Skip to main content

Hadits Dhaif dan Maudhu’ Seputar Ramadhan

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Hadits Tentang Salah Satu Keutamaan Bulan Ramadhan

Tidak sedikit hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat dan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan syari’at. Berikut ini adalah beberapa hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) yang populer ditelinga masyarakat dan menjelaskan kedudukan haditsnya.

Adapun hadits-hadits yang dicantumkan di bawah ini adalah hadits-hadits yang lemah dan palsu secara matan (redaksi), sanad (urutan perawi), ataupun keduanya, sebagaimana telah diuraikan penjelasannya di atas. Dan untuk memperjelas kedudukan dari hadits-hadits yang disebutkan selanjutnya, penulis menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk merujuk kepada kitab-kitab yang penulis sebutkan sebagai referensinya.

Pertama

Hadits Tentang Keutamaan Ramadhan

لَوْ يَعْلَمُ الْعِـبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةً كُلُّهَا رَمَضَانَ، إِنَّ الْجَنَّةَ لَتَزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ .

Artinya: “Seandainya ummatku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadhan, niscaya ummatku akan menginginkan satu tahun penuh semuanya adalah bulan Ramadhan. Sesungguhnya Surga berhias menyambut Ramadhan setiap tahunnya.”

Derajat: Maudhu’/Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la Al-Mushili dalam Musnad-nya (no. 5251) sebagaimana disebutkan dalam Mathalibul ‘Aliyah (VI/42-44, no. 1010), Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (III/190, no. 1886), Ibnu Abi Dunya dalam Fadha’il Ramadhan (hal. 49, no. 22), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (III/313, no. 3634), dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (II/547, no. 1119). Lihat juga Dha’if Targhib wa Tarhib (II/303, no. 596).

Dari jalur Jarir bin Ayyub Al-Bajaliy, dari Asy-Sya’biy, dari Nafi’ bin Burdah, dari ‘Abdullah bin Mas’ud (atau Abu Mas’ud Al-Ghifariy), dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

‘Illat(cacat) Hadits:

Hadits ini terkadang diriwayatkan atas nama Abdullah bin Mas’ud dan terkadang Abu Mas’ud, namun yang benar adalah Abu Mas’ud Al-Ghifariy. Sebagaimana penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Mathalibul ‘Aliyah (VI/42-44, no. 1010).

Jarir bin Ayyub bin Abi Zur’ah bin ‘Amru bin Jarir Al-Bajiliy Al-Kufiy, menyendiri dalam periwayatannya dan dia seorang yang dha’if, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

 Yahya bin Ma’in berkata: ليس بشئ

Abu Hatim berkata: منكر الحديث٬ ضعيف الحدي

Abu Zur’ah berkata: منكر الحديث

bnu Hibban berkata: كان ممن فحش خطؤه

Abu Nu’aim berkata: يضع الحديث

Al-Bukhari berkata: منكر الحديث

An-Nasa’i berkata: متروك الحديث٬ ليس بثقة٬ ولا يكتب حديثه

Al-Baihaqiy berkata: ضعيف عند اهل النقل

Dan lain-lain. [Lihat Al-Jarh wa Ta’dil (II/503), Al-Majruhin (I/220), Al-Kamil (II/322-323), Al-Mizan (II/116), Lisanul Mizan (II/302), Adh-Dhu’afa (I/198), Ta’jil Al-Manfa’ah (I/384).

Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini palsu dan telah dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/549)]

Imam Asy-Syaukani berkata, “Telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalan Ibnu Mas’ud secara marfu’ dan haditsnya palsu. Kecacatannya terdapat pada Jarir bin Ayyub (Al-Bajaliy). Dan susunan (lafazh)nya adalah susunan yang dapat disaksikan oleh akal bahwa dia adalah hadits palsu.” [Lihat Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fil Ahaditsul Maudhu’ah (hal. 88, no. 254)]

Syaikh Al-Albani berkata, “Maudhu’ (palsu).” [Lihat Dha’if Targhib wa Tarhib (II/303, no. 596)]

Al-A’zhamy berkata, “Sanadnya dha’if, bahkan maudhu’.” [Lihat Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah (III/190)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XX/388, no. 967), dari jalur Al-Hayyaj bin Bustham, telah berkata kepada kami ‘Abbad bin Nafi’ dari Abi Mas’ud al-Ghifariy dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (marfu’).”

Hadits ini diriwayatkan juga oleh As-Suyuthi dalam Al-Laali’ (II/85) dari jalur Al-Hayyaj bin Bustham telah berkata kepada kami Al-‘Abbas dari Nafi’ dari Abi Syuraik Al-Ghifari sesungguhnya dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Thahir Ibnu Abi Shaqr dalam Musyikhat (hal. 129, no. 56), dari jalur Al-Hayyaj bin Bustham telah berkata kepada kami Al-‘Abbas dari Nafi’ dari Abi Sarihah al-Ghifariy secara marfu’.

Al-Hayyaj bin Bustham At-Tamimiy Al-Haruiy Abu Khalid Al-Hanzhaliy. Dia seorang yang dha’if, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

Yahya bin Ma’in berkata: ليس بشئ٬ هروى ضعيف

Ahmad bin Hanbal berkata: متروك الحديث

Abu Dawud berkata: تركوا حديثه

Abu Hatim berkata: يكتب حديثه ولا يحتج به

Ibnu Hajar berkata: ضعيف روى عنه ابنه خالد منكرات شديدة

Ibnu Hibban berkata: كان مرجئا داعية إلى الإرجاء

Dan lain-lain. [Lihat Al-Kamil (VIII/448), Al-Mizan (VII/103-104), Al-Majruhin (III/96), Tahdzibul Kamal (XXX/357), Tahdzibut Tahdzib (IX/98-99), dan Taqribut Tahdzib (hal. 1029)]

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Hayyaj bin Bustham seorang yang majruh (cacat) dalam periwayatannya, dan yang men-tsiqah-kannya sedikit skali, Maka dalam hal ini (الجرح المفسر مقدم على التعديل المطلق ) jarh yang mufassar lebih didahulukan dari ta’dil yang muthlaq, sebagaimana penjelasan Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan lain-lain bahwa dia seorang yang ditinggalkan haditsnya. Sedangkan Imam Ahmad dalam jarhnya daqiq (terperinci) dan sangat wara’ (hati-hati), demikian juga dengan Yahya bin Ma’in, seorang yang paling ‘alim tentang rijal (rawi-rawi hadits).

 Sebagian ahli ilmu seperti Al-Hakim men-tsiqah-kannya bila yang meriwayatkan darinya anaknya yang bernama Khalid, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Yahya bin Sa’id Adz-Dzuhaliy. Sedangkan riwayat ini tidak diriwayatkan oleh anaknya sehingga jelas akan kedha’ifannya.

Al-Haitsamiy berkata, “Telah diriwayatkan oleh Ath-Thabraniy dalam Mu’jamul Kabir dan didalam sanadnya ada Al-Hayyaj bin Bustham, dia seorang yang dha’if.” [Lihat Al-Majma’ (III/145)]

Al-Mu’alimiy berkata: “Kemudian As-Suyuthi menyebutkan riwayatnya dari Ibnu Najar sampai kepada Al-Hayyaj bin Bustham telah berkata kepada kami Al-‘Abbas dari Nafi’ dari Abi Syuraik Al-Ghifari secara marfu’. Sedangkan Al-Hayyaj tidak diketahui siapa gurunya, dan tidak juga Abu Syuraik.” [Lihat Tahqiq Al-Fawa’id Al-Majmu’at (hal. 88)]

muslimah.or.id

Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:

1. Al-Ba’itsul Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulumil Hadits, AL-Hafizh Ibnu Katsir, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

2. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, cetakan Darul Afaq Al-Jadidah, Beirut.

3. Al-Maudhu’at min Al-Ahaditsil Marfu’at, Ibnul Jauzi, cetakan Adhwa’us Salaf, Riyadh.

4. Al-Wadh’u fil Hadits, Dr. ‘Umar Hasan Falatah, cetakan Maktabah Al-Ghazali, Damaskus.

5. As-Sunnah Qabla At-Tadwin, Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, cetakan Maktabah Wahbah, Kairo.

6. As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ Al-Islami, Mushthafa As-Siba’i, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Damaskus.

7. Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyyah, Abu ‘Ubaidah Yusuf As-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Bogor.

8. Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, cetakan Darul Hadits, Kairo.

9. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf.

10. Irwa’ul Ghalih fi Takhriji Ahadits Manaris Sabil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Beirut.

11. Manzilatus Sunnah fit Tasyri’ Al-Islami, Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami, cetakan Darul Minhaj, Kairo.

12. Musthalahul Hadits, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.

13. Penolakan M. Quraish Shihab Terhadap Hadits Keberadaan Allah (Sebuah Tinjauan Kritik Hadits), Sofyan Hadi bin Isma’il Al-Muhajirin, skripsi kelulusan sarjana Fakultas Tafsir Hadits UIN, Bandung.

14. Qawa’idut Tahdits, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.

15. Shahih Muslim, Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.

16. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

17. Sunan Ibnu Majah, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Qazwini (Ibnu Majah), cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

18. Syarh Manzhumah Al-Baiquniyyah, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Maktabah Al-‘Ilmu, Kairo.

19. Syarh Nukhbatul Fikr fi Musthalah Ahlil Atsar, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, cetakan Darul Mughniy, Riyadh.

20. Syarhus Sunnah, Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al-Barbahari, cetakan Maktabah Darul Minhaj, Riyadh.

21. Tadribur Rawi, Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi, cetakan Daar Thaybah, Riyadh.

22. Taisir Musthalahul Hadits, Mahmud Ath-Thahhan, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.

23. Takhrijul Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Hafizh Abi Fadhl Zainuddin ‘Abdurrahman bin Husain Al-‘Iroqi, cetakan Maktabah Daar Thabariyyah, Riyadh.

24. Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Daar Ar-Rayah, Riyadh.

25. Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cetakan Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, Riyadh.

26. Dan kitab-kitab lain.

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.