Di tengah keluarga, berdasarkan pandangan syariat, seorang suami atau ayah (bila telah memiliki anak) menanggung amanah besar dengan memegang peran besar dan strategis sebagai pemimpin dalam masyarakat kecil yang dikenal dengan Rumah Tangga.
Tentang posisi lelaki sebagai kepala rumah tangga, Allâh berfirman:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS an-Nisâ`/4:34)
Pada ayat di atas lelaki berpredikat sebagai qawwâm. Syaikh Abu Bakr al-Jazâiri hafizhahullâh dalam Tafsirnya, Aisaru at-Tafâsîr menyimpulkan bahwa tanggung-jawab yang diemban oleh kepala rumah tangga sebagai qawwâm terlukis dalam bentuk ri’âyah (memberi perhatian dan mengurus), himâyah (memberi perlindungan) dan ishlâh (melakukan perbaikan).
Maka, bertolak dari tiga uraian tugas kepala rumah tangga, maka sepatutnya sifat kepemimpinan luhur melekat pada kepala rumah tangga, di antaranya, seperti bermoral tinggi sehingga pantas ditiru, bersifat bijaksana, bertanggung-jawab, sabar, menjadi pengayom, dan menguasai emosi, serta mampu mempengaruhi dan meyakinkan dan menjalankan kewajiban sebagai kepala rumah tangga sebaik-baiknya.
Di tengah masyarakat umumnya, seorang suami (kepala rumah tangga) mengambil peran sentral dalam mencarikan nafkah dan penghidupan bagi seluruh anggota keluarganya.
Dia lah yang bertanggung-jawab dalam urusan tersebut. Dan sepertinya, seluruh masyarakat memandang demikian. Bila ada seorang lelaki berkeluarga, namun ia malas bekerja menafkahi keluarga, menganggur tidak berpenghasilan, atau justru sibuk dengan kesenangan pribadinya, maka masyarakat akan memandang miring terhadap yang bersangkutan.
Imam Ibnul Qayyim (wafat tahun 751H) rahimahullah menyatakan bahwa sudah menjadi satu ijma’ Ulama bahwa suamilah yang bertanggung-jawab memberi nafkah kepada anak-anak, bukan istrinya. (Zâdul Ma’âd 5/448).
Apakah tugas suami berhenti pada titik ini saja? Aspek lain yang sebenarnya tidak boleh diabaikan oleh seorang kepala rumah tangga ialah memberikan perhatian terhadap pemahaman dan pengamalan anggota keluarga dalam masalah-masalah agama mereka.
Dua hal di atas, bertanggung-jawab atas nafkah keluarga dan memperhatikan urusan agama mereka, tercakup dalam pengertian sifat qawwâm yang melekat pada seorang lelaki yang tertera pada ayat di atas.
Ingat! : "Tidak ada kepala keluarga yang berkeluh-kesah dan kesal terhadap tanggung-jawabnya mengurus istri dan anak-anaknya kecuali orang yang mahrûm (terhalangi dari kebaikan)." (al-Manhaju asy-Syar’i fî Muwâjahati al-Fitani, Mirfat binti Kâmil ‘Abdullâh, pengantar, DR. Hamd bin Nâshir al-‘Ammâr hlm.89)
Tanggung-jawab pembinaan aqidah yang lurus, akhlak yang mulia, ibadah yang benar & urusan-urusan agama lainnya agar keluarga melaksanakan ajaran agama Islam dengan baik pertama-tama berada di atas pundak sang kepala rumah tangga.
Kepala rumah tangga yang memperhatikan & menjalankannya, dialah kepala rumah tangga yang baik dan ia telah berbuat amal shalih yang mendatangkan pahala baginya.
Sebaliknya, bila mengabaikannya, maka dia seorang sosok kepala rumah tangga yang perlu diingatkan.
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.