalkan puasa. Buktinya saja, darah haid jika keluar dan muntah dengan sengaja membatalkan puasa padahal itu adalah sesuatu yang keluar. Sehingga perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebenarnya tidak bisa jadi dalil pendukung.

Pendapat kedua: Yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman. Pendapat ini dipilih oleh Al Hasan bin Sholih, sebagian ulama Malikiyah dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang kuat, puasa tidaklah batal dengan menggunakan celak mata, injeksi pada saluran kemaluan dan tidak batal pula dengan memasukkan sesuatu yang bukan makanan.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 528)

Alasan mereka:

1. Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefiniskan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah ma’ruf”.

2. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekedar memasukkan sesuatu ke perut. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak. ” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 245). Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.

Pendapat Terkuat

Pendapat yang lebih mendekati dalil adalah pendapat kedua. Namun karena memperhatikan khilaf (muro’atul khilaf), pendapat pertama yang lebih hati-hati dipilih.

Kembali ke permasalahan alat endoskopi yang dimasukkan ke dalam lambung. Jika kita melihat pendapat pertama bahwa segala yang dimasukkan ke dalam tubuh baik berupa makanan atau non makanan membatalkan puasa, maka demikian pula yang berlaku dengan alat endoskopi. Inilah yang jadi pilihan para imam madzhab selain Hanafiyah. Hanafiyah mensyaratkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam tubuh itu keseluruhan bendanya. Seandainya masih ada yang tersisa di luar, maka tidak membatalkan puasa. Sehingga menurut pendapat ulama Hanafiyah menggunakan alat endoskopi ini tidak membatalkan puasa. Namun ulama madzhab lainnya membatalkan puasa.

Jika yang menjadi pilihan adalah pendapat kedua sebagaimana menjadi pilihan Ibnu Taimiyah, yaitu yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut adalah makanan, maka jelas alat endoskopi yang masuk ke lambung tidak membatalkan puasa. Karena alat endoskopi adalah benda padat (non makanan). Pendapat yang menyatakan teknik endoskopi tidak membatalkan puasa menjadi pilihan Syaikh Muhammad Bakhit (mufti Mesir) dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.

Pendapat yang menyatakan bahwa dimasukkannya alat endoskopi ini tidak membatalkan puasa, itulah yang lebih tepat. Karena cara kerja alat ini tidak disebut makan secara bahasa dan secara ‘urf. Alat tersebut dimasukkan untuk tujuan diagnosa (pemeriksaan), tidak lebih dari itu.

Peringatan: Jika dokter memasukkan pada alat endoskopi ini suatu zat seperti minyak supaya memperlicin dan mempermudah masuknya alat ke dalam tubuh, maka saat ini puasanya batal (tanpa ragu lagi) karena ada zat yang masuk dan batalnya bukan karena sebab alat tadi.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Sya’ban 1433 H

www.rumaysho.com

Friday, October 16, 2020

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa

Allaah telah mewajibkan umat nabi Muhammad untuk melaksanakan puasa dengan smepurna, yaitu dengan melaksanakan puasa sebaik / sesempurna mungkin dan meninggalkan hal-hal yang bisa membatalkan puasa.

Pembatal  puasa antara lain :

1. Makan dan minum dengan sengaja pada siang hari

Allaah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 187 yang artinya :

" Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai ( datang) malam"

2. Memasukkan air sampai ke dalam tenggorok

Hal ini bisa terjadi  saat sedang mandi, menyelam dikolam, sungai, danau, laut atau sumber air lainnya. Juga bisa terjadi saat memasukkan air kehidung terlalu semangat/kuat saat berwudhu.

Rasulullah bersabda, yang artinya :

" Dan hiruplah air itu dengan semangat (dalam berwudhu ), kecuali ketika kamu dalam keadaan puasa." ( HR. Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan lain-lain )

Tetapi jika air masuk ke kerongkongan tanpa disengaja maka puasa tidak batal.

3. Keluar darah Haid dan Nifas

Seorang wanita yang datang bulan dan wanita yang selesai melahirkan, mereka tidak wajib puasa, tetapi wajib menggantinya dihari yang lain.

Aisyah berkata , yang artinya :

" Kami diperintahkan untuk mengganti puasa ( yang batal karena haid dan nifas ) dan kami tidak diperintahkan untuk mengganti shalat" ( HR. Bukhari )

4. Muntah dengan sengaja

Misalnya, jika seseorang dengan sengaja memasukkan jarinya ke kerongkongan untuk mengeluarkan isi perutnya. Adapun jika ia merasa mual dan sudah berusaha menahannya agar jangan sampai muntah, akan tetapi kok muntah juga maka puasanya tetap sah dan ia tidak harus berbuka ( membatalkan puasanya )

Rasulullaah bersabda, yang artinya :

" Barang siapa muntah tidak sengaja, maka ia tidak perlu mengganti puasanya. Dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka hendaklah ia mengganti puasanya" ( HR. Baihaqi dan Tirmidzi )

5. Hilang Akal

Seperti orang gila atau kesurupan. Orang seperti ini tidak mengetahui apa yang sedang terjadi pada diri mereka. Seperti makan, minum dan perbuatan perbuatan yang membatalkan lainnya.

6. Berbekam jika sampai melemahkan Tubuh

Berbekam adalah melemahkan darah kotor dari dalam tubuh dengan jarum atau cantuk. 

Rasulullaah bersabda yang artinya :

" Telah berbuka orang yang membekam dan dibekam" ( HR. Jama'ah )

Dan berbekam tidak membatalkan puasa jika tidak sampai menjadikan tubuhnya lemah.

Baca Kajian Terbaru Kami Disini


Friday, May 10, 2019

PEMBATAL PUASA DAN PEMBATAL PAHALA PUASA

بسم الله الرحمن الرحيم 
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله و على آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة أما بعد


Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Alhamdulillāh, kita masih diberi kemudahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla untuk mempelajari agama-Nya. 

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Dalam sebuah perlombaan pasti di sana ada sebuah peraturan yang berkaitan dengan diskualifikasi atau peraturan dimana seorang peserta lomba dianggap telah melanggar peraturan sehingga dia harus dikeluarkan. 

Ini dalam perlombaan. 

Ternyata dalam puasa seorang bisa saja didiskualifikasi atau dianggap tidak berpuasa, kapan hal tersebut terjadi? 

⑴ Ketika seorang tidak ada niat untuk berpuasa pada malam harinya. 

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

"Siapa yang belum berniat puasa di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya."

(Hadīts Shahīh An Nassā'i nomor 2333, Ibnu Mājah nomor 1700 dan Abū Dāwūd nomor 2454)

⑵ Ketika dia melakukan pembatal puasa (misalkan makan, minum, berhubungan badan atau yang lainnya) dengan syarat dilakukan karena sengaja dan atas kemauan sendiri. 

Jikalau karena lupa maka hak tersebut tidak membatalkan puasa. 

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ

"Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allāh yang memberi ia makan dan minum."

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 1933 dan Muslim nomor 1155)

Ini terkait diskualifikasi secara sempurna dimana seorang dianggap tidak berpuasa. 

Di sana ada diskualifikasi secara pahala dimana seorang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan pahala puasa, sebagaimana kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالْعَطَشُ

"Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata).”

(Hadīts shahīh riwayat Ibnu Mājah 1/539, Darimi 2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270)

Tentu kalau ini terjadi dengan seorang karyawan yang sudah bekerja namun dia tidak mendapatkan gajinya. Sudah protes tentunya, karyawannya sudah sangat sedih sekali, kenapa koq tidak digaji. 

Tapi ini berkaitan dengan pahala yang kita akan dapatkan ketika kita sudah meninggal dunia. 

Nah, kenapa koq orang ini tidak diberikan pahala? Pahalanya didiskualifikasi?

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلُ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ عَزَّوَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allāh Azza wa Jalla butuh meninggalkan makan dan minumnya."

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 4/99)

Coba kita bayangkan hal ini, jikalau kita adalah seorang karyawan kemudian kita bekerja dengan baik tapi ada satu kesalahan yang kita perbuat. Kemudian saat itu direktur kita marah besar dengan kita. 

Kemudian mengatakan, "Saya tidak butuh lagi dengan pekerjaanmu."

Bagaimana rasanya? 

Kita tentu akan sangat sedih sekali, jikalau ini terjadi antara seorang manusia dengan manusia yang lainnya, antara seorang direktur atau seorang bos dengan karywannya, bagaimana rasanya jikalau ini terjadi antara seorang hamba dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang mana Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah Dzat yang Maha Rahman Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tentu rasanya sangat sedih sekali seorang yang melakukan atau mendapatkan perlakuan seperti ini.

Oleh karena itu, dahulu Jābir bin Abdillāh pernah memberikan sebuah nasehat:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَآثِمِ ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ ، وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ ، وَلا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَصَوْمِكَ سَوَاءً " .

"Jikalau engkau sedang berpuasa, maka puasakan juga pendengaranmu, begitu juga penglihatanmu dan lisanmu dari perbuatan dusta dan perbuatan dosa lainnya. Dan kalau punya pembantu kemudian pembantunya melakukan kesalahan, maka tinggalkan dulu kesalahannya (tidak usah jengkel atau marah kepadanya), dan milikilah ketenangan jiwa dan miliki juga ketenangan raga ketika hari berpuasa dan jangan engkau jadikan antara hari dimana engkau tidak berpuasa dan hari dimana engkau berpuasa itu sama."

Inilah nasehat Jābir bin Abdillāh kepada kita semua untuk berpuasa atau mempuasakan anggota badan kita yang lainnya dan untuk memiliki ketenangan jiwa dan raga saat berpuasa serta tidak menjadikan hari saat kita berpuasa dan hari dimana kita tidak berpuasa itu sama. Jangan sampai sama

Inilah nasehat Jābir bin Abdillāh radhiyallāhu ta'āla 'anhu dalam Mushanat Ibnu Abī Syaibah. 

Semoga bermanfaat dan semoga kita tidak menjadi seorang yang puasa kita didiskualifikasi secara sempurna oleh Allāh atau pun didiskualifikasi secara pahala oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, jangan sampe dua-duanya. Na'ūdzubillāhi min dzālik 

Semoga bermanfaat

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb 

وصلى الله على نبينا محمد

Thursday, May 9, 2019

KAPANKAH PUASA RAMADHĀN KITA DIKATAKAN SAH?

بسم الله الرحمن الرحيم 
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله و على آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة أما بعد

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Alhamdulillāh, kita masih diberikan kesempatan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla untuk menuntut ilmu agama.

Tema kita hari ini adalah, "Kapankah puasa Ramadhān kita dikatakan sah?"

Puasa Ramadhān dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. 

Di antara syarat yang penting untuk diketahui, adalah: 

⑴ Berniat pada malam hari sebelum terbit fajar. 

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imām An Nassā'i nomor 2333, yang dishahīhkan oleh Syaikh Albāniy rahimahullāh. 

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

_"Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya."_

Ini menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki niat di setiap malam bulan Ramadhān untuk menunaikan puasa pada esok harinya. 

Sehingga jika ada seorang yang tidak meniatkan pada malam harinya (misalnya) orang yang pingsan sebelum Maghrib hingga terbit Fajar, maka orang tersebut tidak sah puasanya dan harus mengqadhānya. 

Akan tetapi niat tempatnya di dalam hati, seorang yang sudah berniat dalam hatinya untuk berpuasa Ramadhān, maka niatnya sah. 

⑵ Kita harus meninggalkan pembatal-pembatal puasa. Tidak boleh seorang makan atau minum atau berhubungan badan atau melakukan pembatal lainnya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, kecuali bagi seorang yang melanggar tetapi dalam keadaan lupa, maka ia dimaafkan dan puasanya tetap sah. 

Dan jika ada ulamā yang berbeda pendapat dalam sebuah pembatal puasa seperti berbekam atau suntikan atau yang lainnya maka hendaknya kita berhati-hati dalam bersikap. 

Jika tidak terpaksa sekali hendaknya menunda hal-hal yang diperselisihkan tersebut hingga matahari tenggelam agar puasa kita selamat. 

⑶ Harus memastikan bahwa ia tidak berbuka puasa sampai benar-benar yakin bahwa matahari telah tenggelam. 

Dahulu di masjid Nabawi jika Ramadhān adzan Maghrib diundur kurang lebih dua menit dari jadwal aslinya, hal ini dilakukan dalam rangka kehati-hatian.  

Dan hal tersebut tidaklah tercela, karena yang tercela adalah tidak segera berbuka sampai bintang-bintang terlihat sebagaimana kebiasaan kaum Syi’ah. 

Akan tetapi memastikan atau meyakinkan diri bahwa matahari sudah benar-benar tenggelam bukan merupakan perbuatan tercela dan hal ini sering di ingatkan oleh para ulamā. 

Itulah beberapa hal yang bisa kita lakukan agar puasa kita sah. 

√ Berniat di malam harinya.
√ Menjaga diri dari pembatal-pembatal puasa sejak matahari terbit hingga terbenam matahari. 
√ Dan memastikan saat berbuka matahari telah tenggelam (tidak boleh tergesa-gesa untuk berbuka).

Semoga pembahasan ini bermanfaat. 

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishshawāb 


وصلى الله على نبينا محمد

Tuesday, May 7, 2019

Onani Membatalkan Puasa

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Diantara pertanyaan yang banyak nyangkut di KonsultasiSyariah.com adalah tentang onani. Uniknya, ini tidak hanya terjadi pada situs KonsultasiSyariah.com, laporan yang saya dapatkan dari situs pendidikan islam lainnya juga sama, banyak sekali pembaca yang menanyakan seputar onani. Kita tidak memiliki data statistik yang pasti tentang populasi pelakunya, namun yang jelas, banyaknya kasus semacam ini menunjukkan kedewasaan seksual masyarakat indonesia masih tergolong rendah.

Apakah Onani Membatalkan Puasa?
Pertama, terlebih dahulu kita pahami bahwa onani hukumnya haram. Baik dilakukan di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Allah berfirman menceritakan sifat orang yang beriman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

Diantara sifat orang beriman, mereka yang menjaga kemaluan. Mereka tidak mennyalurkan syahwatnya kecuali kepada istri dan budak. Allah nyatakan, perbuatan semacam ini tidak tercela. Kemudian Allah tegaskan, bahwa orang yang menyalurkan syahwatnya selain kepada istri dan budak maka dia melampaui batas. Melampaui batas dengan melanggar apa yang Allah larang. Onani termasuk bentuk menyalurkan syahwat kepada selain istri atau budak. (Simak Tafsir As-Sa’di, hlm. 547).

Kedua, tentang hukum onani ketika puasa

Jumhur ulama dari madzhab hanafiyah, malikiyah, syafiiyah, dan hambali, serta lainnya menegaskan bahwa mengeluarkan mani secara sengaja tanpa hubungan badan, membatalkan puasa, baik dengan cara onani maupun lainnya.

Dalil masalah ini adalah hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي

Allah berfirman, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya. Orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan-minumnya karena-Ku.” (HR. Bukhari 7492, Muslim 1151 dan yang lainnya).

Allah menyebutkan secara beruntun sifat orang yang puasa adalah meninggalkan makan, minum, dan syahwat biologis. Sehingga siapa yang meninggalkan salah satunya, tidak lagi disebut berpuasa, alias puasanya batal.

Dr. Khalid Al-Muslih pernah menjelaskan hadis qudsi dari Abu Hurairah di atas. Beliau mengatakan,

أن من تعمد إنزال المني بالاستمناء أو المباشرة لم يدع شهوته وقصر ذلك على الجماع فقط فيه نظر ظاهر للمتأمل

“Orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan onani atau bercumbu, berarti tidak meninggalkan syahwatnya. Pendapat sebagian ulama bahwa hadis ini hanya berlaku untuk jimak adalah pendapat yang jelas tidak kuat, bagi orang yang merenungkannya.

[sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33607?ref=s-rel]

Keterangan Para Ulama

Imam Ar-Rafii – salah satu ulama besar syafiiyah mengatakan,

المنى إن خرج بالاستمناء افطر لان الايلاج من غير انزال مبطل فالانزال بنوع شهوة اولي أن يكون مفطرا

Mani yang dikelrarkan dengan onani, membatalkan puasa. Karena jika hubungan intim tanpa terjadi keluar mani statusnya membatalkan puasa, maka onani dengan mencapai syahwat puncak lebih layak untuk membatalkan puasa. (Syarh Al-Wajiz Ar-Rafii, 6/396).

Imam Ibnu Baz mengatakan pendapat yang sama,

على من استمنى في رمضان أن يقضي اليوم، عليه أن يتوب إلى الله وأن يقضي ذلك اليوم؛ لأنه أفطر فيه بهذا الاستمناء، يعني صار في حكم المفطرين وإن لم يأكل ويشرب لكنه صار في حكم المفطرين فعليه القضاء

Orang yang melakukan onani ketika Ramadhan, dia wajib mengqadha puasanya. Dia harus bertaubat kepada Allah dan mengqadha puasanya. Karena pada hari itu dia membatalkan puasa dengan melakukan onani. Artinya, status dia sama denga orang yang tidak puasa, meskipun dia tidak makan, tidak minum. Namun statusnya sama dengan orang yang tidak puasa, dan dia wajib qadha.

[sumber: http://binbaz.org.sa/mat/19859]

Allahu a’lam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/19373-onani-membatalkan-puasa.html

Hikmah Berqurban