Skip to main content

Orang Pingsan Harus Qadha Shalat

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

Apabila kalian ketiduran atau kelupaan hingga tidak shalat, hendaknya dia kerjakan shalat itu ketika dia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya), ‘Tegakkanlah shalat ketika mengingat-Ku.’ (HR. Ahmad 13247, Muslim 1601, dan yang lainnya).

Selanjutnya, ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum bagi orang yang pingsan, berkaitan dengan kewajiban mengqadha shalatnya,

Pertama, Hanafiyah menyatakan, jika pingsannya melebihi sehari semalam, tidak wajib qadha. Sebaliknya, jika kurang dari sehari semalam, wajib qadha. Orang yang pingsan kurang dari sehari semalam, disamakan dengan orang yang tidur. Dia tidak berdosa meninggalkan shalat selama pingsan, namun wajib qadha.

Dalam  kitab Multaqa al-Abhur dinyatakan,

ومن أغميَّ عليه أو جن يوماً وليلة قضى ما فات وإن زاد ساعة لا يقضي وعند محمد يقضي ما لم يدخل وقت سادسة

Orang yang pingsan atau tidak sadar sehari semalam, wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan. Jika pingsannya lebih dari itu, sekalipun hanya lebih 1 jam, tidak wajib mengqadha shalat. Namun menurut Muhammad bin Hasan (murid senior Abu Hanifah), orang pingsan wajib qadha shalat, selama belum masuk waktu shalat keenam. (Multaqa al-Abhur, 1/231).

Yang dimaksud sebelum waktu shalat keenam adalah pingsan selama lebih dari 24 jam, sehingga meninggalkan 5 waktu shalat, namun dia sadar sebelum masuk waktu shalat berikutnya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, orang yang pingsan sama sekali tidak wajib mengqadha shalatnya, berapapun jeda waktunnya. Orang yang pingsan disamakan dengan orang yang hilang akal. Sementara orang yang hilang akal, tidak terkena kewajiban syariat. Dalilnya adalah hadis A’isyah di atas.

Ibnu Abdil Bar (w. 463 H) mengatakan,

ولا يقضي المغمى شيئا من الصلوات لأنه ذاهب العقل ومن ذهب عقله عليه في وقت صلاة يدرك منها ركعة لزمه فليس بمخاطب فإن افاق المغمى عليه في وقت صلاة يدرك منها ركعه لزمه قضاءها

Orang yang pingsan, tidak wajib mengqadha shalatnya. karena dia hilang akal. Orang yang hilang akal, selama rentang waktu shalat, berarti dia tidak terkena kewajiban shalat. Jika orang yang pingsan sadar, bisa menyusul satu rakaat sebelum waktu shalat berakhir, dia wajib mengqadhanya. (al-Kafi fi Fiqh Ahli al-Madinah, 1/237).

Ketiga, Syafiiyah sependapat dengan Malikiyah, orang yang pingsan tidak wajib qadha shalat, seberapapun lama dia pingsan.

An-Nawawi mengatakan,

من زال عقله بسبب غير محرم كمن جن أو أغمى عليه أو زال عقله بمرض أو بشرب دواء لحاجة أو اكره علي شرب مسكر فزال عقله فلا صلاة عليه وإذا أفاق فلا قضاء عليه بلا خلاف للحديث سواء قل زمن الجنون والاغماء ام كثر هذا مذهبنا

Orang yang kehilangan akal dengan sebab yang tidak terlarang, seperti orang yang pingsan atau tidak sadar, baik disebabkan sakit atau karena minum obat yang dibutuhkan, atau dipaksa minum khamr, hingga mabuk, maka tidak ada kewajiban shalat baginya. Jika dia sadar, tidak ada kewajiban qadha tanpa ada perbedaan pendapat – di kalangan ulama madzhab – berdasarkan hadis (Aisyah) di atas. Baik pingsannya itu sebentar maupun lama. Inilah madzhab kami (Syafiiyah). (al-Majmu’, 3/6).

Keempat, dalam madzhab hambali, orang yang pingsan wajib qadha, seberapapun lama pingsannya. Analogi orang yang pingsan itu lebih dekat kepada orang tidur dari pada orang gila. Sehingga orang pingsan dihukumi sebagaimana orang tidur. Sementara ditegaskan dalam hadis Anas bin Malik, orang yang tidur wajib mengqadha shalatnya,

Dalam kitab al-Inshaf dinyatakan,

وأما المغمى عليه فالصحيح من المذهب: وجوبها عليه مطلقا نص عليه في رواية صالح وبن منصور وأبي طالب وبكر بن محمد كالنائم وعليه جماهير الأصحاب

Orang yang pingsan, pendapat yang kuat dalam madzhab hambali, wajib mengqadhanya secara mutlak. Ditegaskan Imam Ahmad menurut riwayat Sholeh, Ibnu Manshur, Abu Thalib, dan Bakr bin Muhammad, sebagaimana orang tidur. Ini merupakan pendapat mayoritas madzhab hambali.

Lebih lanjut, dalam itu dinyatakan,

وأما إذا زال عقله بشرب دواء يعني مباحا فالصحيح من المذهب: وجوب الصلاة عليه وعليه جماهير الأصحاب

Ketika orang tidak sadar, karena minum obat yang hukumnya mubah, pendapat yang kuat dalam madzhab hambali, wajibnya qadha shalat. Dan ini pendapat mayoritas ulama hambali. (al-Inshaf, 1/277).

Pemilihan Pendapat yang Lebih Kuat

Dari keterangan di atas, ada 3 keadaan manusia,

Gila: tidak ada beban syariat (bukan mukallaf) dan tidak memiliki niat. Sehingga amalnya tidak sah dan jika sadar tidak ada kewajiban qadha.

Tidur: ada beban syariat, karena masih mukallaf. Hanya saja, selama tidur, tidak ada kewajiban baginya. Ketika bangun, dia wajib mengganti ibadah wajib yang dia tinggalkan.

Pingsan: kondisi ketiga ini tidak disebutkan dalam dalil. Sehingga ulama mengqiyaskan kepada dua kondisi di atas. Antara gila yang hilang akal dan tidur yang belum hilang akal. Dan pendapat yang mendekati, pingsan lebih dekat dengan kondisi tidur. Karena orang yang pingsan, tidak kita sebut hilang akal. Sehingga tidak bisa dianalogikan dengan orang gila. Sehingga dia lebih tepat digolongkan dengan orang tidur.

Karena itulah, orang yang pingsan, berkewajiban mengqadha’ semua shalat yang dia tinggalkan, setelah dia sadar.

Demikian, Allahu a’lam

Comments

Popular posts from this blog

Islam Bukan Agama Prasmanan

Bismillah Islam Bukan Agama Prasmanan Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA Prasmanan, adalah sebuah istilah yang tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja.  Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal. Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Lantas mengapa artikel ini berjudulkan, “Islam bukan agama prasmanan ?" Jawabannya karena sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan. Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْك

TINGGINYA RASA TAKUT KEPADA ALLAH TA’ALA

Bismillah Gambaran betapa tingginya rasa takut kepada Allah ta’ala.. padahal keadaan agamanya sangat istimewa. Diceritakan oleh Imam Bukhari rahimahullah : “Suatu ketika Hammad bin Salamah menjenguk Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama besar ahli hadits dari generasi tabi’ut tabi’in, wafat 97 H) saat beliau sakit.. Maka Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Wahai Abu Salamah (kun-yah Hammad), apakah Allah MAU MENGAMPUNI orang sepertiku..?” Maka Hammad mengatakan : “Demi Allah, jika aku diminta memilih antara dihisab oleh Allah dengan dihisab oleh kedua orangtuaku, tentu aku memilih dihisab oleh Allah daripada dihisab oleh kedua orang tuaku, karena Allah ta’ala lebih sayang kepadaku daripada kedua orang tuaku..!” [Hilyatul Auliya’ 6/251] Pelajaran berharga dari kisah ini : 1. Sebaik apapun agama kita, kita harus tetap takut kepada Allah. 2. Takut kepada Allah adalah tanda baiknya seseorang. 3. Pentingnya teman yang shalih dan manfaatnya yang sangat besar bagi kita. 4. Pentingnya menyeimbangkan an

Biografi Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah

BIOGRAFI ASATIDZAH SUNNAH INDONESIA🇲🇨 Ustadz Riyadh bin badr Bajrey, Lc Hafizhahullah Beliau hafizhahullah adalah Ustadz bermanhaj salaf asal Jogyakarta... Lulusan Fakultas Ushuluddin jurusan hadits Universitas Al Azhar Cairo Mesir Beliau mengisi kajian sunnah rutin kitab aqidah, manhaj, akhlak, hadits di beberapa masjid , tv dan radio sunnah, di beberapa wilayah diindonesia. Materi dakwahnya yg tegas menyampaikan aqidah, tentang bahaya  syirik, bid'ah, khurafat yg menjamur di tanah air, tentu banyak sekali para penentang yg memfitnah , membuli beliau sebagaimana kepada asatidz sunnah lainnya. Karena hanya dakwah salaf yang konsisten menyerukan umat kepada kemurnian islam, kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah yang difahami salafush sholih.