Showing posts with label berdagang. Show all posts
Showing posts with label berdagang. Show all posts

Monday, November 15, 2021

Taubat dari Mengurangi Timbangan Ketika Berdagang

https://t.me/menebar_cahayasunnah

Pertanyaan:

Assalamualaikum, Ustadz, Bagaimana cara menebus dosa mengurangi timbangan ketika berdagang ? terima kasih.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam, Bismillah walhamdulillah, Wassholatu wassalamu ‘ala Rasulullah,

Saudara-saudari yang kami hormati, telah kita ketahui bersama bahwa Allah ﷻ mewajibkan kita agar jujur dalam melakukan transaksi jual beli, diantara perintah Allah ﷻ adalah untuk jujur dalam menakar dan menimbang barang dagangan, sebagimana firman Allah ﷻ:

 وأوفوا الكيل والميزان بالقسط

“…Dan Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil…” (QS. Al-An’am: 152)

Dan telah kita ketahui juga bahwa mengurangi takaran atau timbangan dalam transaksi jual beli merupakan perbuatan dosa yang dimurkai oleh Allah ﷻ , sebagaimana firman Allah ﷻ:

ويل للمطففين, الذين إذا اكتالوا على الناس يستوفون, وإذا كالوهم أو وزنوهم يخسرون

“Celakalah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) Orang orang-yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain) mereka menguranginya” (QS. Al-Muthaffifin: 1-3).

Jika seandainya kita pernah melakukannya, maka seharusnya kita bertaubat dari perbuatan tersebut, pertama dengan mengakui bahwa hal tersebut merupakan perbuatan dosa, Ibnul Qoyyim rahimahullah pernah mengatakan:

لا تصح التوبة إلا بعد معرفة الذنب, والاعتراف به, وطلب التخلص من سوء عواقبه أولا وآخرا.

“Tidaklah sah taubat kecuali dengan mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan dosa, mengakui bahwa kita telah melakukannya, dan berusaha melepaskan diri dari akibat buruk dari dosa tersebut baik di dunia maupun di akhirat” (Madarijus Salikin: 1/235).

Kemudian, tentunya kita perlu mengetahui bagimana caranya agar taubat kita diterima oleh Allah ﷻ yaitu dengan memenuhi syarat-syaratnya, sebagimana Syaikh Utsaimin rahimahullah menyebutkan:

الإخلاص لله, الندم على ما فعل من المعصية, أن يقلع عن الذنب الذي هو فيه, العزم أن لا يعود في المستقبل, أن تكون في زمن تقبل فيه التوبة (… قبل حلول الأجل وقبل طلوع الشمس من مغربها…)

“(Syarat-syarat Taubat) adalah:

Ikhlas kepada Allah.

Penyesalan atas maksiat yang pernah ia lakukan.

Meningglkan dosa tersebut.

Bertekad agar tidak kembali lagi berbuat dosa di waktu yang akan datang

Taubat dilakukan pada waktu yang tepat, yaitu: Sebelum datangnya Ajal dan Sebelum Matahri terbit dari barat. (Lihat: Syarah Riyadhus Shalihin: 1/45-47).

Kemudian beliau rahimahullah menambahkan:

إذا كانت المعصية بالغش والكذب على الناس وخيانة الأمانة, فالواجب أن يقلع عن ذلك, وإن كان اكتسب مالا من هذا الطريق المحرم فالواجب عليه أن يرده إلى صاحبه أو يستحله منه

“Apabila dosa/maksiat tersebut berupa kecurangan atau kebohongan kepada manusia, dan pengkhianatan atas sebuah amanah, maka yang wajib ia lakukan adalah meniggalkan dosa tersebut, dan apabila menghasilkan harta dari jalan yang haram seperti ini, maka diwajibkan kepadanya agar mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya, atau meminta dihalalkan kepada pemiliknya tersebut”

Beliau pun melanjutkan:

فإن كان مالا فلا بد أن تؤديه إلى صاحبه ولا تقبل التوبة إلا بأدائه, مثل أن تكون سرقت مالا من شخص وتبت من هذا فلا بد أن توصل المسروق إلى النسروق منه….. فإن لم تعرف أو غاب عنك هذا الرجل ولم تعرف له مكانا فتصدق به عنه تخلصا منه والله سبحانه وتعالى يعلمه ويعطيه إياه

“Maka apabila dosa berkaitan dengan harta/uang, maka hendaknya ia kembalikan kepada pemiliknya, dan taubat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikannya, misalnya: Anda mencuri harta dari seseorang dan Anda telah bertaubat dari perbuatan itu, maka wajib bagi Anda untuk mengembalikan harta curian tersebut kepada orang yang telah Anda curi hartanya,…. Dan Apabila Anda tidak mengetahui pemiliknya atau pemiliknya sudah tidak berada di tempat semula dan tidak diketahui posisinya, maka bersedekahlah dengan harta tersebut atas nama pemiliknya sebagai bentuk berlepas diri dari perbuatan dosa ini, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahuinya dan menyampaikan sedekah tersebut kepada pemilik harta” (Syarah Riyadhus Shalihin: 1/45-46).

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah juga pernah ditanya tentang orang yang melakukan kecurangan ketika jual-beli, maka beliaupun menjawab:

فعليه التوبة إلى الله, وعليه رد الزيادة إلى صاحبها إن كان يعرفه وإن كان ما يعرفه يتصدق بالزيادة التي أخذها بغير حق.

“Maka ia wajib bertaubat kepada Allah, dan wajib mengembalikan kelebihan uang yang ia dapatkan dengan cara tersebut kepada pemiliknya apabila ia mengetahui pemiliknya, dan apabila ia tidak mengetahuinya hendaklah ia bersedekah dengan kelebihan uang yang telah ia peroleh dengan cara yang tidak benar” (binbaz.org.sa).

Maka, dengan demikian insya Allah taubatnya diterima oleh Allah ﷻ, namun jika kita tidak lagi mengingat berapa jumlah uang yang pernah dicurangi, maka tentunya berusahalah untuk memperkirakannya, kemudian perbanyaklah melakukan amal shaleh seperti sedekah dan sebagainya, Allah ﷻ berfirman:

(…إن الحسنات يذهبن السيئات….)

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan.”(QS. Hud: 114).

Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

وأتبع السيئة الحسنة تمحها

“Dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik tersebut menghapus nya (perbuatan buruk)” (HR. Tirmidzi: 1910)

Demikianlah, semoga menjadi Imu yang bermanfaat,

Wallahu A’lam.

Dijawab oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc., M.Kom (Alumni Lipia, Fakultas Syariah)

Referensi: https://konsultasisyariah.com

Monday, November 8, 2021

HUKUM BANGKAI

 Ⓜ️edia Sunnah Nabi

Oleh :

Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Pengertian Bangkai

Bangkai, dalam bahasa Arab disebut al mayyitah. Pengertiannya, yaitu sesuatu yang mati tanpa disembelih.[1] Sedangkan menurut pengertian para ulama syari’at, al mayyitah (bangkai) adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i, dengan cara mati sendiri tanpa sebab campur tangan manusia. Dan terkadang dengan sebab perbuatan manusia, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang diperbolehkan.[2]

Dengan demikian definisi bangkai mencakup:

1. Yang mati tanpa disembelih, seperti kambing yang mati sendiri.

2. Yang disembelih dengan sembelihan tidak syar’i, seperti kambing yang disembelih orang musyrik.

3. Yang tidak menjadi halal dengan disembelih, seperti babi disembelih seorang muslim sesuai syarat penyembelihan syar’i.[3]

Para ulama berpendapat, anggota tubuh (daging) yang dipotong dari hewan yang masih hidup, termasuk dalam kategori bangkai, dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَمَا قُطِعَ مِنْهَا فَهُوَ مَيْتَةٌ

(Semua yang dipotong dari hewan dalam keadaan masih hidup adalah bangkai).[4] Dengan demikian, hukumnya sama dengan hukum bangkai.

*● NAJISNYA BANGKAI*

Menilik keadaan hewan bangkai, maka dapat dibagi menjadi tiga bagian.

*1. Yang ada di luar kulit, seperti bulu dan rambutnya serta yang sejenisnya.*

Hukumnya suci, tidak najis,[5] berdasarkan firman Allah :

وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ

Dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu). *[an-Nahl/16:80].*

Ayat ini bersifat umum, yakni meliputi hewan yang disembelih dan tidak disembelih. Allah juga menyampaikan ayat ini untuk menjelaskan karunia-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang menunjukkan kehalalannya.[6]

*2. Bagian bawah kulitnya, seperti daging dan lemak.*

Hukumnya najis secara ijma’[7] dan tidak dapat disucikan dengan disamak.[8] Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang disembelih atas nama selain Allah”. *[al An’am/6:145]*

Dikecualikan dalam hal ini, yaitu:

A. Bangkai ikan dan belalang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (liver) dan limpa. [HR Ibnu Majah no. 3314, dan dishohihkan Syaikh al Albani dalam Silsilah al Ahadits ash-Shohihah, no. 1118].

B. Bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti lalat, lebah, semut dan sejenisnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً

Apabila seekor lalat hinggap di minuman salah seorang kalian, maka hendaknya menenggelamkannya kemudian membuangnya. Karena, pada salah satu dari kedua sayapnya penyakit, dan (sayap) yang lainnya (sebagai) obatnya (penawar). [HR al Bukhari, no. 3320].

C. Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Ini semuanya suci, sebagaimana dijelaskan Imam al Bukhori, dari az-Zuhri tentang tulang bangkai, seperti gajah dan lainnya, dengan sanad mu’allaq dalam Shohih al Bukhori (1/342).

Imam az-Zuhri berkata,”Aku telah menemui sejumlah orang dari ulama salaf menggunakannya sebagai sisir dan berminyak dengannya. Mereka membolehkannya.”[9]

D. Bangkai manusia, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

Sesungguhnya seorang muslim itu tidak najis. *[HR al Bukhari].*

Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,”(Pengertian) ini umum mencakup yang hidup dan yang mati”.

Imam al Bukhari berkata, Ibnu ‘Abbas berkata: Seorang muslim itu tidak najis, baik ketika masih hidup atau setelah mati”. Imam al Bukhori juga membuat bab dalam kitab al Muntaqa, yaitu bab yang menerangkan bahwa muslim itu tidak najis.[10]

Adapun tubuh orang kafir, terjadi perselisihan tentang kesuciannya. Yang rojih, yaitu pendapat mayoritas ulama yang mengatakan kesuciannya, berdasarkan firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. *[at-Taubah/9:28].*

Ini karena keyakinan dan joroknya mereka dan dibolehkannya menikahi wanita Ahlu Kitab; padahal jelas akan bersentuhan dan tidak dapat dielakkan, khususnya ketika berhubungan intim. Wallahu a’lam.

*3. Kulitnya*

Hukum najisnya mengikuti hukum bangkainya. Apabila bangkai hewan tersebut suci, maka kulitnyapun suci; dan bila hewan tersebut najis, maka kulitnyapun najis. Di antara contoh yang suci adalah ikan, dengan dasar firman Allah:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. *[al Maidah/5:96].*

Ibnu ‘Abbas mengatakan :  صَيْدُ الْبَحْرِ adalah yang diambil hidup-hidup, dan  وَطَعَامُهُ adalah yang diambil sesudah mati”. Sehingga, kulitnyapun suci.[11]

*● HUKUM MEMAKAN BANGKAI*

Syari’at Islam telah mengharamkan memakan bangkai. Dasar pengharaman bangkai ini, terdapat di dalam al Qur`an dan Sunnah.

Pengharaman bangkai dalam al Qur’an ada dalam beberapa ayat, di antaranya:

نَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. *[al Baqarah/2:173].*

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. *[al Maidah/5:3].*

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang disembelih atas nama selain Allah“. *[al An’am/6:145]*

Adapun di dalam Sunnah Rasululloh, adalah hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

وَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنْ الصَّدَقَةِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati seekor bangkai kambing yang diberikan dari shodaqah untuk maula (bekas budak) milik Maimunah, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa tidak kalian manfaatkan kulitnya?” Mereka menjawab,”Ini adalah bangkai,” beliau bersabda,”Yang diharamkan hanyalah memakannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Oleh karena itu kaum Muslimin sepakat tentang larangan memakan bangkai dalam keadaan tidak darurat. [12]

*● YANG DIHALALKAN DARI BANGKAI*

Semua hokum memakan bangkai diatas berlaku pada semua bangkai kecuali dua jenis:

*1. Bangkai hewan laut.*

Berdasarkan firman Allah:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. *[al Maidah/5:96].*

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulullah! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Apabila kami berwudhu dengannya (air itu), maka kami kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” [HR Sunan al Arba’ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishohihkan Syaikh al Albani di dalam al Irwa’ul Gholil, no.9 dan Silsilah al Ahadits ash-Shohihah, no. 480].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (liver) dan limpa.

Hal ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang memakan bangkai ikan yang ditemukan di pantai, sebagaimana dijelaskan Jabir dalam salah satu perkataannya:

غَزَوْنَا جَيْشَ الْخَبَطِ وَأُمِّرَ أَبُو عُبَيْدَةَ فَجُعْنَا جُوعًا شَدِيدًا فَأَلْقَى الْبَحْرُ حُوتًا مَيِّتًا لَمْ نَرَ مِثْلَهُ يُقَالُ لَهُ الْعَنْبَرُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ نِصْفَ شَهْرٍ فَأَخَذَ أَبُو عُبَيْدَةَ عَظْمًا مِنْ عِظَامِهِ فَمَرَّ الرَّاكِبُ تَحْتَهُ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كُلُوا رِزْقًا أَخْرَجَهُ اللَّهُ أَطْعِمُونَا إِنْ كَانَ مَعَكُمْ فَأَتَاهُ بَعْضُهُمْ فَأَكَلَهُ

Kami berperang pada pasukan al Khobath.[13] Dan yang menjadi amir (panglima) adalah Abu ‘Ubaidah. Saat kami merasa sangat lapar, tiba-tiba lautan melempar bangkai ikan yang tidak pernah kami lihat sebesar itu, dinamakan ikan al anbar (paus). Kami pun memakan ikan tersebut selama setengah bulan. Lalu Abu ‘Ubaidah memasang salah satu tulangnya, lalu orang berkendaraan dapat lewat dibawahnya. Ketika sampai di Madinah, kami sampaikan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau bersabda: “Makanlah! Itu rizki yang dikaruniakan Allah. Berilah untuk kami makan bila (sekarang) masih ada bersama kalian”. Lalu sebagian mereka menyerahkannya dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya. (HR al Bukhori dan Muslim).

*2. Belalang*

Berdasarkan pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (liver) dan limpa.

Hal inipun didukung oleh perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang memakan belalang, seperti dikisahkan ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa:

غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَوْ سِتًّا كُنَّا نَأْكُلُ مَعَهُ الْجَرَادَ

Kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh atau enam peperangan. Kami memakan bersama beliau belalang. (HR al Jama’ah, kecuali Ibnu Majah).

Demikian juga para ulama sepakat membolehkan memakan belalang.

*● HUKUM MENJUAL BANGKAI*

Syari’at Islam melarang menjual bangkai, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khomr (minuman keras), bangkai, babi dan patung berhala. Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat (mendempul) perahu, meminyaki kulit dan untuk bahan bakar lampu,” maka beliau menjawab,”Tidak boleh! Itu haram,” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu: “Semoga Allah mencelakakan orang Yahudi. Sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya, lalu mereka meleburnya (menjadi minyak), kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya”. [HR al Jama’ah].

Larangan ini bersifat umum pada semua bangkai, termasuk manusia, kecuali hewan laut dan belalang. Larangan menjual bangkai manusia mencakup muslim dan kafir. Oleh karena itu, Imam al Bukhori membuat bab dalam kitab shohihnya dengan judul Bab Thorhu Jaif al Musyrikin wala Yu’khodz Lahum Tsaman. Yaitu bab yang menjelaskan membuang bangkai orang-orang musyrikin dan tidak mengambil untuknya tebusan harta.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap bab ini, bahwa pernyataan Imam al Bukhori “tidak mengambil untuknya tebusan harta”, (ini) mengisyaratkan kepada hadits Ibnu ‘Abbas yang berbunyi:

أَنَّ الْمُشْرِكِينَ أَرَادُوا أَنْ يَشْتَرُوا جَسَدَ رَجُلٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَبَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَهُمْ إِيَّاهُ   (أخرجه الترمذي وغيره)

Sungguh kaum Musyrikin ingin membayar jasad seorang musyrik, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan menjualnya kepada mereka. *[HR at-Tirmidzi dan selainnya].[14]*

Adapun Ibnu Ishaq di dalam kitab al Maghazi menyebutkan:

أَنَّ الْمُشْرِكِينَ سَأَلُوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَهُمْ جَسَدَ نَوْفَلَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُغِيْرَةِ , وَكَانَ اقْتَحَمَ الْخَنْدَقَ ; فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ حَاجَةَ لَنَا بِثَمَنِهِ وَلاَ جَسَدِهِ

Sungguh kaum Musyrikin meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjual kepada mereka jasad Naufal bin ‘Abdillah bin al Mughiroh, dan ia dulu ikut menyerang Khondak,” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak butuh dengan nilai harganya dan tidak juga jasadnya.

Ibnu Hisyam berkata,”Telah sampai kepada kami dari az-Zuhri, bahwa mereka telah mengeluarkan untuk itu sepuluh ribu.

Imam Bukhori mengambil sisi pendalilan atas hadits bab dari sisi adat menguatkan, bahwa keluarga orang kafir yang terbunuh dalam perang Badar, seandainya mengetahui uang tebusan mereka akan diterima untuk mendapatkan jasad-jasad mereka (yang terbunuh), tentu mereka akan mengeluarkan sebanyak mungkin untuk itu. Ini sebagai penguat atas hadits Ibnu ‘Abbas, walaupun sanadnya tidak kuat.[15]"

*● HIKMAH DIHARAMKAN BANHKAI* [16]

Sebagian ulama menyampaikan beberapa hikmah diharamkannya bangkai, di antaranya :

1. Pada umumnya, bangkai itu berbahaya karena mati, sakit, lemah atau karena mikroba, bakteri dan virus, serta sejenisnya yang mengeluarkan racun.

Terkadang mikroba penyakit bertahan hidup dalam bangkai tersebut cukup lama.

2. Tabiat manusia menolaknya, menganggapnya jijik dan kotor.

3. Adanya darah jelek yang tertahan tidak keluar dan tidak hilang, kecuali dengan sembelihan syar’i.

Demikian berkaitan dengan hukum bangkai, mudah-mudahan membuat kita semakin berhati-hati dalam memilih makanan. Allah Subhaahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat al Mu’minun/23 ayat 51:

يٰٓاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Juga dalam surat al Baqarah/2 ayat 172:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu . 

Wabillahit-Taufiq.

*● Maraji`:*

1. Al Ath’imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-Dzaba‘ih, Dr. Sholih bin ‘Abdillah al Fauzan, Cetakan Kedua, Tahun 1419H, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

2. Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiq ‘Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Cetakan Kedua, Tahun 1413H, Dar Hajar.

3. Al Qamus al Muhith, al Fairuzzabadi, Tahqiq Muhammad Na’im Al ‘Urqususi, Cetakan Kelima, Tahun 1416H, Muassasah ar-Risalah, Beirut.

4. Fat-hul Bari Syarah Shohih al Bakhori, Ibnu Hajar al Asqalani, al Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.

5. Nailul-Author bi Syarhil-Muntaqa lil Akhbar, Muhamad bin Ali asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Darul-Kutub al ‘Ilmiyah, Beirut.

6. Shohih Fiqhus-Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, tanpa tahun, al Maktabah al Taufiqiyah, Kairo, Mesir.

7. Syarhul-Mumti’ ‘ala Zadul-Mustaqni’, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Tahqiq Kholid al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khoil, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H, Muassasatu Asam.

********************

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 

Foonote:

[1] Lihat al Qamus al Muhith, al Fairuz Abadi, Tahqiq Muhammad Na’im al ‘Urqususi, Cetakan Kelima, Tahun 1416H, Muassasah ar-Risalah, Bairut, hlm. 206.

[2] Al Ath’imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-Dzaba‘ih, Dr. Sholih bin ‘Abdillah al Fauzan, Cetakan Kedua, Tahun 1419H, Maktabah al Ma’arif, Riyadh, hlm. 195.

[3] Catatan penulis dari keterangan Syaikhuna Abdul Qayyum bin Muhammad Asy-Syahibani dalam pelajaran hadits di Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah, 13 Jumadal Ula 1418H.

[4] HR Abu Dawud no. 2858 dan Ibnu Majah no. 3216. Hadits ini dishohihkan Syaikh al Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud.

[5] Syarhul-Mumti’ ‘ala Zadul-Mustaqni’, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Tahqiq Dr. Kholid al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khoil, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H, Muassasatu Asam (1/78).

[6] Catatan penulis dari keterangan Syaikhuna Abdul Qayyum bin Muhammad Asy-Syahibani dalam pelajaran hadits.

[7] Shohih Fiqhus-Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, tanpa tahun, al Maktabah at-Taufiqiyah, Kairo, Mesir (1/73).

[8] Syarhul-Mumti’ (1/78).

[9] Shohih Fiqhus-Sunnah (1/73).

[10] Lihat Nailul-Author bi Syarhil-Muntaqa lil Akhbar, Muhamad bin Ali asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Darul-Kutub al ‘Ilmiyah, Beirut (1/67)

[11] Syarhul-Mumti’ (1/69).

[12] Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiq ‘Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Cetakan Kedua, Tahun 1413H, Dar Hajar (13/330).

[13] Dinamakan demikian, karena mereka memakan dedaunan yang gugur dari pohonnya.

[14] Didhoifkan Syaikh al Albani dalam Dho’if Sunan at-Tirmidzi.

[15] Fat-hul Bari Syarah Shohih al Bukhori, Ibnu Hajar al Asqalani, al Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun (6/283).

[16] Lihat al Ath’imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-Dzaba‘ih, hlm. 196."

Ⓜ️edia Sunnah Nabi

Monday, January 25, 2021

BERDAGANG KECIL-KECILAN LEBIH BAIK DARIPADA MEMINTA-MINTA.

 🔘﷽ 🖊️


Rasulullah ﷺ seringkali memuji dan memotivasi para pedagang. Diantaranya beliau bersabda:⁣

التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء “⁣

Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan para syuhada” (HR. Tirmidzi no.1209, ia berkata: “Hadits hasan, aku tidak mengetahui selain lafadz ini”).⁣

Dari Rafi’ bin Khadij ia berkata, ada yang bertanya kepada Nabi: ‘Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?’. Rasulullah menjawab:“Pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan juga setiap perdagangan yang mabrur (baik)” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 5/263, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 607)⁣

Demikian juga para ulama salaf, banyak diantara mereka yang merupakan para pengusaha dan pedagang. Dengan demikian mereka hidup mulia dan tidak bergantung pada belas kasihan orang. Pernah suatu ketika Sufyan Ats Tsauri sedang sibuk mengurus hartanya.

 Lalu datanglah seorang penuntut ilmu menanyakan sebuah permasalahan kepadanya, padahal beliau sedang sibuk berjual-beli. Orang tadi pun lalu memaparkan pertanyaannya. Sufyan Ats Tsauri lalu berkata: ‘Wahai anda, tolong diam, karena konsentrasiku sedang tertuju pada dirhamku, dan ia bisa saja hilang (rugi)’. Beliau pun biasa mengatakan,

“Jika dirham-dirham ini hilang, sungguh para raja akan memanjakan diriku”⁣

Ayyub As Sikhtiani rahimahullah juga berkata:⁣

“Konsistenlah pada usaha dagangmu, karena engkau akan tetap mulia selama tidak bergantung pada orang lain” 

Semoga_bermanfaat

Barakallahu_fiikum

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini

#Berbagi_Ilmu

#DiatasManhajSalaf

Monday, January 4, 2021

Para sahabat Nabi adalah pedagang

Mungkin kita semua ingat kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu’anhu, bagaimana kehebatan beliau dalam berdagang,

قدِمَ عبدُ الرحمَنِ بنُ عَوفٍ المدينَةَ، فآخَى النبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بينَهُ وبينَ سعدِ بنِ الرَّبيعِ الأنْصاريِّ فعرَضَ عليهِ أنْ يُناصِفَهُ أهلَهُ ومالَهُ، فقال: عبدُ الرحمَنِ بارَكَ اللَّهُ لك في أهلِكَ ومالكَ دُلَّني علَى السُّوقِ، فرَبِحَ شَيئًا من أَقِطٍ وسَمْنٍ

“Abdurraman bin Auf ketika datang di Madinah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ Al Anshari. Lalu Sa’ad menawarkan kepada Abdurrahmah wanita untuk dinikahi dan juga harta. Namun Abdurrahman berkata: ‘semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, tapi cukup tunjukkan kepadaku dimana letak pasar’. Lalu di sana ia mendapatkan untung berupa aqith dan minyak samin” (HR Al Bukhari 3937)

Dan juga para sahabat Nabi yang lain, banyak yang merupakan pedagang. Abu Bakar radhiallahu’anhu adalah pedagang pakaian. Umar radhiallahu’anhu pernah berdagang gandum dan bahan makanan pokok. ‘Abbas bin Abdil Muthallib radhiallahu’anhu adalah pedagang. Abu Sufyan radhiallahu’anhu berjualan udm (camilan yang dimakan bersama roti). (Dikutip dari Al Bayan Fi Madzhab Asy Syafi’i, 5/10)

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Kisah Nabi Luth as.

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Para Sahabat Nabi Berdagang

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Menyembunyikan Kebaikan

Seputar Syirik

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

#griyakajiansunnah



Rasulullah adalah pedagang

Ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan membawa modal dari Khadijah radhiallahu’anha yang ketika itu belum menjadi istri beliau. Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid ketika itu adalah pengusaha wanita yang memiliki banyak harta dan juga kedudukan terhormat. Ia mempekerjakan orang-orang untuk menjalankan usahanya dengan sistem mudharabah (bagi hasil) sehingga para pekerjanya pun mendapat keuntungan. Ketika itu pula, kaum Quraisy dikenal sebagai kaum pedagang. Tatkala Khadijah mendengar tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (yang ketika itu belum diutus menjadi Rasul, pent.) mengenai kejujuran lisannya, sifat amanahnya dan kemuliaan akhlaknya, maka ia pun mengutus orang untuk menemui Rasulullah. Khadijah menawarkan beliau untuk menjual barang-barangnya ke negeri Syam, didampingi seorang pemuda budaknya Khadijah yang bernama Maisarah. Khadijah pun memberi imbalan istimewa kepada beliau yang tidak diberikan kepada para pedagangnya yang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menerima tawaran itu dan lalu berangkat dengan barang dagangan Khadijah bersama budaknya yaitu Maisarah sampai ke negeri Syam” (Sirah Ibnu Hisyam, 187 – 188, dinukil dari Ar Rahiqul Makhtum, 1/51)

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Kisah Nabi Luth as.

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Menyembunyikan Kebaikan

Seputar Syirik

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

#griyakajiansunnah


Monday, January 21, 2019

Berilmu Sebelum Berdagang

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, MSc -  January 31, 2010


Setiap orang menganggap mudah menjadi pedagang atau pebisnis. Yang dibutuhkan di awal-awal adalah memiliki modal, memahami produksi dan memahami pemasaran. Namun selaku seorang muslim yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, ada satu bekal juga yang mesti dipahami sebelum bekal-bekal tadi, yaitu memahami hukum syari’at yang berkaitan dengan perdagangan.

Akan tetapi, di akhir-akhir zaman sekarang ini, kebanyakan orang memang tidak peduli lagi dengan syariat, tidak peduli lagi manakah yang halal dan yang haram. Pokoknya segala macam cara ditempuh asalkan bisa menjalani hidup. Benarlah sabda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.”[1]

Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat

Prinsip inilah yang harus dipahami betul-betul oleh setiap muslim. Seseorang ketika ingin melakukan suatu amalan haruslah ia berilmu terlebih dahulu agar ia tidak salah jalan. Bukankah banyak yang beribadah tanpa ilmu, lalu amalannya tertolak dan sia-sia?

Oleh karenanya, kita seringkali menyaksikan bagaimana para ulama menekankan prinsip ini, sampai-sampai prinsip inilah yang mereka dahulukan di awal kitab mereka. Di antara contohnya adalah ulama hadits terkemuka yaitu Imam Bukhari. Di awal-awal kitab shahih Bukhari, beliau membawakan bab, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal ‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Setelah itu beliau mengemukakan firman Allah Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Lalu Imam Bukhari mengatakan, “Dalam ayat ini, Allah memerintahkan memulai dengan ilmu sebelum amalan.” Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu harus ada lebih dahulu sebelum amalan.

Ilmu adalah Pemimpin Amalan

Prinsip yang disampaikan Imam Bukhari di atas, dapat pula kita saksikan pada perkataan sahabat yang mulia, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah mengatakan,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”[2]

Prinsip seperti itu pun dijelaskan oleh para ulama lainnya ketika menjelaskan surat Muhammad ayat 19 dan perkataan Imam Bukhari di atas.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat, “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”, lalu beliau mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?”[3]

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“[4]

Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan.  Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”[5]

Ingin Menuai Kebaikan, Pelajarilah Bagaimana Prinsip Muamalah!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.”[6] Ini berarti jika ingin diberi kebaikan dan keberkahan dalam berdagang, kuasailah berbagai hal yang berkaitan dengan hukum dagang.

Oleh karena itu, Umar bin Khottob pernah memperingatkan orang-orang yang tidak paham prinsip muamalah untuk tidak berdagang di pasar. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا .

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.”[7]

Akibat Berdagang Tanpa Mengetahui Hukum Syari’at

Tentu saja akibatnya adalah parah. Ia akan mengakibatkan banyak keburukan karena terjerumus dalam yang haram seperti riba, penipuan, spekulasi dan lainnya. Orang seperti ini tidak akan mendatangkan kebaikan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”[8]

Contohnya bila seseorang tidak memahami apa itu riba, dia akan menuai bahaya yang besar. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”[9]

Ilmu Apa Saja yang Mesti Dikuasai Seorang Pedagang?

Intinya, seorang pedagang haruslah memiliki aqidah dan keyakinan yang benar. Itulah prinsip utama yang ia pegang. Jika aqidahnya rusak, bagaimana mungkin amalan lainnya bias baik dan bisa diterima di sisi Allah? Jadi inilah yang harus seorang pedagang ilmui dan jangan sampai disepelekan.

Kemudian setelah itu adalah ilmu yang ia butuhkan untuk menjalankan ibadah setiap harinya, yaitu tentang wudhu, mandi wajib, shalat, dan sebagainya.

Lalu yang ia kuasai adalah ilmu yang berkaitan dengan fiqih muamalah agar perdagangan atau bisnis yang ia jalankan tidak sampai membuatnya terjerumus dalam perkara yang haram.

Di antara sebab yang membuat bisnis atau perdagangan menjadi haram apabila di dalamnya ada tiga perkara ini:

Riba
Adanya penipuan
Adanya taruhan atau spekulasi (untung-untungan)
Mengenai tiga perkara di atas, insya Allah ada pembahasan tersendiri dan panjang lebar yang akan menjelaskannya.

Perdagangan yang Benar dapat Menjadi Ibadah

Jika kita selalu mendasari muamalah dan perdagangan kita dengan ilmu, maka muamalah itu akan menjadi baik. Para ulama pun mengatakan bahwa perdagangan yang benar seperti inilah yang dapat menjadi ibadah dan menuai pahala di sisi Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى

“Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).”[10]

Begitu pula dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْراً غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِراً يَسَّرْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِراً أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ

“Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berfirman (yang artinya), “Lihatlah amalannya!” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rabbku, aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tenggang waktu sampai dia mampu melunasinya.” Lantas Allah pun berkata (yang artinya), “Aku lebih berhak memberi kemudahan”. Orang ini pun akhirnya diampuni.”[11]

Lihatlah bagaimana seseorang yang baik dalam muamalah. Ia tidak ingin mencari keuntungan dalam transaksi utang piutang artinya ia tidak ingin menjalankan prinsip riba. Akhirnya ia pun menuai kebaikan dan pahala di akhirat.

Semoga Allah selalu memberkahi setiap langkah kita yang selalu berusaha menggapai ridho Allah melalui jalan yang ia perintahkan.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, 15 Shofar 1431 H


[1] HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah.

[2] Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 15, Asy Syamilah

[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108.

[4] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/144, Asy Syamilah.

[5] Fathul Bari, 1/108.

[6] Majmu’ Al Fatawa, 28/80

[7] Lihat Mughnil Muhtaj, 6/310

[8] Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15.

[9] Idem

[10] HR. Bukhari no. 2076, dari Jabir bin ‘Abdillah.

[11] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih.