Skip to main content

SABAR, SYUKUR, DAN ISTIGHFAR

 

Oleh: 

Ustadz Ammi Nur Baits

Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab “Ats-Tsiqat kisah ini. Dia adalah imam besar, Abu Qilabah Al-Jarmy Abdullah bin Yazid dan termasuk diantara tabi’in yang meriwayatkan dari sahabat Anas bin malik. Kisah ini diriwayatkan dari seorang mujahid yang bertugas di daerah perbatasan (ribath), Abdullah bin Muhammad, beliau menuturkan:

Saya keluar untuk menjaga perbatasan di Uraisy Mesir. Ketika aku berjalan, aku melewati sebuah perkemahan dan aku mendengar seseorang berdoa,

"Ya Allah, anugerahkan aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai. Dan masukkanlah aku dengan rahmatMu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih.” (Doa beliau ini merupakan kutipan dari firman Allah di surat An-Naml, ayat 19).

Aku melihat orang yang berdoa tersebut, ternyata ia sedang tertimpa musibah. Dia telah kehilangan kedua tangan dan kedua kakinya, matanya buta dan kurang pendengarannya. Beliau kehilangan anaknya, yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan…

Lalu aku mendatanginya dan berkata kepadanya, "Wahai hamba Allah, sungguh aku telah mendengar doamu tadi, ada apa gerangan?"

Kemudian orang tersebut berkata, " Wahai hamba Allah. Demi Allah, seandainya Allah mengirim gunung-gunung dan membinasakanku dan laut-laut menenggelamkanku, tidak ada yang melebihi nikmat Tuhanku daripada lisan yang berdzikir ini". Kemudian dia berkata, Sungguh, sudah tiga hari ini aku kehilangan anakku. "Apakah engkau bersedia mencarinya untukku?" (Anaknya inilah yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan)

Maka aku berkata kepadanya, "Demi Allah, tidaklah ada yang lebih utama bagi seseorang yang berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, kecuali memenuhi kebutuhan Mu". Kemudian, aku meninggalkannya untuk mencari anaknya. Tidak jauh setelah berjalan, aku melihat tulang-tulang berserakan di antara bukit pasir. Dan ternyata anaknya telah dimangsa binatang buas. Lalu aku berhenti dan berkata dalam hati, Bagaimana caraku kembali kepada temanku, dan apa yang akan aku katakan padanya dengan kejadian ini? Aku mulai berpikir. Maka, aku teringat kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam.

Setelah aku kembali, aku memberi salam kepadanya.

Dia berkata, "Apakah engkau temanku?"

Aku katakan, "Benar".

Dia bertanya lagi, "Apa yang selama ini dikerjakan anakku?"

Aku berkata, "Apakah engkau ingat kisah Nabi Ayyub?”

Dia menjawab, "Ya".

Aku berkata, "Apa yang Allah perbuat dengannya?"

Dia berkata, "Allah menguji dirinya dan hartanya".

Aku katakan, "Bagaimana dia menyikapinya?”

Dia berkata, "Ayyub bersabar".

Aku katakan, "Apakah Allah mengujinya cukup dengan itu?"

Dia menjawab, "Bahkan kerabat yang dekat dan yang jauh menolak dan meninggalkan nya".

Lalu aku berkata, "Bagaimana dia menyikapinya?"

Dia berkata, "Dia tetap sabar. Wahai hamba Allah, sebenarnya apa yang engkau inginkan?"

Lalu aku berkata, "Anakmu telah meninggal, aku mendapatkannya telah dimangsa binatang buas di antara bukit Pasir".

Dia berkata, "Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan dariku keturunan yang dapat menjerumuskan ke Neraka".

Lalu dia menarik nafas sekali dan ruhnya keluar.

Aku duduk dalam keadaan bingung apa yang harus kulakukan. Jika aku tinggalkan, dia akan dimangsa binatang buas. Jika aku tetap berada disampingnya, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika dalam keadaan tersebut, tiba-tiba ada segerombolan perampok mendatangiku.

Para perampok itu berkata, "Apa yang terjadi?” Maka aku ceritakan apa yang telah terjadi. Mereka berkata, "Bukakan wajahnya kepada kami!" Maka aku membuka wajahnya, lalu mereka memiringkannya dan mendekatinya seraya berkata, "Demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, aku menahan mataku dari yang diharamkan Allah dan demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, tubuh orang ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sabar dalam menghadapi musibah".

Lalu kami memandikannya, mengafaninya dan menguburnya. Kemudian, aku kembali ke perbatasan. Lalu, aku tidur dan aku melihatnya dalam mimpi, beliau kondisinya sehat. Aku berkata kepadanya, "Bukankah engkau sahabatku?" Dia berkata, "Benar.” Aku berkata, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?" Dia berkata, "Allah telah memasukkanku ke dalam surga dan berkata kepadaku",

"Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” (QS. Ar-Ra’d: 24).

"Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

(Dari ceramah yang ditranskrip, oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy yang berjudul Jannatu Ridha fit Taslim Lima Qadarallah wa Qadha, hal. 2)

Kisah nabi Ayyub sudah sering kita dengar, namun mungkin muncul komentar dalam diri kita, "Itukan Nabi, wajar jika dia mampu bersabar, sehingga membuat kita tidak terlalu terkesan dengan cerita tersebut.” Tapi subhanallah.., tokoh utama kisah di atas bukan Nabi. Abu Qilabah adalah manusia biasa seperti layaknya kita. Beliau tidak mendapatkan wahyu maupun didatangi malaikat Jibril untuk bersabar. Yang ini menunjukkan sikap sabar, diiringi syukur yang luar biasa seperti kisah di atas, memungkinkan untuk ditiru setiap orang. Tidak bisa kita bayangkan, andaikan beliau diberi oleh Allah nikmat yang lebih dari itu, sehebat apa rasa syukur yang akan beliau lakukan.

Inilah sifat yang membuat Rasulullah ﷺ terkagum dan memuji pribadi orang mukmin. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, dari sahabat Suhaib bin Sinan radliallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

"Sungguh sangat mengagumkan keadaan orang yang beriman. Semua keadaannya itu baik. Dan ini hanya ada pada diri orang yang beriman. Apabila mereka mendapat kenikmatan, mereka bersyukur, dan itu (sikap) yang baik baginya. Sementara jika dia mendapatkan musibah, dia bersabar, dan itu (sikap) baik baginya.” (HR. Muslim).

KUNCI KEBAHAGIAN ADA TIGA

Dalam bukunya yang sangat masyhur yang berjudul "qawaidul arba” (4 kaidah penting dalam memahami kesyirikan), Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan:

"Semoga Allah menjadikan anda termasuk diantara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan.” (Qowaidul Arba’)

BERSYUKUR KETIKA MENDAPAT NIKMAT

Dengan sikap ini, orang akan tetap mendapatkan tambahan nikmat dan keberkahannya. Sebagaimana janji Allah ta’ala, dalam firman-Nya:

"Jika kalian bersyukur maka sungguh Aku akan tambahkan untuk kalian, dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)

Hanya saja perlu kita ingat. Sikap ini tidaklah mudah. Kita baru bisa bersyukur, ketika kita merasa bahwa apa yang ada pada diri kita adalah pemberian Allah yang sudah sangat banyak. Dengan ini, kita tidak akan membandingkan kenikmatan yang ada pada diri kita dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang lebih ‘sukses’ dari pada kita. Inilah kunci yang diajarkan Nabi ﷺ, beliau bersabda :

"Lihatlah kepada orang yang (nikmatnya) lebih bawah dari pada kalian. Jangan melihat kepada orang yang (nikmatnya) di atas kalian. Dengan ini, akan lebih memungkinkan, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah pada diri kalian.” (HR. Turmudzi dan dinilai shahih oleh al-Albani)

Nabi ﷺ mengakui bahwa manusia memiliki sifat hasad dan selalu menginginkan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Dengan sebab ini, orang akan melupakan nikmat yang ada pada dirinya. Karena itu, beliau ﷺ mengarahkan kepada manusia agar menutup celah timbulnya perasaan ini, dengan membandingkan keadaan dirinya dengan keadaan orang yang lebih rendah kenikmatannya dari pada nikmat yang ada pada dirinya.

BERSABAR KETIKA MENDAPAT UJIAN

Ujian dan cobaan merupakan salah satu bagian dalam kehidupan manusia. Tidak ada kenikmatan mutlak di alam dunia ini. Sehebat apapun manusia, sekaya apapun dia, kenikmatan yang dia rasakan akan bercampur dengan ujian dan cobaan. Namun, orang yang beriman bisa mengkondisikan keadaan yang sejatinya pahit ini sebagai bagian dari kebahagiaan. Itulah sikap sabar dan mengharap pahala dari Allah ta’ala. Karena itu, semakin besar sikap sabar yang dilakukan, semakin besar pula kebahagiaan yang dia rasakan. Barangkali, inilah diantara rahasia bahwa semakin sempurna keimanan seseorang maka semakin besar pula ujian yang Allah berikan kepadanya. Dinyatakan dalam sebuah hadits, dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya besarnya pahala sepadan dengan besarnya ujian. Sesungguhnya Allah, apabila mencintai seseorang maka Allah akan mengujinya. Siapa yang ridha (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan ridha (Allah). Siapa yang marah (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan murka (Allah)” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani)

Diantara hikmah Allah memberikan ujian kepada kaum mukminin adalah agar mereka tidak merasa bahwa kehidupan dunia ini sebagai kenikmatan mutlak, sehingga mereka akan senantiasa mengharapkan akhirat.

MEMOHON AMPUNAN KETIKA BERDOSA

Bukanlah sifat orang mukmin yang bertaqwa, sama sekali tidak memiliki dosa. Hamba beriman yang baik adalah hamba yang ketika melakukan dosa dia segera bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. Allah berfirman:

"(Orang yang bertaqwa) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka” (QS. Ali Imran: 135)

Dan inilah bagian tabiat manusia yang tidak bisa dihilangkan dari diri mereka. Akan tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana seorang mukmin bisa segera bertaubat ketika melakukan dosa. Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

"Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Andaikan kalian sama sekali tidak melakukan dosa, Allah akan menghilangkan kalian, kemudian Allah datangkan sekelompok orang yang mereka melakukan perbuatan dosa kemudian bertaubat, lalu Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim)

Hal inilah yang dirasakan para sahabat Nabi ﷺ. Para manusia mulia ini, khawatir, jangan-jangan termasuk orang munafik, ketika mereka merasa lebih bertaqwa pada saat di dekat Nabi ﷺ, tetapi ketika berada di rumah, mereka masih melekat dengan dunia.

Dari Abu Hurairah radhiiallahu ‘anhu, bahwa para sahabat berkata: "Wahai Rasulullah, ketika kami melihat anda, hati kami menjadi lunak, dan kami seolah menjadi penduduk akhirat. Namun ketika kami jauh dari anda, kami menginginkan dunia dan bercanda dengan para istri dan anak". Kemudian beliau bersabda:

"Jika kalian setiap saat dalam keadaan sebagaimana ketika kalian berada di dekatku (seolah menjadi penduduk akhirat), niscaya para malaikat akan menyalami kalian dengan telapak tangan mereka dan mengunjungi kalian di rumah kalian. Andai kalian tidak pernah melakukan perbuatan dosa, niscaya Allah akan mendatangkan kaum yang berdosa (kemudian bertaubat) agar Allah mengampuni mereka” (HR. Ahmad, dan dinyatakan oleh Syu’aib al-Arnauth: Shahih dengan beberapa jalurnya). 

Allahu a’lam. 

[Ammi Nur Baits]

Sumber:

https://buletin.muslim.or.id/sabar-syukur-dan-istighfar/


Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.