Skip to main content

Meninggal Setelah Hukuman Had, apakah disholati ?

Di dalam ajaran Islam, terdapat hukuman ḥadd untuk kasus perbuatan dosa tertentu seperti *Zina atau Mencuri.*

Di antara hukuman ḥadd bagi pelaku zina yang sudah menikah (mukhsan) adalah dirajam sampai mati. 

Terdapat permasalahan fikih terkait ini, yaitu jika seseorang meninggal dunia setelah diberi hukuman ḥadd, misalnya rajam, apakah lantas jenazahnya tetap disalati?

Di dalam kitab *Bulughul Maram* karya Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah, beliau membawakan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, yang berisi tentang kisah seorang perempuan Ghamidiyyah yang diperintahkan untuk dirajam oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena telah berzina. 

Buraidah Radhiyallahu ‘anhu kemudian mengatakan,

ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا، وَدُفِنَتْ

_“Setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mensalati jenazahnya dan menguburkannya”_

*(HR. Muslim no. 1695).*

*Terdapat Dua Faedah Penting Yang Dapat Kita Petik Dari Kandungan Hadis Ini, Yaitu:*

*Faedah pertama*

Kandungan hadis ini menunjukkan bahwa orang yang meninggal dunia setelah mendapatkan hukuman rajam itu tetap disyariatkan untuk disalati. 

Demikian pula diperbolehkan bagi penguasa kaum muslimin (ulil amri) untuk mensalati jenazahnya sebagaimana jenazah kaum muslimin yang lainnya. 

Imam Ahmad Rahimahullah berkata,

_“Aku tidak mengetahui dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau tidak mensalati jenazah seorang pun kecuali bagi pengkhianat perang dan pelaku bunuh diri”_

*(Al-Mughni, 3: 508).*

Hal ini juga pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq, dan dipilih juga oleh Ibnul Munzir Rahimahumullah (lihat Al-Ausath 5: 408 dan Al-Mughni 3: 508).

— Pendapat yang lain (pendapat kedua) mengatakan bahwa penguasa kaum muslimin tidak perlu mensalati jenazah orang yang meninggal setelah diberi hukuman ḥadd. 

Orang yang mensalatinya adalah kaum muslimin biasa, bukan penguasa. Ini adalah pendapat Imam Malik Rahimahullah 

*(lihat Al-Mudawwanah Al-Kubra, 1: 254).*

Alasan Imam Malik Rahimahullah adalah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mensalati jenazah Ma’iz Radhiyallahu ‘anhu, namun beliau tidak melarang kaum muslimin untuk mensalati jenazahnya.

Hadis yang dimaksud oleh Imam Malik Rahimahullah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Barzah Al-Aslami Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِّ عَلَى مَاعِزِ بْنِ مَالِكٍ، وَلَمْ يَنْهَ عَنِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ

_“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mensalati Ma’iz bin Malik dan tidak melarang untuk mensalatkannya.”_

*(HR. Abu Dawud no. 3186)*

Hadis ini diperselisihkan statusnya oleh para ulama. Al-Munziri Rahimahullah mengatakan, 

_“Dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang majhul”_

*(Mukhtashar As-Sunan, 4: 320).*

Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan Hafizahullah mengatakan bahwa hadis ini dhaif. 

Apalagi terdapat sebagian riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mensalati jenazahnya 

*(lihat Minhatul ‘Allaam, 4: 282).*

Ulama yang berpendapat dengan pendapat kedua mengatakan bahwa jika penguasa kaum muslimin tidak mensalati, hal itu bisa sebagai bentuk *PERINGATAN DAN ANCAMAN* bagi orang-orang semisalnya yang mungkin tergoda atau memiliki keinginan untuk melakukan perbuatan yang sejenis itu.

 *_Pendapat yang insyaallah lebih tepat adalah pendapat pertama karena dalilnya yang lebih kuat._*

Apabila kita mengambil makna dzahir dari hadis tersebut, maka penguasa mensalati jenazah orang yang datang meminta hukuman ḥadd karena ingin bertaubat. 

Wallahu a’lam.

*Faedah kedua*

Di dalam hadis ini terdapat bantahan bagi kaum khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar itu kafir, keluar dari Islam. 

_Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan_

“Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang mati karena diberi hukuman ḥadd, baik itu berupa hukuman rajam atau semisalnya, maka jenazahnya tetap disalati. Karena dia adalah seorang muslim, meskipun dia telah terjerumus ke dalam salah satu dosa besar. Jenazahnya tetap disalati dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.

Sehingga hadis ini menjadi bantahan untuk orang-orang khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. 

Hal ini karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mensalatinya dan memerintahkan kaum muslimin untuk mensalatinya, kemudian memakamkannya. 

Maka hadis ini menunjukkan bahwa pelaku dosa besar (yang bukan pembatal Islam, pent.) adalah muslim, tidak keluar dari Islam. Jenazahnya juga diperlakukan sebagaimana jenazah kaum muslimin ketika meninggal dunia, yaitu dimandikan, dikafani, disalati, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin, karena dia seorang muslim” 

*(Tashiilul Ilmaam, 3: 38).*

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Oleh Ustadz M. Saifudin Hakim

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك...

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an...

Lailatul Qodar

Pengertian Lailatul qodar adalah malam kemuliaan yang hanya terdapat pada bulan ramadhan. Keutamaan Lailatul qodar , Allaah telah menerangkan dalam QS. Al-Qadr ayat 1-5 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Qadr. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar." Waktu / malam Lailatul Qadr berada diantara sepuluh malam terakhir pada bulan ramadhan, dan lebih khusua lagi pada malam-malam yang ganjil. Rasulullaah bersabda, yang artinya : " Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." ( HR. Bukhari dan Muslim) Oleh sebab itu pada malam-malam itu kita di anjurkan untuk memperbanyak amal soleh. Tanda-tanda Lailatul Qadr : 1. Pada malam lailatul qadr terasa sejuk, tidak panas, dan tidak dingin. Riwayat dari Jabir bi...