Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49).
Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau kejelekan. Ia akan selalu berdoa pada Allah agar diberikan kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun, lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai bersyukur kepada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkat, ‘Ini adalah hakku.’”(QS. Fushshilat: 50).
Sifat orang beriman jika diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang diidam-idamkan, ia pun bersyukur kepada Allah. Bahkan, ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidraj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia lakukan). Sedangkan, jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa (lihat Taysir Al-Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, hal. 752, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H dan Tafsir Al-Jalalain, hal. 482, Maktabah Ash-Shafaa).
Ucapkanlah Tahmid
Inilah realisasi berikutnya dari syukur, yaitu menampakkan nikmat tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha: 11).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al-Jaami’, no. 3014). Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).” (Lihat Mukhtashar Minhajil Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, hal. 262, Darul Aqidah, cetakan pertama, tahun 1426 H).
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat masalahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia melakukannya dengan sombong, maka ini adalah hal yang tercela (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 202, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, cetakan tahun 1424 H).
Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal tersebut, namun hendaklah ditambah dengan memanfaatkan kenikmatan tersebut dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat. Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al-Quran, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia.
Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur. Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi tiga rukun syukur: [1] mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhahir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah (dengan anggota badan). Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.” (Majmu’ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 11/135, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H).
Merasa Puas dengan Rezeki yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az-Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438).
Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rezeki yang Allah beri walaupun sedikit. Karena, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al-Albani mengatakan, bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 667).
Dan juga mesti kita yakini bahwa rezeki yang Allah beri adalah yang terbaik bagi kita. Seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 27).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rezeki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rezeki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang masalahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/278, Muassasah Qurthubah).
Patut diingat pula, bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan seseorang. Namun, apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar merenungkan hal ini (lihat Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 266).
Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim: 7)
Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri. Wallahu a’alam bisshawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T
https://pengusahamuslim.com/2041-syukur-di-kala-meraih-sukses.html
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.