Skip to main content

AHLUS SUNNAH MELARANG MEMAKAI JIMAT

Oleh :

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas 

Kata tamaa-im adalah bentuk jamak dari tamimah, yaitu sesuatu jimat yang dikalungkan di leher atau bagian dari tubuh seseorang yang bertujuan mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, baik kandungan jimat itu adalah Al-Qur-an, atau benang atau kulit atau kerikil dan semacamnya. Orang-orang Arab biasa menggunakan jimat bagi anak-anak mereka sebagai perlindungan dari sihir atau guna-guna dan semacamnya.

JIMAT TEBAGI MENJADI DUA MACAM

Pertama: Yang tidak bersumber dari Al-Qur-an. Inilah yang dilarang oleh syari’at Islam. Jika ia percaya bahwa jimat itu adalah subjek atau faktor yang berpengaruh, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat syirik besar. Tetapi jika ia percaya bahwa jimat hanya menyertai datangnya manfaat atau mudharat, maka ia dinyatakan telah melakukan syirik kecil. Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahiihul Bukhari dari Sahabat Abu Basyir al-Anshari bahwa beliau pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan, lalu ia berkata:

فَأَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُوْلاً: لاَ تَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيْرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ -أَوْ قِلاَدَةٌ- إِلاَّ قُطِعَتْ.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang, kemudian beliau bersabda: ‘Jangan sisakan satu kalung pun yang digantung di leher unta melainkan kalungnya harus dipotong.’[1]

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.

Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.”[2]

Tiwalah adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk merebut cinta suaminya (pelet) dan ini dianggap sebagai sihir.

Jimat diharamkan oleh syari’at Islam karena ia mengandung makna keterkaitan hati dan tawakkal kepada selain Allah, dan membuka pintu bagi masuknya keperacayaan-kepercayaan yang rusak tentang berbagai hal yang ada pada akhirnya menghantarkan kepada syirik besar.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ.

Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.”[3]

Kedua: Yang bersumber dari Al-Qur-an. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat, yaitu ada sebagian yang membolehkan dan ada yang mengharamkannya. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, yaitu yang mengharamkannya. Karena dalil yang mengharamkan jimat menyatakannya sebagai perbuatan syirik dan tidak membedakan apakah jimat berasal dari Al-Qur-an atau bukan dari Al-Qur-an. Dengan membolehkan jimat dari ayat Al-Qur-an, sebenarnya kita telah membuka peluang menyebarnya jimat dari jenis pertama yang jelas-jelas haram. Maka, sarana yang dapat mengantar kepada perbuatan haram mempunyai hukum haram yang sama dengan perbuatan haram itu sendiri. Ia juga menyebabkan tergantungnya hati kepadanya, sehingga pelaku-nya akan ditinggalkan oleh Allah dan diserahkan kepada jimat tersebut untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu, pemakaian jimat dari Al-Qur-an juga mengandung unsur penghinaan terhadap Al-Qur-an, khususnya di waktu tidur dan ketika sedang buang hajat atau sedang berkeringat dan semacamnya. Hal semacam itu tentu saja bertentangan dengan kesucian dan kesakralan Al-Qur-an. Selain itu juga, jimat ini dapat pula dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menyebarkan kemusyrikan dengan alasan jimat yang dibuatnya dari Al-Qur-an."[4]

Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullah berkata: Mereka membenci jimat, baik yang berasal dari Al-Qur-an maupun yang bukan dari Al-Qur-an. Maksudnya, itu ijma’ ulama Salaf dalam mengharamkan jimat secara keseluruhan."[5]

Sa’id bin Jubair (wafat th. 95 H) rahimahullah berkata: Barangsiapa yang memotong sebuah jimat dari seseorang, maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang budak. Perkataan seperti ini tentu saja tidak akan diucapkan tanpa dasar wahyu yang jelas. Sehingga ucapan ini dapat dianggap sebagai hadits mursal, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan nama Sahabat, dan ia termasuk seorang pembesar Tabi’in. Maka, hadits mursal semacam ini menjadi hujjah bagi yang menjadikannya sebagai dalil."[6]

Wallaahu a’lam bish shawaab.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Footnote

[1] HR. Al-Bukhari (no. 3005) dan Muslim (no. 2115), dari Sabahat Abu Basyir al-Anshari. Hadits ini shahih, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 331 dan 2972).

[2] HR. Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381) dan al-Hakim (IV/417-418), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 492)

[3] HR. Ahmad (IV/156), al-Hakim (IV/417), dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani.

[4] Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 151).

[5] Fathul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (hal. 153).

[6] Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab VII: Maa Jaa-a fir Ruqaa wat Tamaa-im, hal. 145-154) dan al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 150-151).

Referensi : https://almanhaj.or.id/2396-ahlus-sunnah-melarang-memakai-jimat.html


Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.