Jika demikian, maka iman tersebut bisa saja bertambah dan berkurang. Hal ini karena keyakinan dengan hati itu bertingkat-tingkat (tidak sama). Keyakinan yang didasarkan atas berita (khabar) itu tidak sama dengan keyakinan karena melihat secara langsung dengan mata kepala. Demikian pula, keyakinan karena berita satu orang itu tidak sama dengan keyakinan karena berita dua orang. Dan demikian seterusnya.
Oleh karena itu, Nabi Ibrahim ‘Alahis salaam berkata,
رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِـي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن قَالَ بَلَى وَلَـكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah berfirman, ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab, ‘Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).(QS. Al-Baqarah: 260).
Maka, iman itu bertambah dari sisi keyakinan dan kemantapan dari dalam hati. Seseorang bisa mendapati kondisi itu dari dirinya sendiri. Ketika seseorang menghadiri mejelis ilmu, disebutkan di dalamnya nasihat-nasihat, (disebutkan pula) surga, dan neraka, maka bertambahlah imannya. Sampai-sampai seolah-olah dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dan ketika dia lalai, sehingga tidak menghadiri majelis ilmu tersebut, maka berkuranglah keyakinan tersebut dari dalam hatinya.
Demikian pula, iman bertambah dari sisi ucapan lisan. Siapa saja yang berzikir menyebut nama Allah Ta’ala sepuluh kali, itu tidak sama dengan yang menyebut seratus kali. Maka yang kedua itu bertambah dengan berlipat-lipat (keimanannya). Demikian pula, orang yang mendirikan suatu ibadah dalam bentuk yang sempurna itu keimanannya lebih tinggi daripada orang yang mendirikan ibadah dalam bentuk yang tidak sempurna.
Demikian pula amal perbuatan. Ketika seseorang beramal dengan anggota badannya lebih banyak dari orang lain, maka imannya lebih tinggi daripada orang yang lebih sedikit beramal. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu tentang bertambah dan berkurangnya iman.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَاناً
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya” (QS. Al-Muddatsir: 31).
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَـذِهِ إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُواْ وَهُمْ كَافِرُونَ
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS. At-Taubah: 124-125).
Dalam hadis yang sahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
Dan aku tidak pernah melihat dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya selain kalian” (HR. Bukhari no. 304).
Sebab pertama, mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (ma’rifatullah). Setiap kali pengenalan terhadap nama dan sifat Allah bertambah, maka akan bertambah pula keimanannya tanpa diragukan lagi. Oleh karena itu, engkau jumpai para ulama yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah yang tidak diketahui oleh selain mereka, keimanan mereka lebih tinggi dari orang lain dari sisi ini.
Sebab kedua, merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyyah. Seseorang yang merenungkan ayat kauni, yaitu makhluk ciptaan Allah Ta’ala, maka keimanannya akan bertambah. Allah Ta’ala berfirman,
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21).
Ayat-ayat yang menunjukkan hal ini sangat banyak. Maksudnya, ayat-ayat yang menunjukkan bahwa jika manusia merenungkan dan memperhatikan ayat-ayat kauniyah, maka bartambahlah keimanannya.
Sebab ketiga, banyaknya ketaatan. Setiap kali seseorang memperbanyak ketaatan, maka bertambahlah imannya, baik ketaatan itu berupa ucapan ataupun perbuatan. Zikir bisa menambah kualitas dan kuantitas iman, demikian pula salat, puasa, haji.
Sebab pertama, kebodohan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala akan menyebabkan berkurangnya iman. Hal ini karena seseorang yang berkurang pengenalan (pengetahuannya) terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala, maka akan berkurang pula imannya.
Sebab kedua, berpaling dari merenungi ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun syar’iyyah. Hal ini merupakan sebab berkurangnya iman, atau minimal iman tersebut stagnan (statis) dan tidak bertambah.
Sebab ketiga, mengerjakan maksiat. Maksiat itu memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan juga iman. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Seorang pezina tidak sempurna imannya ketika sedang berzina” (HR. Bukhari no. 2475 dan Muslim no. 57).
Sebab keempat, meninggalkan ketaatan. Meninggalkan ketaatan merupakan sebab berkurangnya iman. Akan tetapi, jika ketaatan tersebut adalah perkara wajib dan dia meninggalkan tanpa uzur, maka imannya berkurang, dia pun dicela dan berhak mendapatkan hukuman. Jika ketaatan tersebut tidak wajib, atau wajib namun dia meninggalkan karena uzur (syar’i), maka imannya berkurang, namun tidak dicela. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut para wanita sebagai orang yang kurang akal dan agamanya. Beliau memberikan alasan kurangnya agama wanita karena jika mereka haid, mereka tidak salat dan tidak puasa. Padahal, mereka tidaklah dicela karena meninggalkan salat dan puasa ketika haid, bahkan hal itu diperintahkan. Akan tetapi, ketika mereka terlewat dari mengerjakan ibadah yang dikerjakan oleh kaum lelaki, maka di situlah sisi berkurangnya agama mereka.
Artikel: Muslim.or.id
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.