Skip to main content

Hukum Shalat di Antara Tiang-tiang dalam Shalat Jama’ah

Pertanyaan:

Bagaimana jika selama shalat jama’ah, ada makmum yang shalat di antara tiang, sehingga tidak bersambungan dengan jama’ah di sebelahnya? Sahkah shalatnya?

Jawaban:

Wajib bagi para makmum untuk berusaha menyambung shaf dan tidak boleh memutusnya. Karena Allah ta’ala mengancam orang yang memutus shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله

“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud).

Di antara bentuk memutus shaf adalah shalat di shaf yang terputus oleh tiang-tiang masjid. Dan terdapat larangan khusus mengenai hal ini. Dari Mu’awiyah bin Qurrah dari ayahnya, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

“Dahulu di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kami dilarang untuk membuat shaf di antara tiang-tiang. Dan kami menerapkan larangan ini secara umum” (HR. Ibnu Majah no. 1002, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Demikian juga perkataan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Hamid bin Mahmud, ia berkata:

صَلَّيْنَا خَلْفَ أَمِيرٍ مِنْ الْأُمَرَاءِ ، فَاضْطَرَّنَا النَّاسُ فَصَلَّيْنَا بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ ، فَلَمَّا صَلَّيْنَا قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ : (كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) 

“Kami pernah shalat bermakmum kepada salah seorang umara, ketika itu kami terpaksa shalat di antara dua tiang. Ketika kami selesai shalat, Anas bin Malik berkata: Dahulu kami (para sahabat) menjauhi perkara seperti di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam” (HR. At Tirmidzi no.229, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Hadis-hadis ini menunjukkan terlarang shalat di antara tiang yang menyebabkan terputusnya shaf. Ibnu Muflih rahimahullah mengatakan:

وَيُكْرَهُ لِلْمَأْمُومِ الْوُقُوفُ بَيْنَ السَّوَارِي , قَالَ أَحْمَدُ : لِأَنَّهَا تَقْطَعُ الصَّفّ

“Dimakruhkan bagi para makmum untuk berdiri di antara tiang-tiang. Imam Ahmad berkata: Karena hal tersebut membuat shaf terputus.” (Al-Furu’, 2/39).

Dan shalat di antara tiang yang menyebabkan terputusnya shaf hukumnya makruh namun tetap sah shalatnya, sebagaimana ditunjukkan oleh atsar dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu di atas. Beliau tidak mengingkari dengan keras dan tidak memerintahkan untuk mengulang shalat. 

Namun dibolehkan shalat di antara tiang walaupun menyebabkan terputusnya shaf jika dalam kondisi sulit semisal karena masjid yang sempit. Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:

يكره الوقوف بين السواري إذا قطعن الصفوف ، إلا في حالة ضيق المسجد وكثرة المصلين

“Dimakruhkan shalat di antara tiang-tiang jika bisa memutuskan shaf. Kecuali jika masjidnya sempit sedangkan orang yang shalat sangat banyak” (Fatawa Al-Lajnah Ad Daimah, 5/295).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan,

ولا تقطع الصفوف إلا عند الضرورة، إذا ازدحم المسجد، وضاق المسجد، وصف الناس بين السواري؛ فلا حرج للحاجة

“Jangan memutus shaf kecuali jika kondisi darurat. Semisal jika masjid sangat penuh dan sempit. Maka para makmum boleh membuat shaf di antara tiang-tiang, ini tidak mengapa karena ada kebutuhan” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/17874).

Namun dalam kondisi normal, tidak ada kesempitan dan juga tidak ada kebutuhan, maka hendaknya jauhi shalat di antara tiang yang bisa memutus shaf. Jika datang ke masjid lalu menemukan shaf terakhir adalah shaf yang terputus oleh tiang, maka sikap yang tepat adalah membuat shaf baru setelahnya, yang tidak terputus oleh tiang. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid mengatakan,

فإذا جئت إلى المسجد ، وقد وقف الناس في الصف ، ولم تجد مكاناً في الصف إلا بعد العمود فلا حرج في ذلك ، وليس هذا من الصلاة خلف الصف منفردا

“Jika anda datang ke masjid dan orang-orang sudah berdiri di shaf, kemudian anda tidak menemui tempat di shaf kecuali setelah tiang, maka tidak mengapa shalat di sana. Dan tidak tergolong shalat sendirian di belakang shaf” (Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/135898).

Namun dalam rangka berhati-hati, hendaknya menunggu orang lain agar tidak bersendirian di shaf yang baru. Mengingat sebagian ulama berpendapat batalnya orang yang shalat sendirian di belakang shaf.

Adapun shalat di antara tiang tanpa memutus shaf, maka ini tidak mengapa. Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullah menjelaskan,

وأما صلاة المنفرد بين السواري أو الإمام فلا حرج فيها، والصلاة بين الساريتين دون تتميم الصف عن اليمين والشمال أيضاً لا حرج فيها لأن التراص وعدم الانقطاع حاصل

“Adapun jika seseorang shalat sendiri atau sebagai imam, di antara dua tiang, maka tidak mengapa. Demikian juga shalat para makmum di antara dua tiang, tanpa melanjutkan shaf di kanan tiang dan juga di kiri tiang, maka tidak mengapa. Karena meluruskan shaf dan menyambungnya sudah terwujud” (Sumber: https://ar.islamway.net/fatwa/30674).

Wallahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك...

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an...

Lailatul Qodar

Pengertian Lailatul qodar adalah malam kemuliaan yang hanya terdapat pada bulan ramadhan. Keutamaan Lailatul qodar , Allaah telah menerangkan dalam QS. Al-Qadr ayat 1-5 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Qadr. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar." Waktu / malam Lailatul Qadr berada diantara sepuluh malam terakhir pada bulan ramadhan, dan lebih khusua lagi pada malam-malam yang ganjil. Rasulullaah bersabda, yang artinya : " Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." ( HR. Bukhari dan Muslim) Oleh sebab itu pada malam-malam itu kita di anjurkan untuk memperbanyak amal soleh. Tanda-tanda Lailatul Qadr : 1. Pada malam lailatul qadr terasa sejuk, tidak panas, dan tidak dingin. Riwayat dari Jabir bi...