Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengambil beberapa faedah dari ayat yang telah kita sebutkan pada kajian sebelumnya. Beliau berkata bahwa faedah-faedah dari firman Allah, “وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ“ (QS. Ali Imran [3]: 54) yang berarti “Mereka bermakar, dan Allah pun bermakar, dan Allah adalah sebaik-baik pembalas makar,” di antaranya adalah:
Faedah pertama, musuh-musuh para rasul akan terus melakukan tipu muslihat dan makar untuk mencelakakan para rasul. Tentunya, mereka juga akan terus bermakar terhadap para pengikut rasul. Ini adalah sesuatu yang pasti terjadi. Orang-orang yang berdakwah kepada tauhid, sunnah, dan yang haq tidak akan dibiarkan oleh mereka yang memusuhi Islam, terutama orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi, misalnya, mereka sadar bahwa kejayaan Islam terletak pada tauhid dan sunnah, maka mereka berusaha untuk memadamkan tauhid dan sunnah.
Kewajiban kita adalah menghadapi makar-makar mereka dengan cara yang telah Allah sebutkan dalam surah Ali Imran:
وَإِن تَصْبِرُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْـًٔا ۗ
“Jika kalian terus bersabar dan bertakwa, maka tipu daya mereka tidak akan membahayakan kalian sedikit pun.” (QS. Ali Imran [3]: 120).
Allah menjelaskan bahwa makar mereka tidak akan berbahaya selama kita terus bersabar, istiqamah di atas agama, dan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Namun, terkadang sebagian dari kita karena takut disebut radikal atau teroris, akhirnya meninggalkan sunnah. Padahal, kesabaran dalam berpegang pada sunnah adalah kunci untuk menghadapi tipu daya musuh-musuh Islam.
Faedah kedua, tidak boleh kita menyifatkan Allah dengan sifat makar secara mutlak. Hal ini karena jika disifatkan secara mutlak, maka maknanya akan menjadi kurang.
Namun, jika disebutkan bahwa Allah bermakar kepada orang yang bermakar terhadap wali-wali-Nya, maka sifat tersebut menjadi sempurna. Dengan demikian, sifat makar tersebut adalah tepat dalam konteks tersebut.
Sebagai perbandingan, sifat marah bagi Allah juga tidak boleh disifatkan secara mutlak. Kita tidak boleh mengatakan bahwa Allah adalah pemarah, karena ini menjadi sebuah kekurangan. Namun, kita boleh mengatakan bahwa Allah marah kepada orang yang berhak untuk dimarahi, sehingga sifat marah ini menjadi sempurna.
Faedah ketiga, kebolehan melakukan perbandingan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk dalam sifat. Allah berfirman: “Dan Allah adalah sebaik-baik pembuat makar” Di sini, Allah membandingkan makar-Nya dengan makar makhluk, menunjukkan bahwa makar Allah lebih baik dan lebih hebat. Adapun makar makhluk, sehebat apa pun, tetap lemah di hadapan makar Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, kewajiban kita adalah bertawakal kepada Allah karena makar-Nya lebih kuat dan lebih hebat. Serahkan semua urusan kepada Allah, sambil kita terus beristiqamah, berdakwah dan menyampaikan tauhid. Mereka yang hendak bermakar tidak akan mampu karena bagi Allah mudah untuk menghancurkan makar mereka.
Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan faedah-faedah lain dari firman Allah dalam Surah Al-Imran ayat 55: “Ingatlah ketika Allah berfirman: ‘Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu, mengangkatmu kepada-Ku, mensucikanmu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, lalu Aku akan memutuskan di antara kamu tentang apa yang selalu kamu perselisihkan.'” (QS. Al-Imran[3]: 55)
Faedah Pertama, peringatan bahwa manusia selayaknya diingatkan tentang keadaan para nabi terdahulu. Hal ini agar semakin mengenal dan mencintai para nabi. Allah mengisahkan tentang para nabi seperti Nabi Yusuf, Musa, Isa, dan Ibrahim dalam Al-Qur’an agar kita mengambil pelajaran dari kisah-kisah mereka.
Lihat: Kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam
Faedah Kedua, penetapan bahwa Allah disifati dengan berbicara. Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara yang terdengar. Dalam ayat ini, Allah berfirman kepada Isa, yang menunjukkan bahwa Allah berbicara dan pembicaraan-Nya terdengar. Keyakinan ini diselisihi oleh kaum Mu’tazilah dan Jahmiyah yang mengingkari sifat berbicara bagi Allah. Mereka menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk dan bukan firman Allah, karena mengingkari bahwa Allah berbicara.
Faedah Ketiga, bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa berbicaranya Allah itu disebut kalam nafsi, yaitu Allah berbicara tanpa suara. Pendapat ini tidak masuk akal, sebab berbicara tanpa suara tidak dapat disebut sebagai berbicara. Allah berbicara sesuai dengan kehendak-Nya, kapan dan dengan siapa pun yang Dia kehendaki.
Sumber : https://www.radiorodja.com/54382-menghadapi-makar-musuh-musuh-islam-tafsir-surah-ali-imran-54/
Tags : perang badar khalid basalamah,mendaras islam,surah albaqarah,quran speak,surah yusuf,corona dalam alquran disebutkan,hidup bersama quran,khazanah islam,tafsir al-mishbah,bersama kisah islami channel,tafsir al-mishbah 2007,kisah islami channel,channel kisah islami,kajian islam,ceramah islam,quran review,hubbul quran,islam itu indah,murrotal quran,quran recitation,cinta islam channel,bacaan quran merdu,kisah islam,kisah islami sahabat nabi
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.