Skip to main content

Orang yang Mengidap Penyakit Psikis, Apakah Tetap Shalat?

Pertanyaan:

Bagaimana shalatnya orang yang mengalami gangguan pikiran atau gangguan mental, namun tidak permanen. Terkadang ia sadar dan bisa berpikir normal. Namun terkadang ia tidak sadar dan berbicara ngelantur. Apakah orang seperti ini tetap wajib shalat lima waktu?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Landasan yang digunakan dalam membahas kasus di atas adalah hadis berikut. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفعَ القلَمُ عن ثلاثةٍ : عنِ الصَّبيِّ حتَّى يبلغَ ، وعن المجنونِ حتَّى يُفيق ، وعنِ النَّائمِ حتَّى يستيقظَ

“Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun.” (HR. Bukhari secara mu’allaq, Abu Daud no. 4400, dishahihkan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil, 2/5).

Al-‘atah Mendapat Keringanan Seperti Orang Gila

Walaupun dalam hadis ini yang sebutkan adalah junun (gila), namun hadis ini berlaku untuk semua bentuk gangguan pada akal yang sampai menutup akal. Termasuk kasus di atas yang disebut dengan al-‘atah (sering diterjemahkan dengan: pikun). Definisi al-‘atah:

العته آفة توجب خللا في العقل ، فيصير صاحبه مختلط الكلام ، فيشبه بعض كلامه كلام العقلاء ، وبعضه كلام المجانين ، وكذا سائر أموره

Al-‘atah adalah penyakit yang menyebabkan gangguan pada akal. Orang yang mengidapnya menjadi melantur ucapannya. Sebagian ucapannya seperti orang sehat, namun sebagiannya lagi seperti orang gila. Demikian juga seluruh perkaranya” (Kasyful Asrar, 4/274).

Dan orang yang mengidap al-‘atah diberlakukan juga padanya hukum-hukum orang yang terkena penyakit gila. Ibnul Hammam mengatakan:

قد أطبقت كلمة الفقهاء في كتب الفروع على إدراج العته في الجنون

“Para ulama dalam kitab-kitab fiqih memberlakukan al-‘atah dalam kasus junun (gila)” (Fathul Qadir Syarah Al Hidayah, 9/260).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan,

من لا عقل له فإنه لا تلزمه الشرائع، ولهذا لا تلزم المجنون، ولا تلزم الصغير الذي لم يميز، بل ولا الذي لم يبلغ أيضاً، وهذا من رحمة الله تعالى، ومثله أيضاً المعتوه الذي أصيب بعقله على وجه لم يبلغ حد الجنون

“Orang yang tidak berakal, maka tidak terkena kewajiban syariat. Oleh karena itu, (kewajiban syariat) tidak berlaku untuk orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, bahkan juga yang belum baligh. Ini adalah bagian dari rahmat Allah ta’ala. Demikian juga, orang yang pikun yang terganggu akalnya walaupun belum sampai level gila.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 12/15-16).

Dan kriteria seseorang dikatakan tertutup akalnya adalah ia tidak bisa diajak bicara dengan benar. Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan,

فجعل الشارع البلوغ علامة لظهور العقل و فهم الخطاب. و من لا يفهم لا يصح تكليفه لعدم الامتثال

“Syariat menjadikan baligh sebagai indikasi untuk munculnya akal dan kemampuan memahami perkataan. Siapa saja yang tidak memahami perkataan (orang lain), maka tidak sah untuk diberi beban syariat, karena ia tidak bisa memunculkan niat untuk mentaati syariat.” (Syarhul Waraqat fi Ushulil Fiqhi, hal. 80)

Adapun selama seseorang masih bisa diajak bicara dengan benar, maka ia tidak dikatakan mengalami junun (gila) ataupun ‘atah (pikun).

Wajib Shalat ketika Sadar, Tidak Wajib ketika Hilang Akal

Orang yang ma’tuh atau mengidap penyakit al-‘atah, ia tetap wajib shalat ketika sadar dan hadir akalnya. Dan ia tidak wajib shalat ketika hilang akalnya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:

وإذا غلب الرجل على عقله بعارض جن أو عته، أو مرض ما كان المرض ارتفع عنه فرض الصلاة ما كان المرض بذهاب العقل عليه قائما ; لأنه منهي عن الصلاة حتى يعقل ما يقول وهو ممن لا يعقل ومغلوب بأمر لا ذنب له فيه بل يؤجر عليه ويكفر عنه به إن شاء الله تعالى

“Jika akal seseorang tertutup karena suatu hal atau suatu penyakit, maka selama ia sakit, diangkat darinya kewajiban shalat. Selama ia kehilangan akalnya. Karena ia memang dilarang untuk shalat sampai ia berakal dan bisa memahami apa yang ia baca. Sedangkan orang tadi tidak berakal dan tertutup akalnya oleh sesuatu. Tidak ada dosa baginya jika ia tidak shalat, bahkan ia mendapat pahala (atas penyakitnya) dan diampuni dosa-dosanya, insyaAllah” (Al-Umm, 2/153).

Pernah diajukan suatu pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’:

“Saya memiliki ayah yang mengidap penyakit psikis. Penyakit ini kambuh tiap setahun sekali atau dua tahun sekali. Ketika kambuh, akalnya terganggu selama 3 bulan sampai 6 bulan. Ketika ia sadar, saya bertanya kepadanya: kenapa anda tidak shalat? Ia mengatakan bahwa jika ia shalat ia hilang pikiran sehingga tidak sadar apa-apa dan tidak ingat apa yang dibaca imam. Ia berkata: saya hanya shalat dengan jasad saya sedangkan akal saya tidak shalat. Dengan alasan ini, maka ia pun meninggalkan shalat. Yaitu karena menurutnya, tidak ada shalat bagi orang yang lupa dalam shalatnya dan memiliki gangguan pikiran. Bahkan terganggu pikirannya dalam semua perkara. Dan ia sudah mengalami ini selama 16 tahun. Mohon berikan kami faedah tentang hal ini. Semoga Allah membalas kebaikan anda”.

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjawab:

إذا كان الحال كما ذكر، أنه فاقد لعقله فإنه لا صلاة على المذكور في الفترة التي يفقد فيها عقله، وإذا رجع إليه عقله فإنه يصلي في الفترة التي يصحو فيها على حسب قدرته؛ لقول الله عز وجل: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} وليس عليه شيء في الفترة التي يفقد فيها عقله؛ لأنه مرفوع عنه القلم فيها.

“Jika memang demikian keadaannya, bahwa tidak ada kewajiban shalat bagi ayah anda selama dalam masa ia kehilangan akalnya. Jika kesadarannya sudah kembali maka ia mengerjakan shalat selama dalam masa sadar akalnya, sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian”. Adapun shalat yang telah terlewat ketika ia kehilangan akalnya, maka tidak ada kewajiban apa-apa. Karena pena catatan amalan telah diangkat darinya ketika itu” (Fatawa Al-Lajnah edisi ke-2, 5/20).

Wallahu ta’ala a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 


Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.