Skip to main content

Mati Syahid Karena Melahirkan dan Tenggelam

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

https://chat.whatsapp.com/FMmfNDQhch48pfa0qkphDE ikhwan

Ada bentuk mati yang dirasakan begitu mengerikan, namun bisa mendatangkan mati syahid. Di antaranya karena tenggelam dan melahirkan. Apa maksudnya?

Kita terlebih dahulu lihat hadits-hadits yang membicarakan tentang hal itu.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena tho’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari, no. 2829 dan Muslim, no. 1914)

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْقَتِيلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Orang yang terbunuh di jalan Allah (fii sabilillah) adalah syahid; orang yang mati karena wabah adalah syahid; orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid; dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad, 2: 522. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan ‘Adil Mursyid menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

Dari Jabir bin ‘Atik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat keterangan ‘Aun Al-Ma’bud, 8: 275)

Di antara maksud syahid sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,

لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيْهِمْ السَّلَام يَشْهَدُونَ لَهُ بِالْجَنَّةِ . فَمَعْنَى شَهِيد مَشْهُود لَهُ

“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2: 142, juga disebutkan dalam Fath Al-Bari, 6: 42).

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat lain, yang dimaksud dengan syahid adalah malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6: 43)

Level Syahid

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:

Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini ialah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.

Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).

Jadi Imam Nawawi menggolongkan mati syahid karena tenggelam, juga karena hamil atau melahirkan adalah dengan mati syahid akhirat, di mana mereka tetap dimandikan dan dishalatkan. Beda halnya dengan mati syahid karena mati di medan perang.

Ibnu Hajar rahimahullah membagi mati syahid menjadi dua macam:

Syahid dunia dan syahid akhirat, adalah mati ketika di medan perang karena menghadap musuh di depan.

Syahid akhirat, yaitu seperti yang disebutkan dalam hadits di atas (yang mati tenggelam dan semacamnya, pen.). Mereka akan mendapatkan pahala sejenis seperti yang mati syahid. Namun untuk hukum di dunia (seperti tidak dimandikan, pen.) tidak berlaku bagi syahid jenis ini. (Fath Al-Bari, 6; 44)

Asalkan Tenggelam Sudah Disebut Syahid ataukah Tidak?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, ada orang yang menaiki kapal dengan maksud pergi berdagang kemudian tenggelam, apakah ia dikatakan mati syahid?

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan jawaban, ia termasuk syahid selama ia tidak bermaksiat ketika ia naik kapal tadi. Ada hadist shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, orang yang mati tenggelam termasuk syahid; orang yang mati karena sakit perut termasuk syahid; orang yang mati terbakar termasuk syahid; orang yang mati karena wabah termasuk syahid; wanita yang mati karena melahirkan termasuk syahid; juga orang yang mati karena tertimpa reruntuhan termasuk syahid. Ada juga hadits yang menyebutkan selain dari itu.

Asalnya memang pergi berdagang dengan kapal itu boleh selama yakin bahwa diri kita bisa selamat. Namun kalau tidak yakin bisa selamat, maka tidak boleh bergadang dengan kapal laut. Jika nekad dilakukan, maka sama saja bunuh diri dan tidak disebut syahid. Wallahu a’lam. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24: 293)

Yang Mati Tenggelam Apakah Tetap Dimandikan dan Dishalatkan?

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan bahwa orang yang mati syahid tidak lewat jalan berperang seperti karena sakit perut, karena wabah penyakit, karena tenggelam, karena tertimpa reruntuhan, juga karena melahirkan, tetap dimandikan dan dikafani sebagaimana diketahui tidak ada perselisihan dalam hal ini.

Mereka semuanya yang mati syahid bukan karena berperang tetap dimandikan dan dishalatkan. Karena yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggalkan adalah tidak memandikan orang yang mati syahid karena berperang. Karena kalau dimandikan akan menghilangkan darah baik. Alasan lainnya, karena sulit untuk memandikan orang yang mati syahid, ditambah jumlah yang mati biasa banyak. Begitu pula, orang yang mati syahid di medan perang memiliki luka-luka. Sedangkan untuk orang yang mati karena tenggelam dan lainnya tidak ditemukan alasan-alasan seperti itu. (Al-Mughni, 3: 476-477)

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 5 Rabi’uts Tsani 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Rumaysho.Com

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك...

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an...

Lailatul Qodar

Pengertian Lailatul qodar adalah malam kemuliaan yang hanya terdapat pada bulan ramadhan. Keutamaan Lailatul qodar , Allaah telah menerangkan dalam QS. Al-Qadr ayat 1-5 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Qadr. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar." Waktu / malam Lailatul Qadr berada diantara sepuluh malam terakhir pada bulan ramadhan, dan lebih khusua lagi pada malam-malam yang ganjil. Rasulullaah bersabda, yang artinya : " Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." ( HR. Bukhari dan Muslim) Oleh sebab itu pada malam-malam itu kita di anjurkan untuk memperbanyak amal soleh. Tanda-tanda Lailatul Qadr : 1. Pada malam lailatul qadr terasa sejuk, tidak panas, dan tidak dingin. Riwayat dari Jabir bi...