Pertanyaan:
Jika saya hendak shalat berjama’ah di masjid, lalu ketika sampai masjid saya mendapati ternyata shalat jama’ah sudah selesai. Apa yang harus saya lakukan? Shalat sendirian atau membuat jama’ah baru?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Jawaban pertanyaan ini sangat terkait dengan masalah ta’addud al-jama’ah, yaitu bolehkah ada lebih dari satu shalat jama’ah dalam satu masjid?
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang telat datang ke masjid, dan ia mendapati shalat jama’ah sudah selesai, maka hendaknya ia shalat sendirian di masjid atau kembali ke rumah. Pendapat ini merupakan turunan dari pendapat yang melarang membuat jama’ah kedua di satu masjid.
Syaikh Abdul ‘Azhim Al-Badawi mengatakan: “Membuat shalat jama’ah baru setelah jama’ah yang diimami imam rawatib selesai di masjid yang memiliki imam rawatib, ini menyelisihi sunnah. Yang sesuai sunnah, pada masjid yang memiliki imam rawatib hendaknya tidak membuat jama’ah baru setelah jama’ahnya imam yaitu jama’ah yang pertama.
Orang yang datang terlambat, walaupun mereka banyak, hendaknya mereka shalat sendiri-sendiri dan tidak berjama’ah ketika imam sudah selesai. Inilah yang sesuai sunnah. Atau pilihan yang lain, orang yang datang terlambat tersebut boleh pulang kembali ke rumahnya dan menunaikan shalat di rumahnya. Karena keutamaan shalat di masjid itu karena ditegakkannya shalat berjama’ah, maka ketika shalat jama’ah sudah selesai maka shalat di masjid atau di rumah sama saja.
Dan demikianlah yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika suatu hari Nabi mengurusi urusan kaum Muslimin sehingga terlambat datang ke shalat jama’ah, ketika beliau datang ke masjid shalat sudah selesai, maka Nabi masuk ke rumah beliau dan menunaikan shalat di sana dan tidak menunaikannya di masjid. Inilah pendapat jumhur ulama dan tiga imam madzhab, yaitu Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i. Dan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab beliau Al-Umm memiliki penjelasan yang bagus tentang tidak disyariatkannya tikrar al-jama’ah di masjid yang memiliki imam rawatib.
Lalu jika anda masuk masjid sedangkan shalat jama’ah kedua sedang dikerjakan oleh orang-orang, maka tetaplah anda shalat sendirian saja, selama itu tidak membuat diri anda terkena fitnah dan mafsadah” (Fatawa Thariqul Islam no.30785, http://ar.islamway.net/fatwa/30785).
Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang telat shalat jama’ah maka ia mencari orang lain di masjid yang juga telat, untuk membuat jama’ah kedua. Ini berangkat dari pendapat bolehnya membuat jama’ah kedua di satu masjid. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
“Jika seseorang datang ke masjid dan orang-orang sudah selesai shalat, dan ia mampu untuk mencari orang lain untuk shalat bersamanya, maka ia shalat berjama’ah dengan membuat jama’ah kedua. Inilah yang disyariatkan, yaitu membuat jama’ah kedua. Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ketika ada seorang yang masuk masjid dan orang-orang sudah selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟
“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?” (HR. Ahmad no.22189, dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad).
Dalam hadis yang lain:
صلاةُ الرجلِ مع الرجلِ أزكَى من صلاتهِ وحدهُ
“Shalatnya seseorang bersama orang lain, itu lebih baik daripada shalat sendirian” (HR. Abu Daud no.554, An-Nasa-i no. 843, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
…
Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa hendaknya ia shalat sendirian atau kembali ke rumah, ini adalah pendapat yang lemah” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, juz 11 hal. 285 nomor 181).
Yang tampaknya lebih tepat adalah merinci keadaannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, beliau membagi menjadi tiga keadaan:
Keadaan pertama:
Masjid yang terdapat imam tetapnya, dan bukan di tempat yang ramai dilewati oleh orang-orang, lalu secara terus-menerus ada jama’ah yang kedua. Maka ini menyelisihi sunnah, hukumnya minimal makruh dan termasuk kebid’ahan.
Hal ini juga akan menimbulkan perpecahan di tengah umat sehingga setiap golongan akan memiliki imam masing-masing. Padahal adanya imam tetap adalah untuk mempersatukan jama’ah.
Dan juga akan mengajak orang untuk malas. Karena orang-orang akan mengatakan: “selama ada jama’ah kedua, kami akan menunggu jama’ah kedua saja”. Sehingga orang-orang akan berlambat-lambat untuk menghadiri jama’ah gelombang pertama.
Sehingga jika keadaannya demikian atau berpotensi menimbulkan akibat demikian, seseorang yang telat datang jama’ah hendaknya ia shalat sendirian atau kembali ke rumah dan shalat di rumah.
Keadaan kedua:
Masjid yang terdapat imam tetapnya, dan bukan di tempat yang ramai dilewati oleh orang-orang, namun terkadang ada jama’ah yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Ini yang diperselisihkan oleh para ulama dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menguatkan pendapat bolehnya membuat jama’ah kedua, berdasarkan dalil hadis-hadis di atas.
Sehingga orang yang telat datang untuk shalat jama’ah, hendaknya ia mencari orang lain untuk bisa membuat shalat jama’ah yang kedua.
Keadaan ketiga:
Jika masjidnya merupakan masjid yang ada di pasar, di pinggir-pinggir jalan raya, atau semisal itu, maka masjid pasar itu tentunya orang sering lalu lalang ke sana. Terkadang datang dua orang, terkadang tiga orang, terkadang 10 orang, kemudian keluar. Sebagaimana di masjid-masjid yang ada di pasar-pasar kita. Maka tidak dimakruhkan untuk mendirikan jama’ah-jama’ah lain di sana. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalam hal ini tidak ada khilafiyah. Karena memang masjid ini disiapkan untuk tempat shalat banyak jama’ah.
Sehingga orang yang telat datang untuk shalat jama’ah, hendaknya ia mencari orang lain untuk bisa membuat shalat jama’ah yang kedua, atau ketiga, atau keempat, dan seterusnya di masjid yang semisal ini.
(Diringkas dari Syarhul Mumthi, 4/227-231, dengan penambahan).
Dan tentu saja yang lebih utama adalah berusaha tidak telat shalat berjama’ah di masjid. Dan andaikan telat, hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Karena ada keutamaan bagi orang yang senantiasa mendapatkan takbir pertama dalam shalat jama’ah (gelombang pertama) selama 40 hari. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن صلَّى للَّهِ أربعينَ يومًا في جماعةٍ يدرِكُ التَّكبيرةَ الأولَى كُتِبَ لَه براءتانِ : براءةٌ منَ النَّارِ ، وبراءةٌ منَ النِّفاقِ
“Barangsiapa yang shalat berjama’ah selama 40 hari (tanpa terputus) dan mendapatkan takbir pertama (dari imam), maka ia akan mendapatkan dua kebebasan: bebas dari api neraka dan bebas dari penyakit nifaq” (HR. At-Tirmidzi no. 241, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).
Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.