Skip to main content

YANG MENDAPATKAN KERINGANAN TIDAK BERPUASA

Oleh :
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  

Ada di antara beberapa orang yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa. Siapakah mereka?

1. Orang yang sakit
Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Orang sakit yang boleh tidak puasa adalah jika mendapatkan mudarat dengan puasanya.[1]

2. Orang yang bersafar
Dalil seorang musafir boleh tidak berpuasa adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Musafir punya pilihan boleh tidak puasa ataukah tetap berpuasa.[2] Dari Abu Sa’id Al Khudri dan Jabir bin ‘Abdillah, mereka berkata,

سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَيَصُومُ الصَّائِمُ وَيُفْطِرُ الْمُفْطِرُ فَلاَ يَعِيبُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ

Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ada yang tetap berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Namun mereka tidak saling mencela satu dan lainnya.“[3]

Namun manakah yang lebih utama baginya, apakah berpuasa ataukah tidak? Di sini bisa dilihat pada tiga kondisi:

a. jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.

b. jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban dan lebih mudah berpuasa dengan orang banyak daripada sendirian.

c. jika tetap berpuasa malah membinasakan diri sendiri, maka wajib tidak puasa.[4]

3. Orang yang sudah tua renta (sepuh)
Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya).


Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184).

Begitu pula yang mendukungnya adalah riwayat berikut,

عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin .Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.”[5]

4. Wanita hamil dan menyusui
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.“[6]

Asy Syairozi salah seorang ulama Syafi’i berkata, Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tiga pendapat.”[7]

Imam Nawawi berkata, Wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’. Tidak ada fidyah ketika itu seperti halnya orang yang sakit. Permasalahan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat berpuasa, bukan pada kondisi dirinya, maka boleh tidak puasa, namun tetap ada qadha’. Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah diwajibkan menurut madzhab Syafi’i.”[8]

Sedangkan mewajibkan hanya menunaikan fidyah saja bagi wanita hamil dan menyusui tidaklah tepat. Ibnu Qudamah berkata, Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadha’ puasa (tidak sama seperti orang yang sepuh). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas. Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain. Imam Ahmad sampai berkata, “Aku lebih cenderung memegang hadits Abu Hurairah dan tidak berpendapat dengan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang berpendapat tidak wajibnya qadha’.”[9]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.”[10] Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah dan Imam Abu Hanifah.[11]

Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena ayat,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Hanya Allah yang memberi taufik.

[1] Lihat Al Majmu’, 6: 174, juga Manhajus Salikin, hal. 112.
[2] Idem.
[3] HR. Muslim no. 1117.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 120-121.
Adapun hadits-hadits yang membicarakan keutamaan tidak berpuasa saat bersafar, maka itu dimaksudkan untuk orang yang mendapatkan mudarat jika tetap berpuasa. (Lihat Al Majmu’ karya Imam Nawawi, 6: 175).

[5] HR. Bukhari no. 4505.
[6] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[7] Al Majmu’, 6: 177.
[8] Idem.
[9] Al Mughni, 4: 395.
[10] Syarhul Mumthi’, 6: 350. Lihat pula pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15: 225 dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Jibrin dalam Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 576-577.
[11] Para ulama dalam masalah qadha’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui memiliki empat pendapat. [Pendapat pertama] Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Sa’id bin Jubair berpendapat bahwa boleh keduanya tidak puasa dan ada kewajiban fidyah, namun tidak ada qadha’ bagi keduanya. [Pendapat kedua] ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan, Adh Dhohak, An Nakho’i, Az Zuhri, Robi’ah, Al Awza’i, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan ulama Zhahiri berpendapat bahwa keduanya boleh tidak puasa namun harus mengqadha’, tanpa ada fidyah. Keadaannya dimisalkan seperti orang sakit. [Pendapat ketiga] Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa keduanya boleh tidak puasa, namun wajib menunaikan qadha’ dan fidyah sekaligus. Pendapat ini juga dipilih oleh Mujahid. [Pendapat keempat] Imam Malik berpendapat bahwa wanita hamil boleh tidak puasa, namun harus mengqadha’ tanpa ada fidyah. Namun untuk wanita menyusui, ia boleh tidak puasa, namun harus mengqadha’ sekaligus menunaikan fidyah. Ibnul Mundzir setelah menyebutkan pendapat-pendapat ini, ia lebih cenderung pada pendapat ‘Atho’ yang menyatakan ada kewajiban qadha’, tanpa fidyah. (Lihat Al Majmu’, 6: 178).


Akhukum fillah: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Artikel Rumaysho.Com

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.