Skip to main content

Tata Cara Shalat

 *Bismillah*

*Kitab Al-Wajiz*

*Bab Shalat*

*Rukun-Rukun Shalat*

*(TATA CARA SHALAT)*


*Syaikh Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi*


A. Rukun-Rukun Shalat

Shalat memiliki beberapa kewajiban dan rukun yang hakekat shalat itu tersusun darinya. Sehingga, jika satu rukun saja tertinggal, maka shalat tersebut tidak terealisir dan secara hukum tidak dianggap (batal).


GWA "SJYL 1"  👇

https://chat.whatsapp.com/C9sbNSw7OUs7JfhLtP9Q17

GWA "SJYL 2"  👇

https://chat.whatsapp.com/JxyXiC9tdK90bBGNbTybBY

GWA "SJYL 3"  👇

https://chat.whatsapp.com/KGzs24UeLQKCMh5bC5vLAW


Berikut adalah rukun-rukun shalat :


1. Takbiratul ihram

Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :


مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَـا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.


“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.“[1]


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya :


إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ.


“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah.”[2]


2. Berdiri bagi yang mampu saat mengerjakan shalat wajib

Allah berfirman :


وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ


“… Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah/2: 238]


Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sambil berdiri. Beliau juga menyuruh ‘Imran bin Hushain untuk mengerjakan yang demikian. Beliau berkata kepadanya :


صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.


“Shalatlah sambil berdiri. Jika engkau tidak bisa, maka (shalatlah) sambil duduk. Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan (tidur) miring (yaitu di atas tubuh bagian kanan dengan wajah menghadap kiblat.-ed.”[3]


3. Membaca al-Faatihah pada setiap raka’at

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.


“Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (al-Faatihah).“[4]


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang buruk shalatnya untuk membacanya kemudian berkata, “Kemudian lakukanlah yang seperti itu pada seluruh shalatmu.”[5]


4, 5. Ruku’ secara thuma’ninah (tenang)

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” [Al-Hajj/22: 77]


Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya :


ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَعِنَّ رَاكِعًا.


“Kemudian ruku’lah hingga kau merasa tenang dalam ruku’mu.”[6]


6, 7. Berdiri tegak setelah ruku’ sambil thuma’ninah di dalamnya

Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhuma. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”[7]


Beliau juga berkata kepada orang yang buruk shalatnya :


ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا.


“Kemudian bangkitlah hingga kau tegak berdiri.“[8]


8, 9. Sujud dan thuma’ninah di dalamnya

Berdasarkan firman Allah :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا


“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu...” [Al-Hajj/22: 77]

.

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk shalatnya, “Kemudian bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu. Lalu bangkitlah hingga engkau thuma’ninah dalam dudukmu. Lantas bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu.”[9]


Anggota sujud:

Dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ.


“Aku diperintah untuk bersujud di atas tujuh tulang: di atas dahi, -sambil menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, serta ujung jari-jemari kedua kaki.”[10]


Juga dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.


“Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya.”[11]


10, 11. Duduk di antara dua sujud serta thuma’ninah padanya

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan (meluruskan) punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”


Juga berdasarkan perintah beliau pada orang yang buruk shalatnya agar melakukan hal ini, sebagaimana telah dibicarakan dalam pembahasan sujud.


12. Tasyahhud akhir

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Sebelum diwajibkan tasyahhud, dulu kami mengucapkan :


“اَلسَّلاَمُ عَلَـى اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَـى جِبْرِيْلَ وَمِيْكَـائِيْلَ،” فَقَـالَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقُوْلُوْا هكَذَا، وَلكِنْ قُوْلُوْا: اَلتَّحِيَّاتُ للهِ…


“Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Jibril dan Mikail.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian mengucapkan seperti itu. Tapi ucapkanlah, ‘Segala penghormatan…[12]


Catatan :

Riwayat paling shahih tentang tasyahhud adalah riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku tasyahhud secara langsung sebagaimana mengajariku surat al-Qur-an.


“التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.”


“Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitupula seluruh pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah dan berkahNya. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”[13]


Catatan lain :

Sabda beliau :


“اََلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.”


“Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan barakah-Nya.”


Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h (II/314), “Terdapat pada sejumlah jalur hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ini adanya konsekuensi perbedaan antara zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan kita) sehingga (pada waktu itu) diucapkan dengan lafazh kalimat langsung. Adapun (zaman) selanjutnya, maka diucapkan dengan lafazh tidak langsung. Dalam kitab “al-‘Isti’dzan” pada Shahiih al-Bukhari dari jalur Abu Ma’mar, dari Ibnu Mas’ud. Setelah menyebutkan hadits tasyahhud dia berkata, “Beliau (masih) berada di antara kami. Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ، يَعْنِيْ عَلىَ النَّبِيِّ (semoga kesejahteraan terlimpahkan, -maksudnya- atas Nabi), maksudnya kepada Nabi.” Seperti itulah disebutkan dalam al-Bukhari. Abu ‘Awwanah juga mengeluarkannya dalam kitab Shahiihnya. Begitu pula as-Siraj, al-Jauzaqi, Abu Nu’aim al-Ashbahani, dan al-Baihaqi dari berbagai jalur menuju Abu Nu’aim guru al-Bukhari. Di situ disebutkan dengan lafazh, “Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ” tanpa lafazh: يعنى (maksudnya). Begitupula riwayat Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Nu’aim.


As-Subki berkata dalam Syarh al-Minhaaj setelah menyebutkan riwayat ini dari jalur Abu ‘Awwanah secara sendiri, “Jika benar ini dari Sahabat, maka menunjukkan bahwa kalimat langsung dalam salam setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wajib. Maka dikatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Saya berkata (al-Hafizh), “Riwayat tersebut shahih tidak diragukan lagi. Saya telah menemukan jalur lain yang menguatkan. ‘Abdurrazzaq berkata, “Ibnu Juraij memberitahu kami, dia berkata, ‘Atha’ memberitahuku bahwa dulu semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup para Sahabat mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَـا النَّبِيُّ”. Ketika beliau sudah meninggal, mereka mengatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Ini adalah sanad yang shahih.


Al-Albani berkata dalam Shifatush Shalaah (hal. 126), “Itu pasti berdasarkan petunjuk langsung dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga diperkuat oleh riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyatakan bahwa dia mengajari mereka tasyahhud dalam shalat: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ” diriwayatkan as-Siraj dalam Musnadnya (II/1/9) dan Mukhallash dalam al-Fawaa-id (I/54/11) dengan dua sanad yang shahih dari ‘Aisyah.


13. Shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahhud akhir

Berdasarkan hadits Fadhalah bin ‘Ubaid al-Anshari: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang sedang shalat. Dia tidak memuji dan mengagungkan Allah. Tidak pula bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia lalu pergi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Orang ini terlalu tergesa-gesa.” Kemudian beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya dan kepada selainnya, “Jika salah seorang di antara kalian shalat, hendaklah ia memulai dengan sanjungan dan pujian pada Rabb-nya lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu dia boleh berdo’a sesuka hatinya.”[14]


Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki datang dan duduk di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kami berada di sisi beliau. lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, adapun mengucap salam atas engkau, maka kami sudah tahu. Lalu bagaimanakah kami bershalawat atas engkau jika kami bershalawat atas engkau dalam shalat-shalat kami? Semoga Allah mencurahkan keselamatan-Nya atas engkau?” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Beliau terdiam hingga kami berharap laki-laki itu tak pernah menanyainya (seperti itu).” Beliau kemudian berkata, “Jika kalian bershalawat atasku, maka ucapkanlah :


“اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ…”


“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang buta huruf, serta kepada keluarga Muhammad...”[15]


Catatan :

Kalimat shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbaik adalah yang diriwayatkan Ka’b bin ‘Ujrah, dia mengatakan bahwa kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui atau mengenal bagaimana mengucap salam atas engkau. Lalu bagaimana dengan shalawatnya?” beliau berkata, “Ucapkanlah :


“اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.”


“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung. Serta berilah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung.”[16]


14. Salam

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَالتَّحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.


“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.”[17]


[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]

_______


Footnote :


[1] Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 222)], Sunan at-Tirmidzi (I/5 no. 3), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/88 no. 61), dan Sunan Ibni Majah (I/101 no. 270)..


[2] Telah disebutkan takhirjnya


[3] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3778)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/587 no. 1117). Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/233 no. 939) dan Sunan at-Tirmidzi (I/231 no. 369).


[4] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/236 no. 756)], Shahiih Muslim (I/295 no. 394), Sunan at-Tirmidzi (I/156 no. 247), Sunan an-Nasa-i (II/137), Sunan Ibni Majah (I/273 no. 837), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/42 no. 807), dengan tambahan: “Dan begitulah seterusnya.” Hal ini tidak terdapat pada riwayat selainnya.


[5] Telah disebutkan takhrijnya


[6] Telah disebutkan takhrijnya


[7] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 71)], Sunan an-Nasa-i (II/183), Sunan at-Tirmidzi (I/165 no. 264), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/93 no. 840), dan Sunan Ibni Majah (I/282 no. 870).


[8] Telah disebutkan takhrijnya


[9] Telah disebutkan takhrijnya


[10] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/297/812)], Shahiih Muslim (I/354/230-490), dan Sunan an-Nasa-i (II/209).


[11] Shahiih: [Ad-Daraquthni (I/348/3). Al-Albani menyebutkannya dalam “Shifatu ash-Shalaah.” Hal. 123.


[12] Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).


[13] Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).


[14] Sanadnya Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 128). Cet. Maktabah al-Ma’arif], Sunan at-Tirmidzi (V/180 no. 3546), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/354 no. 1468).


[15] Sanadnya Hasan: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/351 dan 352 no. 711)].


[16] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/152 no. 6357)], Shahiih Muslim (I/305 no. 406), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/264 no. 963), Sunan at-Tirmidzi (I/301/482), Sunan Ibni Majah (I/293 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (III/47).


[17] Telah disebutkan takhrijnya.


Wallahu a'lam.


*Silahkan dishare untuk menyebarkan ilmu agama dan kebaikan. Jazakumullahu khairan.*


⌨️⌨️⌨️⌨️⌨️⌨️

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك...

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an...

Lailatul Qodar

Pengertian Lailatul qodar adalah malam kemuliaan yang hanya terdapat pada bulan ramadhan. Keutamaan Lailatul qodar , Allaah telah menerangkan dalam QS. Al-Qadr ayat 1-5 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Qadr. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar." Waktu / malam Lailatul Qadr berada diantara sepuluh malam terakhir pada bulan ramadhan, dan lebih khusua lagi pada malam-malam yang ganjil. Rasulullaah bersabda, yang artinya : " Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." ( HR. Bukhari dan Muslim) Oleh sebab itu pada malam-malam itu kita di anjurkan untuk memperbanyak amal soleh. Tanda-tanda Lailatul Qadr : 1. Pada malam lailatul qadr terasa sejuk, tidak panas, dan tidak dingin. Riwayat dari Jabir bi...