Skip to main content

Bagaimana Hukum Ridha Pada Takdir?

By Konsultasisyariah.com - Nov 11, 2010

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya ridha pada takdir? Semoga Allah memberi manfaat kepada kalian dan ilmu kalian.

Jawaban:

Ridha kepada takdir hukumnya wajib, karena hal ini termasuk kesempurnaan ridha terhadap sifat rububiyah Allah. Setiap mukmin wajib ridha pada ketetapan (qadha’) Allah. Akan tetapi, haruslah dibedakan antara ketetapan dan objek penetapan. Objek penetapan tidaklah disebut ketetapan (qadha’), karena ketetapan adalah perbuatan Allah dan objek penetapan adalah hasil perbuatan Allah. Kita wajib ridha kepada ketetapan (qadha’) yang merupakan perbuatan Allah. Selamanya, kita tidak boleh marah kepada ketetapan-Nya, bagaimana pun adanya.

Adapun objek penetapan ada beberapa macam. Pertama, obyek penetapan yang haram diridhai. Kedua, objek penetapan yang wajib diridhai. Ketiga, objek penetapan yang boleh diridhai.

Tentang dosa, misalnya, dosa-dosa merupakan hal yang ditetapkan Allah. Akan tetapi, seseorang haram meridhai dosa-dosa, sekali pun dia ada karena ketetapan Allah. Ketika memandang dosa-dosa sebagai suatu hal yang telah ditetapkan Allah, seseorang wajib meridhainya dengan mengatakan, “Allah itu Mahabijaksana. Sekiranya bukan karena hikmah-Nya yang telah berlaku mengenai hal ini, tentu seseorang tidak akan melakukan dosa.” Akan tetapi, dari sisi objek penetapan, yaitu dosa kepada Allah, wajib tidak diridhai. Jadi, Anda wajib berusaha melenyapkan dosa dari diri anda atau dari orang lain.

Kedua, objek penetapan yang wajib diridhai, seperti terhadap hal-hal yang wajib secara syar’i. Hal ini karena Allah telah menetapkan adanya dan menetapkan pula secara syar’i. Oleh karena itu, hal ini wajib diridhai sebagai suatu ketetapan dan objek penetapan.

Ketiga, objek penetapan yang boleh diridhai dan wajib bersabar menghadapinya, yaitu terhadap suatu musibah yang menimpa seseorang. Suatu musibah yang menimpa seseorang -menurut kebanyakan ahli ilmu- boleh diridhai, bukan wajib. Akan tetapi, sabar menghadapinya adalah wajib.

Sabar dan ridha berbeda. Sabar ialah sikap tidak menyukai kenyataan tetapi ia tidak melakukan hal-hal yang menyalahi syariat dan menyalahi kesabaran. Adapun ridha adalah sikap tidak membenci kenyataan sehingga apa yang terjadi atau yang tidak terjadi pada dirinya dianggap sama. Inilah perbedaan ridha dan sabar. Oleh karena itu, mayoritas ulama berkata, “Sabar itu wajib, tetapi ridha itu boleh.” (Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa, juz 1, hlm. 60-61, dikumpulkan oleh Asyraf Abdul Maqsud).

Sumber: Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, Media Hidayah, Cetakan 1, Tahun 2003.

https://konsultasisyariah.com/3140-hukum-ridha-takdir.html

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.