Showing posts with label puasa batal. Show all posts
Showing posts with label puasa batal. Show all posts

Wednesday, February 9, 2022

Pembatal Puasa Kontemporer


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

https://chat.whatsapp.com/BNpY43aWZNUB6jgGXdxFfu ikhwan

Meneropong Lambung dengan Endoskopi

Untuk memeriksa keluhan pada lambung yang ditandai dengan nyeri pada ulu hati, kembung, mual dan muntah bisa dilakukan dengan teknik endoskopi. Alat yang digunakan dimasukkan lewat mulut, lalu menuju faring, sampai ke esophagus hingga ke lambung. Teknik ini bisa mengangkat daging (polip) di tenggorokan (esophagus) atau daging tumbuh (polip) pada lambung. Teknik ini pula bisa mengambil benda-benda yang tertelan seperti koin, gigi palsu, duri ikan, batu baterai (jam tangan), kancing, dll.

Endoskopi adalah pemeriksaan atau tindakan pengobatan ke dalam saluran pencernaan yang mempergunakan peralatan berupa teropong (endoskop). 

Tindakan endoskopi dapat dibedakan menjadi 3:

1. Gastroskopi (gastroscopy), digunakan untuk melihat dan mengetahui keadaan serta melakukan tindakan terapi dalam rongga saluran cerna bagian atas dari tenggorokan (esophagus), lambung (maag) sampai ke usus 12 jari (duodenum).

2. Kolonoskopi (colonoscopy), digunakan untuk melihat dan mengetahui keadaan serta tindakan terapi dalam rongga saluran cerna bagian bawah (usus besar) dan bagian akhir usus halus.

3. ERCP (endoscopic retrograde cholangio pancreatography), yaitu pemeriksaan untuk melihat kelainan dan tindakan terapi di dalam saluran empedu dan pankreas. (Sumber bacaan: mitrakeluarga.com)

Meninjau Apakah Setiap yang Masuk dalam Perut Membatalkan Puasa?

Sebelum melihat lebih jauh apakah teknik endoskopi bisa membatalkan puasa ataukah tidak, maka perlu dikaji lebih dulu apakah sesuatu yang masuk ke dalam lambung otomatis membatalkan puasa ataukah dipersyaratkan yang masuk adalah makanan. Para ulama dalam masalah ini berselisih pendapat. Sebab perselisihan yang ada mengenai qiyas makanan dengan selain makanan. Yang dapat dipahami secara tekstual dari dalil hanyalah masuknya makanan ke dalam perut yang bisa membatalkan puasa. Jika dilogikakan (ma’qul), maka tidak bisa diqiyaskan makanan tadi dengan selain makanan. Namun jika ada yang menganggap bahwa pembahasan ini tidak bisa dilogikakan (ghoiru ma’qul), maka yang dimaksud larangan makan ketika puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang masuk ke dalam tubuh baik yang masuk berupa makanan atau benda lainnya. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Dari penjelasan di atas, untuk permasalahan ini intinya ada dua pendapat ulama:

Pendapat pertama: Mayoritas ulama terdahulu dan saat ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam perut membatalkan puasa walaupun yang masuk bukan berupa makanan, tidak bisa larut dan tidak bisa mencair.  Seandainya ada sepotong besi atau batu masuk dengan sengaja ke dalam tubuh, maka puasanya batal. Demikian pendapat madzhab Abu Hanifah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.

Alasan mereka:

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghindari celak mata yang bisa masuk melalui mata hingga kerongkongan. Padahal celak mata bukanlah makanan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak disyaratkan yang masuk ke dalam tubuh berupa makanan yang dianggap sebagai pembatal puasa.

Sanggahan:

Hadits yang membicarakan masalah celak sebagai pembatal puasa adalah hadits dho’if (lemah).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah (di antaranya) celak mata tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana ajaran Islam lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 234)

2. Puasa adalah menahan diri (imsak) dari memasukkan segala sesuatu ke dalam tubuh. Jika seseorang memasukkan non makanan, itu berarti tidak menahan diri (imsak). Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa orang yang makan tanah atau batu tetap disebut makan.

Sanggahan:

Padahal penyebutan makan disebutkan oleh mayoritas pakar bahasa dikaitkan dengan makanan seperti dalam Lisanul ‘Arob disebutkan,

أكلت الطعام أكلاً ومأكلاً

“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”

Ar Romaani dalam Al Mishbahul Munir berkata,

الأكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه، فبلع الحصاة ليس بأكل حقيقةً

“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”

Dalam Al Mufrodhaat Al Ashfahani disebutkan,

الأكل تناول المطعم

“Makan adalah mencerna makanan.”

Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Puasa itu meninggalkan makanan  dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903).

3. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata,

إنما الفطر مما دخل وليس مما خرج

“Pembatal puasa adalah segala sesuatu yang masuk dan bukan yang keluar.” (HR. Al Baihaqi dan dihasankan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 327).

Sanggahan:

Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa mengenai hal ini terdapat khilaf (perselisihan pendapat) apakah setiap yang masuk ke dalam tubuh itu membatalkan puasa atau hanyalah dikhususkan makanan. Lagi pula tidak setiap yang keluar itu tidak membatalkan puasa. Buktinya saja, darah haid jika keluar dan muntah dengan sengaja membatalkan puasa padahal itu adalah sesuatu yang keluar. Sehingga perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebenarnya tidak bisa jadi dalil pendukung.

Pendapat kedua: Yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman. Pendapat ini dipilih oleh Al Hasan bin Sholih, sebagian ulama Malikiyah dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang kuat, puasa tidaklah batal dengan menggunakan celak mata, injeksi pada saluran kemaluan dan tidak batal pula dengan memasukkan sesuatu yang bukan makanan.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 528)

Alasan mereka:

1. Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefiniskan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah ma’ruf”.

2. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekedar memasukkan sesuatu ke perut. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak. ” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 245). Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.

Pendapat Terkuat

Pendapat yang lebih mendekati dalil adalah pendapat kedua. Namun karena memperhatikan khilaf (muro’atul khilaf), pendapat pertama yang lebih hati-hati dipilih.

Kembali ke permasalahan alat endoskopi yang dimasukkan ke dalam lambung. Jika kita melihat pendapat pertama bahwa segala yang dimasukkan ke dalam tubuh baik berupa makanan atau non makanan membatalkan puasa, maka demikian pula yang berlaku dengan alat endoskopi. Inilah yang jadi pilihan para imam madzhab selain Hanafiyah. Hanafiyah mensyaratkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam tubuh itu keseluruhan bendanya. Seandainya masih ada yang tersisa di luar, maka tidak membatalkan puasa. Sehingga menurut pendapat ulama Hanafiyah menggunakan alat endoskopi ini tidak membatalkan puasa. Namun ulama madzhab lainnya membatalkan puasa.

Jika yang menjadi pilihan adalah pendapat kedua sebagaimana menjadi pilihan Ibnu Taimiyah, yaitu yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut adalah makanan, maka jelas alat endoskopi yang masuk ke lambung tidak membatalkan puasa. Karena alat endoskopi adalah benda padat (non makanan). Pendapat yang menyatakan teknik endoskopi tidak membatalkan puasa menjadi pilihan Syaikh Muhammad Bakhit (mufti Mesir) dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.

Pendapat yang menyatakan bahwa dimasukkannya alat endoskopi ini tidak membatalkan puasa, itulah yang lebih tepat. Karena cara kerja alat ini tidak disebut makan secara bahasa dan secara ‘urf. Alat tersebut dimasukkan untuk tujuan diagnosa (pemeriksaan), tidak lebih dari itu.

Peringatan: Jika dokter memasukkan pada alat endoskopi ini suatu zat seperti minyak supaya memperlicin dan mempermudah masuknya alat ke dalam tubuh, maka saat ini puasanya batal (tanpa ragu lagi) karena ada zat yang masuk dan batalnya bukan karena sebab alat tadi.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

(*) Pembahasan ini dikembangkan dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al Qoshim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh” berupa soft file.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Sya’ban 1433 H

www.rumaysho.com

Friday, May 10, 2019

PEMBATAL PUASA DAN PEMBATAL PAHALA PUASA

بسم الله الرحمن الرحيم 
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله و على آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة أما بعد


Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Alhamdulillāh, kita masih diberi kemudahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla untuk mempelajari agama-Nya. 

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Dalam sebuah perlombaan pasti di sana ada sebuah peraturan yang berkaitan dengan diskualifikasi atau peraturan dimana seorang peserta lomba dianggap telah melanggar peraturan sehingga dia harus dikeluarkan. 

Ini dalam perlombaan. 

Ternyata dalam puasa seorang bisa saja didiskualifikasi atau dianggap tidak berpuasa, kapan hal tersebut terjadi? 

⑴ Ketika seorang tidak ada niat untuk berpuasa pada malam harinya. 

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

"Siapa yang belum berniat puasa di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya."

(Hadīts Shahīh An Nassā'i nomor 2333, Ibnu Mājah nomor 1700 dan Abū Dāwūd nomor 2454)

⑵ Ketika dia melakukan pembatal puasa (misalkan makan, minum, berhubungan badan atau yang lainnya) dengan syarat dilakukan karena sengaja dan atas kemauan sendiri. 

Jikalau karena lupa maka hak tersebut tidak membatalkan puasa. 

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ

"Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allāh yang memberi ia makan dan minum."

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 1933 dan Muslim nomor 1155)

Ini terkait diskualifikasi secara sempurna dimana seorang dianggap tidak berpuasa. 

Di sana ada diskualifikasi secara pahala dimana seorang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan pahala puasa, sebagaimana kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالْعَطَشُ

"Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata).”

(Hadīts shahīh riwayat Ibnu Mājah 1/539, Darimi 2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270)

Tentu kalau ini terjadi dengan seorang karyawan yang sudah bekerja namun dia tidak mendapatkan gajinya. Sudah protes tentunya, karyawannya sudah sangat sedih sekali, kenapa koq tidak digaji. 

Tapi ini berkaitan dengan pahala yang kita akan dapatkan ketika kita sudah meninggal dunia. 

Nah, kenapa koq orang ini tidak diberikan pahala? Pahalanya didiskualifikasi?

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلُ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ عَزَّوَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allāh Azza wa Jalla butuh meninggalkan makan dan minumnya."

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 4/99)

Coba kita bayangkan hal ini, jikalau kita adalah seorang karyawan kemudian kita bekerja dengan baik tapi ada satu kesalahan yang kita perbuat. Kemudian saat itu direktur kita marah besar dengan kita. 

Kemudian mengatakan, "Saya tidak butuh lagi dengan pekerjaanmu."

Bagaimana rasanya? 

Kita tentu akan sangat sedih sekali, jikalau ini terjadi antara seorang manusia dengan manusia yang lainnya, antara seorang direktur atau seorang bos dengan karywannya, bagaimana rasanya jikalau ini terjadi antara seorang hamba dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang mana Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah Dzat yang Maha Rahman Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tentu rasanya sangat sedih sekali seorang yang melakukan atau mendapatkan perlakuan seperti ini.

Oleh karena itu, dahulu Jābir bin Abdillāh pernah memberikan sebuah nasehat:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَآثِمِ ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ ، وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ ، وَلا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَصَوْمِكَ سَوَاءً " .

"Jikalau engkau sedang berpuasa, maka puasakan juga pendengaranmu, begitu juga penglihatanmu dan lisanmu dari perbuatan dusta dan perbuatan dosa lainnya. Dan kalau punya pembantu kemudian pembantunya melakukan kesalahan, maka tinggalkan dulu kesalahannya (tidak usah jengkel atau marah kepadanya), dan milikilah ketenangan jiwa dan miliki juga ketenangan raga ketika hari berpuasa dan jangan engkau jadikan antara hari dimana engkau tidak berpuasa dan hari dimana engkau berpuasa itu sama."

Inilah nasehat Jābir bin Abdillāh kepada kita semua untuk berpuasa atau mempuasakan anggota badan kita yang lainnya dan untuk memiliki ketenangan jiwa dan raga saat berpuasa serta tidak menjadikan hari saat kita berpuasa dan hari dimana kita tidak berpuasa itu sama. Jangan sampai sama

Inilah nasehat Jābir bin Abdillāh radhiyallāhu ta'āla 'anhu dalam Mushanat Ibnu Abī Syaibah. 

Semoga bermanfaat dan semoga kita tidak menjadi seorang yang puasa kita didiskualifikasi secara sempurna oleh Allāh atau pun didiskualifikasi secara pahala oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, jangan sampe dua-duanya. Na'ūdzubillāhi min dzālik 

Semoga bermanfaat

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb 

وصلى الله على نبينا محمد

Hikmah Berqurban