Showing posts with label Solat. Show all posts
Showing posts with label Solat. Show all posts

Monday, July 22, 2024

Tata Cara Shalat

 *Bismillah*

*Kitab Al-Wajiz*

*Bab Shalat*

*Rukun-Rukun Shalat*

*(TATA CARA SHALAT)*


*Syaikh Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi*


A. Rukun-Rukun Shalat

Shalat memiliki beberapa kewajiban dan rukun yang hakekat shalat itu tersusun darinya. Sehingga, jika satu rukun saja tertinggal, maka shalat tersebut tidak terealisir dan secara hukum tidak dianggap (batal).


GWA "SJYL 1"  👇

https://chat.whatsapp.com/C9sbNSw7OUs7JfhLtP9Q17

GWA "SJYL 2"  👇

https://chat.whatsapp.com/JxyXiC9tdK90bBGNbTybBY

GWA "SJYL 3"  👇

https://chat.whatsapp.com/KGzs24UeLQKCMh5bC5vLAW


Berikut adalah rukun-rukun shalat :


1. Takbiratul ihram

Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :


مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَـا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.


“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.“[1]


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya :


إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ.


“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah.”[2]


2. Berdiri bagi yang mampu saat mengerjakan shalat wajib

Allah berfirman :


وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ


“… Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah/2: 238]


Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sambil berdiri. Beliau juga menyuruh ‘Imran bin Hushain untuk mengerjakan yang demikian. Beliau berkata kepadanya :


صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.


“Shalatlah sambil berdiri. Jika engkau tidak bisa, maka (shalatlah) sambil duduk. Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan (tidur) miring (yaitu di atas tubuh bagian kanan dengan wajah menghadap kiblat.-ed.”[3]


3. Membaca al-Faatihah pada setiap raka’at

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.


“Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (al-Faatihah).“[4]


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang buruk shalatnya untuk membacanya kemudian berkata, “Kemudian lakukanlah yang seperti itu pada seluruh shalatmu.”[5]


4, 5. Ruku’ secara thuma’ninah (tenang)

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” [Al-Hajj/22: 77]


Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya :


ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَعِنَّ رَاكِعًا.


“Kemudian ruku’lah hingga kau merasa tenang dalam ruku’mu.”[6]


6, 7. Berdiri tegak setelah ruku’ sambil thuma’ninah di dalamnya

Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhuma. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”[7]


Beliau juga berkata kepada orang yang buruk shalatnya :


ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا.


“Kemudian bangkitlah hingga kau tegak berdiri.“[8]


8, 9. Sujud dan thuma’ninah di dalamnya

Berdasarkan firman Allah :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا


“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu...” [Al-Hajj/22: 77]

.

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk shalatnya, “Kemudian bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu. Lalu bangkitlah hingga engkau thuma’ninah dalam dudukmu. Lantas bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu.”[9]


Anggota sujud:

Dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ.


“Aku diperintah untuk bersujud di atas tujuh tulang: di atas dahi, -sambil menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, serta ujung jari-jemari kedua kaki.”[10]


Juga dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.


“Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya.”[11]


10, 11. Duduk di antara dua sujud serta thuma’ninah padanya

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan (meluruskan) punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”


Juga berdasarkan perintah beliau pada orang yang buruk shalatnya agar melakukan hal ini, sebagaimana telah dibicarakan dalam pembahasan sujud.


12. Tasyahhud akhir

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Sebelum diwajibkan tasyahhud, dulu kami mengucapkan :


“اَلسَّلاَمُ عَلَـى اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَـى جِبْرِيْلَ وَمِيْكَـائِيْلَ،” فَقَـالَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقُوْلُوْا هكَذَا، وَلكِنْ قُوْلُوْا: اَلتَّحِيَّاتُ للهِ…


“Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Jibril dan Mikail.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian mengucapkan seperti itu. Tapi ucapkanlah, ‘Segala penghormatan…[12]


Catatan :

Riwayat paling shahih tentang tasyahhud adalah riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku tasyahhud secara langsung sebagaimana mengajariku surat al-Qur-an.


“التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.”


“Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitupula seluruh pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah dan berkahNya. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”[13]


Catatan lain :

Sabda beliau :


“اََلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.”


“Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan barakah-Nya.”


Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h (II/314), “Terdapat pada sejumlah jalur hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ini adanya konsekuensi perbedaan antara zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan kita) sehingga (pada waktu itu) diucapkan dengan lafazh kalimat langsung. Adapun (zaman) selanjutnya, maka diucapkan dengan lafazh tidak langsung. Dalam kitab “al-‘Isti’dzan” pada Shahiih al-Bukhari dari jalur Abu Ma’mar, dari Ibnu Mas’ud. Setelah menyebutkan hadits tasyahhud dia berkata, “Beliau (masih) berada di antara kami. Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ، يَعْنِيْ عَلىَ النَّبِيِّ (semoga kesejahteraan terlimpahkan, -maksudnya- atas Nabi), maksudnya kepada Nabi.” Seperti itulah disebutkan dalam al-Bukhari. Abu ‘Awwanah juga mengeluarkannya dalam kitab Shahiihnya. Begitu pula as-Siraj, al-Jauzaqi, Abu Nu’aim al-Ashbahani, dan al-Baihaqi dari berbagai jalur menuju Abu Nu’aim guru al-Bukhari. Di situ disebutkan dengan lafazh, “Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ” tanpa lafazh: يعنى (maksudnya). Begitupula riwayat Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Nu’aim.


As-Subki berkata dalam Syarh al-Minhaaj setelah menyebutkan riwayat ini dari jalur Abu ‘Awwanah secara sendiri, “Jika benar ini dari Sahabat, maka menunjukkan bahwa kalimat langsung dalam salam setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wajib. Maka dikatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Saya berkata (al-Hafizh), “Riwayat tersebut shahih tidak diragukan lagi. Saya telah menemukan jalur lain yang menguatkan. ‘Abdurrazzaq berkata, “Ibnu Juraij memberitahu kami, dia berkata, ‘Atha’ memberitahuku bahwa dulu semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup para Sahabat mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَـا النَّبِيُّ”. Ketika beliau sudah meninggal, mereka mengatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Ini adalah sanad yang shahih.


Al-Albani berkata dalam Shifatush Shalaah (hal. 126), “Itu pasti berdasarkan petunjuk langsung dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga diperkuat oleh riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyatakan bahwa dia mengajari mereka tasyahhud dalam shalat: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ” diriwayatkan as-Siraj dalam Musnadnya (II/1/9) dan Mukhallash dalam al-Fawaa-id (I/54/11) dengan dua sanad yang shahih dari ‘Aisyah.


13. Shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahhud akhir

Berdasarkan hadits Fadhalah bin ‘Ubaid al-Anshari: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang sedang shalat. Dia tidak memuji dan mengagungkan Allah. Tidak pula bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia lalu pergi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Orang ini terlalu tergesa-gesa.” Kemudian beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya dan kepada selainnya, “Jika salah seorang di antara kalian shalat, hendaklah ia memulai dengan sanjungan dan pujian pada Rabb-nya lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu dia boleh berdo’a sesuka hatinya.”[14]


Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki datang dan duduk di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kami berada di sisi beliau. lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, adapun mengucap salam atas engkau, maka kami sudah tahu. Lalu bagaimanakah kami bershalawat atas engkau jika kami bershalawat atas engkau dalam shalat-shalat kami? Semoga Allah mencurahkan keselamatan-Nya atas engkau?” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Beliau terdiam hingga kami berharap laki-laki itu tak pernah menanyainya (seperti itu).” Beliau kemudian berkata, “Jika kalian bershalawat atasku, maka ucapkanlah :


“اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ…”


“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang buta huruf, serta kepada keluarga Muhammad...”[15]


Catatan :

Kalimat shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbaik adalah yang diriwayatkan Ka’b bin ‘Ujrah, dia mengatakan bahwa kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui atau mengenal bagaimana mengucap salam atas engkau. Lalu bagaimana dengan shalawatnya?” beliau berkata, “Ucapkanlah :


“اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.”


“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung. Serta berilah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung.”[16]


14. Salam

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَالتَّحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.


“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.”[17]


[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]

_______


Footnote :


[1] Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 222)], Sunan at-Tirmidzi (I/5 no. 3), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/88 no. 61), dan Sunan Ibni Majah (I/101 no. 270)..


[2] Telah disebutkan takhirjnya


[3] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3778)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/587 no. 1117). Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/233 no. 939) dan Sunan at-Tirmidzi (I/231 no. 369).


[4] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/236 no. 756)], Shahiih Muslim (I/295 no. 394), Sunan at-Tirmidzi (I/156 no. 247), Sunan an-Nasa-i (II/137), Sunan Ibni Majah (I/273 no. 837), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/42 no. 807), dengan tambahan: “Dan begitulah seterusnya.” Hal ini tidak terdapat pada riwayat selainnya.


[5] Telah disebutkan takhrijnya


[6] Telah disebutkan takhrijnya


[7] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 71)], Sunan an-Nasa-i (II/183), Sunan at-Tirmidzi (I/165 no. 264), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/93 no. 840), dan Sunan Ibni Majah (I/282 no. 870).


[8] Telah disebutkan takhrijnya


[9] Telah disebutkan takhrijnya


[10] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/297/812)], Shahiih Muslim (I/354/230-490), dan Sunan an-Nasa-i (II/209).


[11] Shahiih: [Ad-Daraquthni (I/348/3). Al-Albani menyebutkannya dalam “Shifatu ash-Shalaah.” Hal. 123.


[12] Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).


[13] Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).


[14] Sanadnya Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 128). Cet. Maktabah al-Ma’arif], Sunan at-Tirmidzi (V/180 no. 3546), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/354 no. 1468).


[15] Sanadnya Hasan: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/351 dan 352 no. 711)].


[16] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/152 no. 6357)], Shahiih Muslim (I/305 no. 406), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/264 no. 963), Sunan at-Tirmidzi (I/301/482), Sunan Ibni Majah (I/293 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (III/47).


[17] Telah disebutkan takhrijnya.


Wallahu a'lam.


*Silahkan dishare untuk menyebarkan ilmu agama dan kebaikan. Jazakumullahu khairan.*


⌨️⌨️⌨️⌨️⌨️⌨️

Wednesday, June 28, 2023

Menjaga Sholat


 Artikel Lainnya :


Keutamaan Sholat


 Artikel Lainnya :


Tuesday, August 16, 2022

Bolehkah Menjadi Makmum di Belakang Makmum Masbuk?


Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Seringkali kita menyaksikan hal ini di masjid-masjid. Ketika imam selesai salam, ada jama’ah yang telat, lantas ia bermakmum di belakang makmum masbuk (yang sudah shalat dengan imam pertama). Bolehkah bermakmum semacam ini? Mari kita lihat penjelasan dari ulama besar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni yang digelari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya,

عَنْ رَجُلٍ أَدْرَكَ مَعَ الْجَمَاعَةِ رَكْعَةً فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ قَامَ لِيُتِمَّ صَلَاتَهُ فَجَاءَ آخَرُ فَصَلَّى مَعَهُ فَهَلْ يَجُوزُ الِاقْتِدَاءُ بِهَذَا الْمَأْمُومِ؟

“Ada seseorang yang mendapati jama’ah tinggal satu raka’at. Ketika imam salam, ia pun berdiri dan menyempurnakan kekurangan raka’atnya. Ketika itu, datang jama’ah lainnya dan shalat bersamanya (menjadi makmum dengannya). Apakah mengikuti makmum yang masbuk semacam ini dibolehkan?”

Jawaban beliau rahimahullah,

Mengenai shalat orang yang pertama tadi ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad dan selainnya. Akan tetapi pendapat yang benar, perbuatan semacam ini dibolehkan. Inilah yang menjadi pendapat kebanyakan ulama. Hal tadi dibolehkan dengan syarat orang yang diikuti merubah niatnya menjadi imam dan yang mengikutinya berniat sebagai makmum.

Namun jika orang yang mengikuti (yang telat datangnya tadi) berniat untuk mengikuti orang yang sudah shalat bersama imam sebelumnya (makmum masbuk), sedangkan yang diikuti tersebut tidak berniat menjadi imam, maka di sini ada dua pendapat mengenai kesahan shalatnya:

*Pendapat pertama:* Shalatnya sah sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan selainnya. Pendapat ini juga adalah salah salah pendapat dari Imam Ahmad.

*Pendapat kedua:* Shalatnya tidak sah. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Alasan dari pendapat kedua ini, orang yang menjadi makmum pertama kali untuk imam pertama (makmum masbuk), setelah imam salam, maka ia statusnya shalat munfarid (sendirian).

Lalu mengenai makmum masbuk tadi yang menyelesaikan shalatnya, semula ia shalat munfarid, ia boleh merubah niat menjadi imam bagi yang lain sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjadi imam bagi Ibnu ‘Abbas tatkala sebelumnya beliau niat shalat munfarid. Seperti ini dibolehkan dalam shalat sunnah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas tersebut. Hal ini pun menjadi pendapat Imam Ahmad dan ulama lainnya.  Namun disebutkan dalam madzhab Imam Ahmad suatu pendapat yang menyatakan bahwa seperti ini dalam shalat sunnah tidak dibolehkan. Sedangkan mengikuti shalat makmumm masbuk dalam shalat fardhu, maka di sini terdapat perselisihan yang masyhur di kalangan para ulama. Akan tetapi, yang benar adalah bolehnya hal ini dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah karena yang diikuti menjadi imam dan itu lebih banyak daripada kedaannya shalat munfarid. Oleh karena itu, mengalihkan dari shalat sendirian menjadi imam, itu tidaklah terlarang sama sekali. Berbeda halnya dengan pendapat pertama tadi (yang menyatakan tidak bolehnya). Wallahu a’lam.

Demikian sajian singkat ini dari Majmu’ Al Fatawa (22/257-258). Semoga bermanfaat.

Sumber https:/rumaysho.com/1063-bolehkah-menjadi-makmum-di-belakang-makmum-masbuk.html

Sunday, February 27, 2022

BATASAN MENGANGKAT TANGAN SAAT TAKBIR

SIFAT   SHALAT   NABI ﷺ.

hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ » . وَكَانَ لاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِى السُّجُو

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa *mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya ketika memulai (membuka shalat),* ketika bertakbir untuk ruku’, ketika mengangkat kepalanya bangkit dari ruku’ juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu’. Beliau tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud.”

📚 (HR. Bukhari no. 735 dan Muslim no. 390).

*mengangkat tangan hingga ujung telinga* yaitu hadits,

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.

Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata,:

*“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar kedua telinganya.* Jika ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya juga *sejajar kedua telinganya.* Jika bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, beliau melakukan semisal itu pula.” 

📚(HR. Muslim no. 391).

Tuesday, February 8, 2022

Sholat tapi belum mandi biasa


Assalamualaikum ustadz wa ustadzah saya ingin bertanya apakah hujum sholat tapi kita belum mandi biasa

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Apabila seorang muslim dalam keadaan berhadats kecil maka ia perlu untuk berwudhu supaya hadats kecilnya terangkat. Diantara dalilnya adalah,"

عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ» قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ: مَا الحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟، قَالَ: فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

Dari Hammam bin Munabbih, dia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda," “Tidak diterima shalatnya orang yang berhadats hingga ia berwudhu.”


 Seseorang dari Hadhramaut bertanya, "Wahai Abu Hurairah, apa yang dimaksud dengan berhadats?” Beliau menjawab, "Yakni keluar angin atau kentut.” riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari 135

Apabila seseorang berhadats besar kemudan ia ingin melaksanakan shalat maka shalatnya tidak diterima hingga ia melakukan mandi besar. Ini Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا (سورة النساء : 4)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa: 43)

Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ  (رواه مسلم، رقم 224)

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.” )HR. Muslim, no. 224)

Masalah ini telah menjadi kesepakan dikalangan para ulama.

Nawawi rahimahullah, “Umat Islam ijmak akan haramnya shalat bagi orang yang hadats. Mereka juga sepakat tidak sah, baik ia tahu hadatsnya atau tidak tahu atau lupa. Akan tetapi kalau shalat dalam kondisi tidak tahu atau lupa, dia tidak berdosa. Kalau dia mengetahui dengan hadats dan pengharaman shalat dengan adanya hadats, maka dia telah melanggar kemaksiatan besar dan dia tidak dihukumi kafir menurut kami kecuali kalau dia menghalalkan hal itu.

Abu Hanifah mengatakan, “Dihukumi kafir karena dia telah menghinanya. Dalil kami bahwa itu kemaksiatan seperti zina dan semisalnya. Hal itu kalau dia tidak mendatangkan pengganti dan tidak terpaksa shalat dalam kondisi hadats.” (Majmu, (2/78).

Dengan begitu bila seseprang dalam keadaan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka dia tidak perlu mandi besar. Dia juga tidak perlu mandi biasa kecuali bila ada najis yang menempel di badan yang perlu dibersihkan dengan cara mandi biasa. Wallahu ta'ala a'lam

http://www.salamdakwah.com/pertanyaan/10202-sholat-tapi-belum-mandi-biasa

Tuesday, April 13, 2021

Ketika Tertinggal Shalat Tarawih

Fatwa Ulama: 

dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK 

Beberapa orang memiliki kesibukan yang terkadang tidak bisa ditinggal, misalnya tenaga medis yang harus menjaga orang sakit, tenaga keamanan dan pekerjaan yang memang tidak bisa ditinggal. Terkadang mereka terlambat shalat isya, kemudian datang ke masjid dan mendapati imam sedang shalat tarawih. Apa yang harus dilakukan oleh orang ini? Berikut sedikit pembahasannya.

*Jika tertinggal shalat tarawih dan belum shalat isya*

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah berkata, “Jika engkau tertinggal shalat isya, ketika engkau datang imam sedang shalat tarawih maka hendaknya engkau ikut shalat bersama imam dengan niat shalat isya. Jika imam telah salam (selesai shalat) engkau sempurnakan shalat isya (misalnya anda dapat shalat dua rakaat besama imam, maka anda tidak ikut salam bersama imam, bangkit dan sempurnakan dua rakaat lagi sendiri untuk menyelesaikan shalat isya, jika sudah anda bergabung lagi untuk shalat tarawih bersama imam, pent).

Janganlah engkau shalat (isya’) sendiri dan jangan dengan jama’ah yang lain agar tidak didirikan dua jamaah shalat dalam satu waktu. Karena bisa membuat was-was dan campur aduknya suara.

*Jika tertinggal shalat tarawih*

Misalnya ketika datang imam sudah shalat tawarih satu atau dua rakaat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “jika saya menghadiri shalat tarawih bersama jamaah kemudian saya tertinggal (beberapa rakaat), apakah saya meng-qadha shalat yang tertinggal setelah witir atau apa yang harus saya lakukan?”

Beliau menjawab: “Hendaknya jangan engkau qadha shalat tarawih yang tertinggal setelah witir. Jika engkau ingin mengqadha shalat yang tertinggal, maka genapkanlah rakaat shalat witir bersama imam (maksudnya, ketika imam salam shalat witir anda niat shalat tarawih bangkit dengan rakaat genap, pent). Lalu setelah itu engkau lanjutkan lagi menyempurnakan shalat tawarih yang tertinggal, kemudian baru shalat witir.

Ini adalah pemasalahan yang aku ingatkan: jika engkau datang dan imam sedang shalat tarawih sedangkan engkau belum shalat isya’, apa yang harus dilakukan? Apakah shalat isya’ sendiri atau ikut shalat bersama imam dengan niat isya’?

Jawabnya, ikutlah bersama imam shalat tarawih dengan niat shalat Isya. Jika imam telah salam shalat tarawih (setelah 2 rakaat) maka engkau bangkit (tidak salam) dan sempurnakan sisa rakaat shalat isya. Imam Ahmad rahimahullah menegaskan hal ini dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini. Ini adalah pendapat yang rajih. Yaitu boleh menjadi makmum berniat shalat wajib sedangkan imam berniat shalat sunnah. Dengan dalil bahwa Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu shalat isya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia balik ke kampungnya untuk menjadi imam shalat isya. Maka ia mendapat pahala sunnah sedangkan kaumnya shalat wajib” (Liqa Asy Syahri)

Lebih baik jika meng-qadha shalat dengan cara berjamaah jika mudah. Misalnya shalat dengan istri di rumah. Wallahu a’lam” [selesai perkataan Syaikh Al Munajjid]

Demikian semoga bermanfaat.

Banyak mengambil faidah dari http://islamqa.info/ar/ref/93747

Penyusun: Raehanul Bahraen

https://muslim.or.id/22035-fatwa-ulama-ketika-tertinggal-shalat-tarawih.html

Semoga bermanfaat,

Baca Juga Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Cara Mengatasi Pandemi 

Besarnya Dosa Meninggalkan Sholat

Kunci Bahagia dan Sukses

Prinsip Aqidah Ahlussunnah Waljamaah

Belajar Al Qur'an Dengan Metode Ummi (jilid 3 )

Gara-gara Menyiksa Kucing

Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Manusia - Manusia Lemah

Carilah Sahabat Seperti ini

Hukum Riya'

Sebab Sempit Hati

Wanita Wajib Izin Suami Saat Akan Keluar Rumah

Kisah Nabi Luth as.

Balasan Penyebar Aib

Istighfar/Doa Anak 

Pejuang Sunnah

Pendidikan Agama Anak

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Utusan Setan

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Hukum Jual Beli

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Sunnah yang Terlupakan

Menyembunyikan Kebaikan

Hakikat Dunia

Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab

Panduan Shalat Tahajud

Meminta Izin dan Mengucapkan Salam

Seputar Syirik

Mata Cerminan Hati

Dikagumi Oleh Allaah, Kok Bisa ya ?

Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir

Islam Telah Sempurna 

Sifat Orang yang Sering Berhutang

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

Doa Memohon Anak Yang Shalih

Sakit manghapuskan dosa-dosa kit

Ganti Kulit Di Neraka

Ibu, Ibu, Ibu, Bapak

#griyakajiansunnah

Silahkan di share atau simpan link ini, sehingga  link bisa dibagikan setiap saat

Jazakallah Khairan.

 

Tuesday, April 6, 2021

ANAK MELALAIKAN SHALAT, BAGAIMANA MENYIKAPINYA


Bismillaah berikut ini beberapa cara untuk mensikapinya :

Pertama:

Tidak diragukan lagi bahwa perkara shalat merupakan perkara paling agung dan paling penting dalam syariat. Dia merupakan tiang agama, lambang kesuksesan, tanda ketakwaan. Dia adalah amal yang paling pertama dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat. Jika hisab shalatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya, sedangkan jika shalatnya buruk, maka buruklah seluruh amalnya.

Tidak diragukan pula bahwa memperhatikan pendidikan anak dengan pendidikan Islam yang benar untuk menegakkan shalat, bertakwa kepada Allah dalam ucapan dan perbuatan, merupakan tanda-tanda mendapatkan taufik dan jalan yang benar. 

Allah Ta'ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا (سورة طه: 132)

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (QS. Thaha: 132)

Maksudnya adalah perintahkan keluargamu menunaikan shalat, doronglah mereka melaksanakannya, baik yang fadhu maupun yag sunah. Perintah terhadap sesuatu adalah perintah dengan segala sesuatu yang tidak sempurna sesuatu tersebut kecuali dengannya. Maka itu juga merupakan perintah untuk mengajarkan mereka, apa yang menyebabkan shalat menjadi sah atau batal atau apa yang menyempurnakannya. (Tafsir As-Sa'di, hal. 517)

Allah Ta'ala befirman tentang Nabi Ismail alaihissalam,

   وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا (سورة مريم: 55)

"Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya." (QS. Maryam: 55)

Allah Ta'ala berfirman kepada orang yang beriman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ ... (سورة التحريم: 6)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras…." (QS. At-Tahrim: 6)

Maksudnya adalah perintahkan mereka melakukan yang ma'ruf dan cegahlah mereka dari perbuatan munkar, jangan sia-siakan mereka dimangsa neraka pada hari kiamat."

(Tafsir Ibnu Katsir, 5/240)

Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) meriwayatkan dari Amr bin Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (وصححه الألباني في "الإرواء"، رقم 247)

"Perintahkan anak kalian untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun. Bedakan mereka di tempat tidurnya." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwaul Ghalil, no. 247)

Syekh Bin Baz rahimahullah berkata, "

"Perhatikan keluarga, jangan lalai mendidik mereka wahai hamba Allah. Anda harus bersungguh-sungguh untuk memperbaiki mereka. Hendaklah anak-anak diperintahakan shalat jika sudah berusia tujuh tahun, dan pukullah (jika belum melaksanakan shalat) jika telah berusia sepuluh tahun dengan pukulan ringan yang mendorongnya untuk taat kepada Allah serta membiasakan mereka untuk menunaikan shalat pada waktunya, agar mereka istiqamah di jalan Allah serta mengenal yang haq. Sebagaimana hal tersebut diriwayatkan dalam sunah sahih." (Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)

Kedua:

Adapun cara yang dapat membantu mendidik anak untuk mengerjakan shalat serta menghormatinya, dapat disimpulkan sebagai berikut;

- Pentingnya ada teladan praktis, yaitu sikap orang tua yang menanmpakkan perhatian besar mereka terhadap shalat dengan melaksanakannya tepat pada waktunya.

- Sang bapak selalu berusaha mengajak anak laki-lakinya untuk shalat bersamanya, sedangkan ibu selalu berusaha mengajak putrinya shalat bersamanya di rumahnya.

- Mengingatkan tentang pentingnya shalat dan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan rukun agama yang sangat agung dan agama tidak sempurna kecuali dengannya.

- Menganjurkan melaksanakan shalat pada waktunya dan menjelaskan bahwa Allah menjanjikan surga bagi orang yang melaksanakan shalat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud (425), dari Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu dia berkata, "Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "

خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللَّهُ تَعَالَى ، مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ وَصَلاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ وَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ كَانَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللَّهِ عَهْدٌ ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ) صححه الألباني في "صحيح أبي داود"

"Lima shalat yang Allah Ta'ala wajibkan, siapa yang membaguskan wudunya dan shalat pada waktunya serta menyempurnakan ruku dan khusyu'nya, maka janji Allah akan mengampuninya. Siapa yang tidak melaksanakannya maka tidak ada janji Allah kepadanya. Jika Dia kehendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Dia menghendaki Dia akan mengazabnya." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Siapa yang ingin mendapatkan janji Allah hendaklah dia shalat, siapa yang tidak ingin mendapatkan janji Allah dan menempatkan dirinya dalam ancaman azab yang pedih dan murka Allah hendaklah dia meninggalkan shalat!

Sambil menyebut hadits-hadits anjuran dan ancaman dalam bab shalat.

- Menggunakan semua sarana yang tersedia dengan cara nasehat yang mudah dan lembut. Menyediakan buku-buku dan kaset-kaset yang berbicara tentang perkara shalat serta menjelaskan kedudukannya yang tinggi.

- Mendorong anak untuk bergaul dengan orang yang komitmen melaksanakan shalat ditambah dorongan positif dalam diri mereka untuk berlomba dalam kebaikan dalam berupa menunaikan shalat dan bersegera dalam kebaikan.

- Memberikan dorongan materi dan moral, dalam bentuk hadiah materi dan ungkapan pujian serta dorangan dan semacamanya.

- Menggunakan metode Nabi dalam mengatasi masalah shalat, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Abu Daud, yaitu dengan memerintahkan anak-anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun, kemudian memukul mereka (jika belum juga shalat) jika mereka berusia sepuluh tahun. Dengan tetap memelihara sikap bijak dalam memukul sekiranya diperkirakan lebih besar manfaatnya. Hendaknya menggunakan sikap tegas dengan cara yang tepat.

- Menggunakan metode isolasi atau tegas ketika meninggalkan shalat atau meremehkannya. Yaitu dalam bentuk hukuman syari yang memberikan pengaruh.

- Memperbanyak doa dan harap kepada Allah, semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka di jalannya yang lurus dan menjadikan mereka termasuk orang-orang yang suka melaksanakan shalat dan bertakwa. Hal ini pada kenyataannya merupakan sebab yang paling bermanfaat untuk kebaikan anak keturunan meskipun banyak orang yang tidak menyadarinya.

- Orang tua hendaknya tidak bosan memberikan peringatan, nasehat, pembinaan, walaupun anak-anak mengulangi lagi sikap meremehkan dan mengabaikan. Jangan pula bosan untuk memberi hadiah kepada anak-anak. Tidak seorang pun yang tahu, kapan waktunya ucapan nasehatnya bermanfaat baginya.

Semoga bermanfaat,

Baca Juga Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Cara Mengatasi Pandemi 

Besarnya Dosa Meninggalkan Sholat

Kunci Bahagia dan Sukses

Belajar Al Qur'an Dengan Metode Ummi (jilid 3 )

Gara-gara Menyiksa Kucing

Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Manusia - Manusia Lemah

Carilah Sahabat Seperti ini

Hukum Riya'

Sebab Sempit Hati

Wanita Wajib Izin Suami Saat Akan Keluar Rumah

Kisah Nabi Luth as.

Balasan Penyebar Aib

Istighfar/Doa Anak 

Pejuang Sunnah

Pendidikan Agama Anak

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Utusan Setan

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Sunnah yang Terlupakan

Menyembunyikan Kebaikan

Hakikat Dunia

Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab

Panduan Shalat Tahajud

Meminta Izin dan Mengucapkan Salam

Seputar Syirik

Mata Cerminan Hati

Dikagumi Oleh Allaah, Kok Bisa ya ?

Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir

Islam Telah Sempurna 

Sifat Orang yang Sering Berhutang

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

Doa Memohon Anak Yang Shalih

Sakit manghapuskan dosa-dosa kita

Ibu, Ibu, Ibu, Bapak

#griyakajiansunnah

Silahkan di share atau simpan link ini, sehingga  link bisa dibagikan setiap saat

Jazakallah Khairan.


 


Hikmah Berqurban