Oleh :
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Sejarah mencatat, dan telah diabadikan dalam al Qur`an al Karim, bahwa kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, Fir’aun beserta bala tentaranya, Raja Namrud, kaum Nabi Luth dan umat-umat terdahulu lainnya dibinasakan dan dihapuskan dari muka bumi, karena kemusyrikan, kedurhakaan dan kemaksiatan yang merajalela kepada Allah al Khaliq.
Ketika bencana terjadi secara beruntun, mestinya menggelitik kesadaran kaum Muslimin; jangan-jangan ini merupakan peringatan dari Allah bahwa di bumi tercinta ini telah terjadi akumulasi kemusyrikan, kemungkaran, kedurhakaan, bid’ah dan kemaksiatan yang semakin tanpa kendali, seperti pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Sehingga dengan demikian, ada upaya keras untuk menghentikan kemusyrikan, kemungkaran dan semua kejahatan tersebut.Tetapi amat mengherankan! Nyatanya, kaum Muslimin banyak yang justeru berlari menuju kemusyrikan, semakin bersemangat menyembah thaghut dan semakin tidak peduli kepada kemungkaran. Misal konkritnya, dengan cara-cara irrasional. Dalam upaya penanggulangan musibah dan bencana, banyak yang kemudian mengusulkan diselenggarakan acara ruwatan, membuang sesaji ke laut, ke gunung-gunung, atau ke tempat-tempat yang diyakini sebagai istana pembesar makhluk halus. Maksud ritual ini, tidak lain untuk meminta tolong agar para makhluk halus ikut membantu menangani penanggulangan bencana. Sungguh perilaku yang sangat mengherankan.
Jika ini tetap diteruskan, dikhawatirkan Allah Azza wa Jalla akan semakin murka dan semakin besar menurunkan bencana-Nya. Apakah memang umat yang besar ini ingin mengalami nasib yang sama dengan umat-umat terdauhlu? Yaitu dihapuskan jejaknya dari muka bumi? Na’udzu billah min dzalik. Binasa karena kejahatan tentu bukan harapan setiap orang yang sehat cara berfikirnya.
Solusi yang Benar
Dalam kondisi bencana beruntun semacam ini, umat Islam khususnya, harus semakin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan melakukan langkah-langkah, sebagai solusi yang tepat, antara lain sebagai berikut.
*Pertama : Bertaubat dan memperbanyak istighfar.*
Imam Nawawi dalam Riyadhush-Shalihin menjelaskan, bahwa para ulama mengatakan, bertaubat dari segala dosa hukumnya wajib. Jika suatu dosa terjadi dalam hubungannya antara manusia dengan Allah dan tidak berkait sama sekali dengan hak manusia lain, maka taubat memiliki tiga syarat.
1. Mencabut diri (melepaskan diri) dari kemaksiatan yang dilakukannya.
2. Menyesal atas perbuatan yang dilakukannya.
3. Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatannya sama sekali. Apabila salah satu dari syarat di atas tidak terpenuhi, maka tidak sah taubatnya.
Sedangkan jika suatu dosa berkaitan dengan hak anak manusia, maka taubat memiliki empat syarat. Yaitu tiga syarat tersebut di atas, dan ditambah dengan keharusan membebaskan diri dari hak saudaranya itu. Apabila berkaitan dengan harta benda atau yang semisalnya, maka harus dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila berkaitan dengan tuduhan keji, maka harus dilaksanakan hukum padanya atau meminta maaf kepada yang bersangkutan. Dan apabila berkaitan dengan gossip, maka harus meminta maaf (kepada yang digossip)."[1]
Dengan demikian, jika kaum Muslimin banyak melakukan kesalahan, baik berbentuk syirik, bid’ah, dusta, menipu, zina, sumpah palsu, suka menyebarkan berita-berita tanpa data, gossip dan kemaksiatan-kemaksiatan lain, maka harus bertaubat sesuai dengan persyaratan di atas. Di samping itu, harus banyak ber-istighfar, memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , manusia terbaik dan paling bertakwa kepada Allah yang senantiasa terjaga dari kesalahan, selalu bertaubat dan beristighfar setiap hari paling tidak seratus kali.
Beliau Sallallahu alaihi wa sallambersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ . رواه مسلم
Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari seratus kali. [HR Muslim].[2]
Dalam sabda beliau yang lain:
وَاللهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً. رواه البخاري
Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali. (HR Bukhari).[3]
Sebesar apapun dosa seseorang, jika ia bertaubat dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ketentuaan syarat taubat, maka taubatnya akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla selama ketika bertaubat, nyawa belum sampai ke tenggorokan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ .رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما
Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai ke tenggorokan. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dll.).[4]
*Kedua. Memperbaiki tauhid dan menjauhi syirik.*
Arti tauhid menurut pengertian syari’at, yaitu meng-Esakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal yang menjadi kekhususan Allah, baik dalam hal Rububiyah, Uluhiyah maupun Asma’ wa Sifat.[5] Artinya, disamping meneguhkan keyakinan akan tauhid Rububiyah serta Asma’ wa Sifat, juga harus meluruskan realisasi tauhid Uluhiyah.
Pengertian tauhid Uluhiyah ialah, meng-Esakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakukan peribadatan hanya kepada-Nya semata secara ikhlas. Sebab yang berhak diibadahi (dan disembah-sembah) hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ وَاَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ الْبَاطِلُۙ وَاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ
Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah sesembahan sebenarnya dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil. [Luqman/31:30].[6]
Sehingga peribadatan, permohonan dan persembahan hewan-hewan sembelihan hanya boleh ditujukan kepada Allah saja. Jika ditujukan dan dipersembahkan kepada selain Allah, maka hukumnya syirik. Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۚفَاِنْ فَعَلْتَ فَاِنَّكَ اِذًا مِّنَ الظّٰلِمِيْنَ – ١٠٦ وَاِنْ يَّمْسَسْكَ اللّٰهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهٗ ٓاِلَّا هُوَ ۚوَاِنْ يُّرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَاۤدَّ لِفَضْلِهٖۗ يُصِيْبُ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ ۗوَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Dan janganlah kamu menyembah selain Allah, (yaitu) sesuatu yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim. Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Yunus/10:106-107]
Pengertian ayat:
فَاِنْ فَعَلْتَ فَاِنَّكَ اِذًا مِّنَ الظّٰلِمِيْنَ
*(sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim),* maksudnya, termasuk orang-orang yang berbuat syirik. Sebagaimana Allah berfirman menceritakan penjelasan Luqman:
ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Sesungguhnya syirik (mempersekutukan Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar. [Luqman/31:13].[7]
Allah juga berfirman:
وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنْ يَّدْعُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَنْ لَّا يَسْتَجِيْبُ لَهٗٓ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَاۤىِٕهِمْ غٰفِلُوْنَ
Dan *tidak ada yang lebih sesat* daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’anya) sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka. [al Ahqaf/46:5]
Menyembelih hewan ternak yang dimaksudkan untuk sesajian dan persembahan kepada selain Allah juga termasuk syirik, dan dagingnya haram untuk dimakan. Allah Azza wa Jalla antara lain berfirman:
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang disembelih) untuk persembahan kepada selain Allah. [al Baqarah/2:173].
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, [al Ma’idah/5:3].
Dalam sebuah hadits shahih, dibawakan dari ‘Amir bin Watsilah, ia berkata: Aku pernah berada di hadapan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Lalu datanglah kepadanya seorang laki-laki seraya bertanya: “Apa yang pernah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rahasiakan kepada engkau?
Amir bin Watsilah berkata: (Mendengar pertanyaan itu) Ali marah,[8] dan kemudian Ali berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan apapun kepadaku yang disembunyikannya dari manusia lain. Hanya saja Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan kepadaku tentang empat ketetapan.
Orang itu bertanya,“Apakah empat ketetapan itu, wahai Amirul Mu’minin?
Ali menjawab: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ. رواه مسلم
Allah melaknat orang yang mencaci orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih hewan ternak untuk maksud selain Allah, Allah melaknat orang yang melindungi orang yang berbuat bid’ah (atau berbuat kejahatan), dan Allah melaknat orang yang merubah tanda-tanda batas tanah’. [HR Muslim].[9]
Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali hafizhahullah- setelah memaparkan nash-nash di atas menjelaskan kesimpulannya, yaitu:
1. Menyembelih hewan ternak untuk persembahan selain Allah, menghilangkan keimanan dan bertentangan dengan tauhid.
2. Haram hukumnya menyembelih hewan untuk persembahan selain Allah. Misalnya menyembelih hewan untuk persembahan kepada patung, atau salib, atau untuk persembahan kepada seorang nabi, wali atau untuk persembahan kepada sebuah bangunan.
3. Tidak halal memakan daging sembelihan yang dipersembahkan untuk selain Allah, baik orang yang menyembelih hewan tersebut seorang muslim, yahudi ataupun nasrani.[10]
Demikian pula, dunia perdukunan juga termasuk dunia syirik. Mendatangi dukun, paranormal dan orang pintar hukumnya haram dan dapat mengeluarkan seseorang dari keislaman jika disertai kepercayaan dan keyakinan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً. رواه مسلم
Barangsiapa mendatangi orang pintar, lalu ia bertanya kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. [HR Muslim].[11]
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ أَوْ أَتَى امْرَأَتَهُ حَائِضًا أَوْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وغيرهم.
Barangsiapa yang mendatangi dukun, lalu mempercayai apa yang ia katakan, atau menggauli isterinya yang sedang dalam keadaan haid, atau menggauli isterinya pada anusnya, maka sungguh *ia telah terlepas dari wahyu yang diturunkan kepada Muhammad.* [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dll].'[12]
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali menjelaskan: Kadang-kadang ancamannya berbentuk tidak diterimanya shalat, dan kadang-kadang berbentuk pengkafiran. Maknanya mengandung pengertian, jika seseorang datang kepada orang pintar atau dukun atau yang sebangsanya tanpa mempercayai mereka (hanya sekedar bertanya, Pen.), maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam. Dan jika ia mendatanginya dengan mempercayai dan meyakini apa yang mereka katakan, maka ia telah kafir kepada agama yang diturunkan kepada Muhammad. Jadi tidak mungkin antara beriman kepada Allah dapat bergabung dengan percaya kepada para dukun.[13]
Ketiga. Memperbaiki ibadah.
Syaikhul Islam telah mendefinisikan ibadah. Yaitu suatu nama yang mencakup semua apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang bathin maupun yang lahir.[14]
Sedangkan Syaikh Ali Hasan Abdul-Hamid hafizhahullah- pada catatan kaki dalam Kitab al-‘Ubudiyah, beliau menukil perkataan Imam al Muqrizi sebagai berikut:Ketahuilah, bahwasanya ibadah memiliki empat pilar. Yaitu: memastikan terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah dan Rasul-Nya, setelah itu melaksanakannya dengan hati, lalu melaksanakannya dengan lidah, kemudian melaksanakannya dengan anggauta badan”.[15]
Karena itu ibadah memiliki syarat untuk dapat diterima. Dan syaratnya ada dua, seperti penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin t ketika meringkas pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Taqrib at-Tadmuriyah, yaitu:
1. Ikhlas hanya untuk Allah Azza wa Jalla . Artinya, ibadah yang dilakukan tidak dimaksudkan kecuali hanya untuk Allah saja, dan dalam rangka mencari negeri kemuliaan abadi di akhirat. Inilah realisasi dari syahadat La Ilaha Illallah.
2. Mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maksudnya, tidak melakukan peribadatan kepada Allah tanpa mengikuti apa yang disyari’atkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah realisasi dari syahadat Muhammadur-Rasulullah.
Dengan demikian, seorang musyrik, tidak akan diterima dan tidak sah ibadahnya, sebab ia kehilangan syarat pertama. Sedangkan ahli bid’ah juga tidak diterima dan tidak sah ibadahnya, sebab ia kehilangan syarat kedua. Dalil yang membuktikan dua syarat ini terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[16]
Oleh karena itu, upaya memperbaiki ibadah, tidak lain kecuali dengan memperbaiki keikhlasan kepada Allah dan menjauhi segala perbuatan bid’ah.
Keempat. Memperbaiki ketaatan kepada Allah.
Maksudnya, berusaha menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhi segala yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka hal pertama setelah menjalankan kewajiban adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa besar, setelah itu disusul dengan meninggalkan perbuatan dosa-dosa kecil.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ. متفق عليه
Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang menghancurkan,para sahabat bertanya: “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: *“(Yaitu) (1) Syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh seseorang yang diharamkan Allah kecuali dengan prosedur yang benar, (4) memakan riba, (5) memakan harta anak yatim, (6) melarikan diri pada saat terjadi pertempuran besar melawan musuh, dan (7) menuduh zina kepada wanita-wanita mu’minah yang senantiasa menjaga kehormatannya”.* (HR Bukhari dan Muslim).[17]
Agar orang lebih memahami perintah, larangan, wajib, sunat, halal, haram, dan seterusnya, maka ia harus meluangkan waktu untuk mempelajari Islam dengan benar.
*Kelima. Memperbaiki sistem mu’amalah.*
Mu’amalah menyangkut kehidupan masyarakat, baik berkaitan dengan jual beli, pernikahan, hubungan sosial maupun politik. Dalam Islam, semua itu ada aturannya, adab dan sopan santunnya. Inti semua permasalahan itu didasarkan pada sikap takwa, jujur dan amanah.
Perintah takwa adalah perintah yang tidak asing lagi bagi setiap muslim, karena ia merupakan wasiat Allah, Rasul-Nya dan para sahabat serta para ulama hingga akhir zaman. Ayat-ayat al Qur`an maupun hadits-hadits Nabi banyak memuat tentang itu.
Adapun jujur, di antaranya terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا. رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم.
Wajib bagi kalian untuk jujur, karena jujur akan membimbing menuju kebaikan. Dan sesungguhnya kebaikan akan membimbing menuju surga. Ada seseorang yang senantiasa jujur dan bersungguh-sungguh untuk jujur, hingga ia ditetapkan di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Hati-hatilah, jangan sekali-kali kalian berbuat dusta, karena dusta akan membimbing menuju kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan akan membimbing menuju neraka. Ada seseorang yang senantiasa dusta dan bersungguh-sungguh untuk dusta, hingga ia ditetapkan di sisi Allah sebagai pendusta. [HR Bukhari dan Muslim. Lafazh di atas adalah lafazh Muslim].[18]
Sedangkan amanah, di antaranya Allah berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [an-Nisa/4:58].
Di samping beberapa langkah di atas, kaum Musimin hendaknya menggalakkan pengajian-pengajian yang benar di masjid-masjid dan majlis-majlis ta’lim. Dalam majlis-majlis tersebut, hendaklah disampaikan tentang:
1. Tauhid serta ‘aqidah yang benar. Meliputi tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa Sifat serta implementasinya.
2. Juga perihal ‘aqidah serta sikap yang benar tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para sahabat, Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para sahabat, untuk menanggulangi sikap ekstrim dan sikap mengabaikan, serta sikap-sikap salah lainnya.
3. Tata cara ibadah yang benar, mulai dari wudhu’, shalat, puasa, haji dan zakat. Juga tentang haid, nifas, sistem jual beli, haramnya tindakan merugikan pihak lain, haramnya membunuh, dan setiap pembunuhan yang sengaja ataupun tidak sengaja memiliki konsekuensi yang berat di dunia maupun di akhirat,
4. Jauhkan masjid-masjid dan majlis-majlis ta’lim dari kegiatan provokasi, menghasut dan politik praktis.
Demikian beberapa solusi, usulan serta saran yang dapat diajukan sebagai bentuk kepedulian memikirkan umat, agar kita terselamatkan dari segenap malapetaka di dunia maupun terlebih lagi di akhirat. Hal di atas hanya sebagian contoh yang mesti dilakukan. Masih banyak hal lain yang harus diperbaiki, namun perlu tahapan-tahapan. Intinya, semua harus dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla . Bukankah tujuan hidup yang sebenarnya adalah untuk beribadah? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.[adz-Dzariyat/51:56].
Itulah tolak bala’ yang sesungguhnya; bala’ di dunia maupun bala’ di akhirat. Insya Allah, jika kaum Muslimin sudah benar-benar dekat kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, mereka akan mendapatkan ketenteraman di dunia maupun di akhirat, dan terhindar dari berbagai malapetaka.
Wallahu Waliyyu at-taufiq.
*Maraji`:*
1. Al Qaulul-Mufid ‘ala
Kitabut-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin. Dikumpulkan, disusun dan takhrij oleh Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Abu al Khail dan Dr. Khalid bin Ali al Musyaiqih, Cetakan I, Tahun 1415 H, Darul-‘Ashimah.
2. Al ‘Ubudiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, Cetakan IV, Tahun 1425 H/2004 M, Darul-Mughni.
3. Bahjatun-Nazhirin Syarh Riyadhush-Shalihin Imam Nawawi, karya Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Cetakan V, Tahun 1421 H, Dar Ibnul-Jauzi.
4. Fathul-Bari Syarhu Shahih al Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani, Tarqim wa Tabwib: Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Isyraf: Muhibbuddin al-Khathib. Tash-hih: Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Tanpa Tahun, Jami’atu al-Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah, Riyadh.
5. Kitabut-Tauhid wa Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, Fi Tahqiq Da’watil-Anbiya`i wal-Mursalin, Syaikh ‘Abdur-Rahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahab an-Najdi al Hanbali (wafat 1285 H), Tahqiq, Takhrij hadits dan ta’liq: Basyir Muhammad ‘Uyun, Cetakan II, Tahun 1414 H/1994 M, Maktabah Darul-Bayan, Dimasyqi.
6. Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M, Darul-Ma’rifah.
7. Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al Albani, Cetakan I dari cetakan baru, Tahun 1420 H/2000 M, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
8. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh al Albani, Cetakan II dari cetakan baru, Tahun 1421 H/2000 M, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
9. Shahih Sunan Ibnu Majah, Syaikh al Albani, Cetakan I dari cetakan baru, Tahun 1417 H/1997 M, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
10. Silsilah al Manahi asy-Syar’iyah (Seri 1), at-Tauhid, al Qadar, al-Ilmu, al I’tisham, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id al Hilali, Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M, Dar Ibnul-Qayyim, Riyadh, KSA, dan Dar Ibnu ‘Affan, Kairo.
11. Taqrib at-Tadmuriyah Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin yang dibukukan oleh Sayyid bin ‘Abbas bin ‘Ali al-Julaimi, Cetakan I, Tahun 1413 H/1992 M, Maktabah as-Sunnah, Kairo.
12. Dan lain-lain.
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
Footnote
[1] Bahjatun-Nazhirin Syarh Riyadhush-Shalihin Imam Nawawi, karya Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Bab at Taubah, halaman 49.
[2] Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Kitab (ad-Da’awat) adz-Dzikri wad- Du’a-i wat-Taubati wal-Istighfar, Bab Istihbab al-Istighfar wa al-Istiktsar minhu (XVII/26, no. hadits 6799).
[3] Fathul-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani, Kitab ad-Da’awat, Bab Istighfar an-Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam fi al-Yaum wa al-Lailah (XI/101, no. hadits 6307).
[4] Syaikh Salim al Hilali mengatakan, hadits ini shahih dengan syawahid-nya. Dikeluarkan oleh Tirmidzi. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al Albani, Kitab ad-Da’awat, Bab 99, (III/454, hadits no. 3537). Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan“. Dan Ibnu Majah, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, Syaikh al Albani, Kitab az-Zuhd, Bab Dzikri at-Taubah (III/383, hadits no. 3449). Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan,” dan lain-lain. Lihat Bahjatun-Nazhirin Syarh Riyadhush-Shalihin Imam Nawawi, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali, Bab at-Taubah, halaman 56.
[5] Lihat Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin dalam Kitab al Qaulul-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid. Dikumpulkan, disusun dan takhrij oleh Dr. Sulaiman bin Abdillah Abu al Khail dan Dr. Khalid bin Ali al Musyaiqih (I/5).
[6] Lihat Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin dalam Kitab al Qaulul-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, halaman 9-10.
[7] Kitab at-Tauhid wa Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, fi Tahqiq Da’wati al-Anbiya’i wal Mursalin, Syaikh Abdur-Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi al Hanbali (wafat 1285 H), Tahqiq, Takhrij hadits dan ta’liq: Basyir Muhammad ‘Uyun, Bab 14, halaman 83.
[8] Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali memberikan catatan kaki disini, bahwa dalam riwayat ini terdapat pernyataan tentang batilnya kaum Syi’ah Imamiyah yang beranggapan bahwa Nabi n telah memberikan wasiat kepada Ali dan Ahli Bait Nabi serta memberikan pesan-pesan khusus yang dirahasiakan oleh Rasulullah hingga tidak diketahui oleh kaum Muslimin umumnya.
[9] Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Kitab al-Adhahi, Bab Tahrim adz-Dzabhi lighairillah Ta’ala wa La’ni Fa’ilihi (XIII/141, no. hadits. 5096).
[10] Silsilah al-Manahi asy-Syar’iyah (Seri 1), at-Tauhid, al Qadar, al ‘Ilmu, al I’tisham, karya Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id al-Hilaly, halaman 110-112.
[11] Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Kitab ath-Thibb, Bab Tahrim al Kahanah wa Ityan al Kuhhan (XIV/446, no. hadits 5782).
[12] Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh al Albani, Kitab ath-Thibb, Bab Fi al-Kahin (II/373 no. hadits 3904), Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al Albani, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma Ja‘a fi Karahiyati Ityan al Ha’idh (I/94, no. hadits 135), dan Shahih Sunan Ibnu Majah, Syaikh al-Albani, Kitab ath-Thaharah wa Sunaniha, Bab An-Nahyi ‘an Ityan al Ha’idh (I/198, no. hadits 528).
[13] Silsilah al Manahi asy-Syar’iyah (Seri 1), at-Tauhid, al Qadar, al ‘Ilmu, al-I’tisham, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id al Hilali, halaman 85.
[14] Al ‘Ubudiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq: Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, halaman 17.
[15] Lihat footnote 14.
[16] Taqrib at-Tadmuriyah Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin t yang dibukukan oleh Sayyid bin ‘Abbas bin ‘Ali al Julaimi, halaman 113.
[17] Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani, Kitab al Hudud, Bab Ramyu al-Muhshanat (XII/181 no. hadits 6857), dan Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Kitab al Iman, Bab Bayan al-Kaba’ir wa Akbariha (II/273, no. hadits 258).
[18] Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani, Kitab al-Adab, Bab 69 (X/507 no. hadits 6094), dan Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Kitab al Adab wa al Birr wa ash-Shilah wa al Aadab, Bab Qubhi al-Kadzib wa Husni ash-Shidqi wa Fadhlihi (X/376 no. hadits 6582)."
Ⓜ️edia Sunnah Nabi
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.