Monday, September 26, 2022
Cinta Sahabat Nabi
Wednesday, September 21, 2022
Keutamaan Shahabat Diatas Manusia Lainnya
Friday, January 28, 2022
Sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy’ari
Kisah Para Sahabat Nabi Muhammadﷺ
Membela Sahabat Nabi, Abu Musa al-Asy’ari
Di antara cobaan bagi umat Islam akhir zaman adalah dikaburkannya sosok-sosok teladan mereka. Figur yang mestinya mereka teladani dirusak image-nya. Wibawa mereka dinista. Sehingga umat Islam bingung, siapa yang harus mereka teladani. Umat Islam tidak lagi percaya kepada tokoh-tokoh agama yang selayaknya mereka kagumi. Di antara orang-orang yang dirusak figurnya adalah sahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Ia adalah salah seorang tokoh dan ulama di kalangan para sahabat.
Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah radhiallahu ‘anhuma, Ali mengangkat Abu Musa sebagai juru rundingnya, karena ia seorang yang netral. Tidak memihak Ali dan tidak pula Muawiyah. Sedangkan Muawiyah mengangkat Amr bin al-Ash. Hasil perundingan seolah-olah pihak Muawiyah yang diuntungkan. Kemudian orang-orang yang di hati terdapat penyakit menuduh Amr sebagai seorang yang licik. Dan Abu Musa sebagai seorang yang lemah dan pendek akalnya, wa ‘iyadzubillah.
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengenal bagaimana sosok Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu di mata Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Agar kita dapat menilai sosok sahabat yang mulia ini dengan adil. Tanpa pengaruh pengikut hawa nafsu.
Mengenal Abu Musa
Rasulullah ﷺ memujinya,
يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُعْطِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ
“Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah dikaruniai suatu suara yang indah dari keluarga Daud.” (HR. At Tirmidzi dalam Sunannya V/693, menurut At Tirmidzi hadits ini hasan shahih).
Namanya adalah Abdullah bin Qays. Akan tetapi ia lebih dikenal dengan kun-yahnya, Abu Musa al-Asy’ari. Ibunya adalah seorang wanita Mekah yang bernama Zhabiyyah binti Wahb. Ibunya memeluk Islam dan wafat di Madinah.
Untuk ukuran orang kaukasia, Abu Musa adalah seorang laki-laki Arab yang pendek. Badannya kurus dan janggutnya tidak lebat. Ia meninggalkan kampung halamannya, Yaman, karena mendengar tentang seorang Rasul yang mendakwahkan tauhid di Kota Mekah. Setelah pindah ke kota suci itu, Abu Musa radhiallahu ‘anhu duduk di majelis Rasulullah ﷺ. Ia mendengar kalam petunjuk dan ilmu keimanan. Beberapa waktu tinggal di Mekah, kemudian ia kembali ke Yaman untuk mendakwahi masyarakat kampung halamannya.
Berlayar Menuju Habasyah
Di Yaman, Abu Musa al-Asy’ari berhasil mendakwahi beberapa orang dari kaumnya. Abu Musa al-Asy’ari bercerita, “Saat di Yaman, kami mendengar Rasulullah ﷺ keluar (dari Mekah). Kami pun berhijrah untuk bertemu dengannya. Aku, dua orang kakakku, Abu Burdah dan Abu Ruhm, beserta 50-an orang dari kaumku menaiki perahu. Kami berangkat menuju Habasyah. Di sana, kami berjumpa dengan Ja’far bin Abu Thalib dan sahabat-sahabatnya, radhiallahu ‘anhum. Ja’far mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah mengutus dan memerintah kami untuk tinggal (di Habasyah). Tinggallah kalian bersama kami’. Kami pun tinggal di sana bersamanya.” (Riwayat Imam Muslim dalam Kitab Fadha-il ash-Shahabah bab Fadha-il Ja’far bin Abi Thalib wa Asma binti Umais wa Ahlu as-Safinatuhum, No. 2503).
Tiba di Madinah
Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabatnya,
يُقَدِّمُ عَلَيْكُمْ غَدًا قَوْمٌ هُمْ أَرَقُّ قُلُوْبًا لِلْإِسْلَامِ مِنْكُمْ
“Besok, akan datang kepada kalian kaum yang hatinya lebih lembut dari kalian dalam menerima Islam.” (HR. Ahmad 3369).
Keesokan harinya datanglah kabilah al-Asy’ari. Di antara mereka ada Abu Musa. Saat sekelompok orang dari kabilah ini tengah dekat Kota Madinah, mereka bersyair:
غَدًا نَلْقَى الأَحِبَّـةَ، مُحَمَّـدًا وَحِزْبَهُ
Esok kita bertemu dengan para kekasih
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Setibanya di Madinah, mereka bersalam-salaman. Ada yang mengatakan inilah pertama kalinya tradisi salam-salaman dilakukan saat pertama berjumpa. Inilah budaya Arab, tradisinya kabilah al-Asy’ari. Mereka terbiasa bersalaman saat pertama berjumpa. Orang-orang Romawi yang mempengaruhi Eropa dan sebagian wilayah Asia tidak melakukan hal ini. Sedangkan Persia, mereka bersujud ketika bertemu rajanya. Tradisi salam-salaman ini pun dilanggengkan dalam syariat Islam.
Kedatangan Kabilah al-Asy’ari berbarengan dengan kedatangan Ja’far dan peritiwa penaklukkan benteng Khaibar. Nabi menjamu makan mereka. Jamuan itu dikenal dengan Tha’matu al-Asy’ariyyin. Abu Musa mengatakan, “Kami bertemu Rasulullah bersamaan dengan penaklukkan Khaibar. Beliau memberi kami (ghanimah). Hal itu tidak beliau lakukan kepada siapapun yang tidak turut penaklukkan Khaibar kecuali orang-orang yang berlayar di kapal menuju Madinah bersama Ja’far dan sahabatnya. Mereka mendapat bagian juga seperti kami”. (Riwayat al-Bukhari dalam Kitab al-Maghazi Bab Ghazwatu Khaibar, No: 3992).
Kedudukan Abu Musa al-Asy’ari
Melihat sambutan Rasulullah ﷺ terhadap Kabilah al-Asy’ari, terutama tokoh mereka yakni Abu Musa, tahulah para sahabat kedudukannya di kalangan kaum mukminin. Secara pribadi, Abu Musa sendiri adalah seorang yang fakih, bijak, dan cerdas. Sehingga memang selayaknya ia dihargai.
Di masa berikutnya, Abu Musa menjadi ulama di kalangan para sahabat. Ia berfatwa dan memutuskan perkara. Rasulullah ﷺ mengangkatnya sebagai pemimpin di sebagian wilayah Yaman, Zabid, dan Adn. Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu menjadikannya pemimpin di Bashrah. Dan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu mempercayakan wilayah Kufah padanya.
Rasa cinta dan kasih Rasulullah ﷺ kepada Abu Musa, beliau tunjukkan saat mendoakannya ampunan dan masuk ke dalam surga.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ ذَنْبَهُ، وَأَدْخِلْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مَدْخَلًا كَرِيْمًا
“Ya Allah, ampunila dosa Abdullah bin Qays (Abu Musa). Masukannlah ia pada hari kiamat di tempat yang terpuji.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Asy-Sya’bi mengatakan, “Hakimnya umat ini ada empat orang: Amr (bin al-Ash), Ali (bin Abi Thalib), Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit.” (Tarikh Dimasyq No.31996). Maksudnya adalah orang-orang yang bijaksana keputusannya. Jika memutuskan suatu perkara, hasilnya bisa diterima, tepat, dan benar.
Asy-Sya’bi juga mengatakan, “Ahli fikih dari kalangan sahabat Muhammad ﷺ ada enam orang: Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Zaid, Abu Musa, dan Ubay bin Ka’ab.” (Tarikh Dimasyq No.31996).
Hasan al-Bashri mengatakan, “Tidak ada seorang pengendara kuda yang datang ke Kota Bashrah, yang lebih baik dari Abu Musa al-Asy’ari.” (Siyar A’alam an-Nubala, Jilid II, Hal: 389).
Abu Musa dan Alquran
Abu Musa radhiallahu ‘anhu adalah seorang ahlul Quran. Ia menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Jika ia membaca Alquran, suaranya begitu syahdu dan meresap ke jiwa. Seakan ruh di dalam badan beristirahat dengan tenang.
Suatu malam, Rasulullah ﷺ mendengar Abu Musa radhiallahu ‘anhu melantukan ayat suci Alquran. Beliau ﷺ takjub dengan keindahannya. Rasulullah ﷺ menggambarkan keindahan suara Abu Musa ketika membaca Alquran dengan sabdanya,
يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ
“Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mungkin ada yang bertanya, Apa yang dimaksud dengan seruling keluarga Daud? Apakah keluarga Daud memainkan alat musik seruling? Dan suara seruling itu seperti suara Abu Musa?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna hadits ini. “Daud ‘alaihissalam diberi wahyu oleh Allah berupa az-Zabur. Nabi Daud melagukan bacaannya. Beliau memiliki suara yang indah sampai-sampai gunung-gunung dan burung-burung bertasbih bersamanya. Mereka berbaris menikmati indahnya bacaan beliau ketika membaca az-Zabur. Inilah makna sabda beliau.” (Fatawa Nur ala Darb, asy-Syarith Raqm: 341).
Anda bisa bayangkan! Gunung-gunung dan hewan menikmati keindahan suara Nabi Daud ketika membaca az-Zabur. Kemudian Nabi ﷺ menyebut bahwa Abu Musa mendapatkan sebagian dari keindahan suara itu, masya Allah..
Apabila Umar bin al-Khattab bertemu dengan Abu Musa, maka ia meminta Abu Musa untuk melantunkan Alquran. Beliau berkata,
شَوِّقْنَا إِلَى رَبِّنَا يَا أَبَا مُوْسَى
“Buatlah kami rindu dengan Rabb kami wahai Abu Musa.” (Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatu al-Musytaqin, Hal: 400).
Inilah bacaan Alquran yang terbaik, yang membuat seseorang bertambah rindu, cinta, dan takut kepada Allah ﷻ.
Berilmu dan Beramal
Abu Musa radhiallahu ‘anhu adalah figur teladan untuk orang berilmu yang hendak mengamalkan ilmunya. Ia banyak berpuasa. Suatu ketika ia mengatakan, “Semoga dahaga di hari yang terik ini menjadi Pintu Rayyan untuk kita di hari kiamat.” (Rajul Hawla ar-Rasul, Hal: 442).
Dan Abu Musa wafat dalam keadaan berpuasa di hari yang panas.
Membela Abu Musa
Banyak yang merendahkan kemampuan kepemimpinan (leadership) Abu Musa karena peristiwa tahkim di zaman Ali bin Abu Thalib. Para orientalis menemukan momen yang tepat untuk memfitnah dan memojokkan sahabat-sahabat Nabi ﷺ. Lewat peristiwa tersebut, dengan riwayat-riwayat palsu dan dusta, mereka berkata apapun tentang Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Abdullah bin Abbas, Amr bin al-Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari. Sayangnya, ucapan mereka dikutip oleh sebagian kaum muslimin. Para sahabat Nabi ﷺ difitnah memperebutkan dunia (kekuasaan), padahal mereka telah talak tiga dengan kehidupan dunia.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana bisa kisah-kisah yang diriwayatkan oleh ulama ahli sejarah, semisal ath-Thabari, Ibnu al-Atsir, Ibnu Saad, dan Ibnul Jauzi, itu palsu? Jawabnya adalah ath-Thabari, Ibnu al-Atsir, Ibnu Saad, dan Ibnul Jauzi tidak mensyaratkan apa yang mereka riwayatkan adalah berita yang shahih. Oleh karena itu, mereka meriwayatkan kejadian-kejadian sejarah bersama dengan nama-nama periwayatnya. Tujuannya agar pembaca bisa menilai kualitas berita tersebut berdasarkan nama-nama periwayat.
Muhammad Zahid al-Kautsary al-Hanafi rahimahullah membuat tolok ukur bagaimana menilai kualitas berita dari para sejarawan tersebut. Beliau mengatakan,
قِيْمَةُ مَا يَرْوِيْهِ ابْنُ جَرِيْرِ قِيْمَةُ سَنَدِهِ
“Kualitas berita yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (ath-Thabari) adalah kualitas sanadnya.”
Artinya, jika sanadnya lemah, beritanya pun juga lemah.
Cukup bagi kita berita-berita shahih dan masyhur tentang pengakuan kemampuan kepemimpinan Abu Musa al-Asy’ari oleh Rasulullah ﷺ, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhuma.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Musa kembali ke Madinah. Sebelumnya, ia diamanati Rasulullah ﷺ atas wilayah Yaman. Di zaman Umar bin al-Khattab, Abu Musa diangkat menjadi gubernur Bashrah. Penduduk Bashrah yang terkenal pembangkang pun tidak memberontak kepada Abu Musa.
Kemudian Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu menjadikannya gubernur Kufah. Al-Aswad bin Yazid mengatakan, “Aku tidak pernah melihat dari kalangan sahabat Rasulullah yang lebih berilmu dari Ali dan Abu Musa.” (Siyar A’alam an-Nubala, Jilid II, Hal: 388).
Setelah mengetahui ini, bagaimana mungkin kita menuduh seorang yang ditunjuk oleh Rasulullah, Umar, dan Utsman sebagai seorang yang lemah? Berkali-kali pemimpin yang luar biasa itu menunjuk Abu Musa sebagai wakil mereka. Bahkan Umar memberinya tugas khusus sebagai hakim. Umar mengakui keadilan dan kecerdasannya dalam memutuskan perkara.
Wafatnya Sang Pembaca Alquran
Di masa tuanya, Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu semakin giat beribadah. Sampai-sampai orang-orang menasihatinya agar kasihan terhadap dirinya sendiri. Diriwayatkan dari Shalih bin Musa ath-Thulhi, dari ayahnya, ia berkata, “Akhir usia sebelum wafat Abu Musa al-Asy’ari ia isi dengan bersungguh-sungguh beribadah. Orang-orang berkata padanya, ‘Sekiranya engkau menahan dan tidak memporsir dirimu’. Abu Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kuda pacu, jika mendekati garis lintasan akhir, ia akan mengeluarkan segala kemampuannya. Dan yang tersisa dari umurku lebih sedikit dari itu’.” (Siyar A’alam an-Nubala, Jilid II, Hal: 393).
Beberapa saat menjelang ajalnya, Abu Musa senantiasa membaca doa:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ
“Ya Allah, Engkaulah as-Salam dan dari-Mu keselamatan.”
Alangkah indah kalimat-kalimat akhir yang diucapkan Abu Musa. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun wafatnya. Antara tahun 42 H hingga 52 H.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com
Monday, January 24, 2022
Abu Ubaidah Al-Jarrah, Orang Kepercayaan Umat Ini
Kisah Para Sahabat Nabi Muhammadﷺ
Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul Umara). Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,
إِنَّ لَكُمْ أُمَّةً أَمِيْنًا، وَإِنَّ أَمِيْنَ هذِهِ اْلأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ اْلجَرَّاحِ
“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“
Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”
Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.
Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.
Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ خَضَبُوْا وَجْهَ نَبِيِّهِمْ، وَهُوَ يَدْعُوْهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).
Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,
لأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً أَمِيْنًا، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ
“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)
Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.
Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,
اُخْرُجْ مَعَهُمْ، فَاقْضِ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ
‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal yang mereka perselisihkan’.“
Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya. Kemudian Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke rumahnya. Di dalam rumah tersebut, Umar tidak melihat sedikit pun perkakas rumah tangga, kecuali pedang, perisai dan untanya. Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”
Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”
Kepercayaan umat meninggal dunia di atas bumi yang telah dibersihkannya dari paganisme Persia yang beragama Majusi dan dari keangkara murkaan Romawi. Di sana pada hari ini, di bawah tanah Yordan, jasad yang suci dikebumikan. Ia menjadi tempat bagi ruh yang baik dan jiwa yang tentram.
Sumber: Rijal Haula ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 160-180 (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com dengan penyuntingan bahasa oleh redaksi.
Sunday, January 23, 2022
Sumayyah binti Khayyat Wanita Syahidah Pertama dalam Islam
Kisah Para Sahabat Nabi Muhammadﷺ
Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Beliau dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah, sehingga tak ada kabilah yang dapat membelanya, menolongnya, dan mencegah kezaliman atas dirinya. Dia hidup sebatang kara, sehingga posisinya sulit di bawah aturan yang berlaku pada masa jahiliah.
Begitulah Yasir mendapati dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Hudzaifah, yang dia dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini, dan beliau hidup bersamanya serta tenteram bersamanya. Tidak berselang lama dari pernikahannya, lahirnya anak mereka berdua yang bernama Ammar dan Ubaidullah.
Tatkala Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki, beliau mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah kepada beliau. Berpikirlah Ammar bin Yasir sebagaimana yang dipikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau dalam berpikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk dinul Islam.
Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya. Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata, Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya. Sumayyah pun menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.
Dari sinilah dimulainya sejarah yang agung bagi Sumayyah binti Khayyat, yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk yang pertama kalinya.
Penyiksaan kaum kafir Quraisy kepada Sumayyah binti Khayyat
Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam, bahkan mereka mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir tidak menanggapinya melainkan dengan pertentangan dan permusuhan.
Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari din mereka, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir tatkala keadaannya sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan di atas dadanya sebongkah batu yang berat. Akan tetapi, tiada terdengar rintihan atau pun ratapan, melainkan ucapan, “Ahad … Ahad ….” Sumayyah binti Khayyat ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Yasir, Ammar, dan Bilal.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,
صَتْرًاآلَ يَاسِرٍفَإِ نِّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ
“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”
Sumayyah binti Khayyat mendengar seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”
Begitulah, Sumayyah binti Khayyat telah merasakan kelezatan dan manisnya iman sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para tagut yang zalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.
Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya,Sumayyah binti Khayyat pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tatkala para tagut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka musuh Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah binti Khayyat. Terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan suci bersih. Beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, beliau telah mengerahkan segala yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal, dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya. Mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan.
Sumber: Mereka adalah Para Shahabiyah, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashir Asy-Syalabi, Pustaka At-Tibyan, Cetakan ke-10, 2009.
Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
Monday, January 17, 2022
Khalid bin Walid ‘Pedang Allah’ yang Tak Terkalahkan
Siapakah Khalid bin Walid?
Dia bernama Khalid bin Walid bin Mughirah bin Abdullah bin Umair bin Makhzum. Ia dijuluki saifullah (pedang Allah). Ia seorang pahlawan Islam, panglima para mujahid, dan pemimpin pasukan yang selalu dibantu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tak pernah terkalahkan baik di masa jahiliah maupun setelah Islam. Ia memiliki ide-ide yang cemerlang, keperkasaan yang tiada tara, dan taktik yang jitu. Ia termasuk salah seorang juru tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Gelarnya/kun-yahnya adalah Abu Sulaiman.
Ayahnya
Ayahnya bergelar Abdu Syams. Ia salah seorang hakim di kalangan bangsa Arab pada masa jahiliah. Ia juga salah seorang pemimpin terkemuka suku Quraisy. Kekayaan yang dimilikinya sangat banyak, sampai seluruh suku Quraisy mesti berkumpul untuk membungkus Ka’bah dengan kiswah sementara ia cukup sendirian saja melakukannya. Ia termasuk orang yang mengharamkan khamr di masa jahiliah. Ia sempat bertemu dengan masa Islam pada saat berusia sangat lanjut, akan tetapi ia memusuhi Islam dan menentang dakwahnya, sampai ia meninggal tiga bulan setelah hijrah.
Ibunya
Ibunya bernama Ashma’ atau yang dikenal dengan Lubabah kecil; putri al-Harits bin Harb al-Hilaliah. Ia adalah saudari Lubabah besar; istri Abbas ibn Abdul Muththalib. Keduanya merupakan saudari Maimunah binti al-Harits; istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Khalid bin Walid adalah seorang penunggang kuda yang tangguh dan pahlawan suku Quraisy. Ia terjun dalam Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandak di barisan kaum musyrikin. Kemudian, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan untuknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkan rasa cinta Islam ke dalam hatinya.
Khalid bin Walid telah mengikuti berbagai peperangan. Tak sejengkal pun bagian tubuhnya melainkan terdapat “cap” syuhada (bekas besetan pedang atau tusukan tombak). Ia pernah berkata, “Malam di kala aku dihadiahi seorang pengantin atau aku diberi kabar gembira dengan kelahiran anakku tidaklah lebih aku sukai daripada malam yang sangat dingin dalam barisan pasukan kaum Muhajirin di saat paginya aku akan berhadapan dengan musuh.”
Walid Mengajaknya Masuk Islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke kota Mekah dalam rangkaian umrah qadha. Ikut bersama Rasulullah, al-Walid bin Walid –saudara Khalid bin Walid– yang telah lebih dahulu masuk Islam daripada Khalid.
Walid mencari-cari saudaranya, Khalid, tetapi tidak menemukannya. Ia pun menulis sepucuk surat kepada saudaranya.
“Bismillahirrahmanirrahim. Amma ba’d. Sesungguhnya aku tak menemukan sesuatu yang lebih mengherankan daripada jauhnya pikiranmu dari Islam. Engkau seorang yang cerdas. Tak seorang pun yang tidak mengenal agama seperti Islam. Aku pernah ditanya suatu kali oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dirimu. Beliau bertanya,
‘Mana Khalid?’
Aku menjawab, ‘Semoga Allah memberinya hidayah.’
Beliau bersabda lagi,
‘Orang seperti Khalid tidak mengenai Islam? Andaikan ia gunakan kehebatan dan ketangguhannya –yang selama ini ia gunakan untuk yang lain– bersama kaum muslimin, tentu akan lebih baik baginya.’
Bergegaslah wahai saudaraku untuk menjemput peluang-peluang kebaikan yang sempat luput darimu.
Kisah Islamnya Khalid bin Walid
Khalid bin Walid menerima surat dari saudaranya. Surat itu dibacanya dengan seksama. Ia sangat gembira mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya tentang dirinya. Hal itu semakin mendorongnya untuk masuk Islam. Akhirnya Khalid mengarahkan jiwa dan nuraninya pada agama baru yang setiap hari benderanya semakin naik dan berkibar. Cahaya keyakinan pun mulai berkilau di hatinya yang suci. Ia berkata dalam hatinya, “Demi Allah, sungguh jalan inilah yang kurus. Sesungguhnya dia (Muhammad) memang benar-benar seorang rasul. Sampai kapan? Demi Allah aku harus segera menemuinya untuk mengutarakan keislamanmu.”
Pada malam itu Khalid bermimpi seperti berada di sebuah daerah sempit dan gersang. Tak ada tanaman dan tak ada air. Kemudian ia pergi menuju daerah yang hijau dan luas. Setelah bangun, Khalid berkata dalam hati, “sungguh ini sebuah mimpi yang baik.”
Khalid keluar dari rumahnya. Ia sudah bertekad untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mimpi yang ia alami semalam terus melekat dalam pikirannya dan seolah-olah berada di depan kedua matanya. Ia mencari seseorang yang bisa menemaninya menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Shafwan bin Umayyah. Khalid berkata pada Shafwan, “Wahai Abu Wahb, tidakkah engkau perhatikan kondisi kita? Kita ibarat gigi geraham sementara Muhammad telah menguasai bangsa Arab dan non-Arab. Kalau kita datang menemui Muhammad lalu kita ikuti langkahnya, niscaya kemuliaan Muhammad juga kemuliaan kita.”
Shafwan bin Umayyah sangat enggan menerima ajakan Khalid. Ia berkata, “Andaikan tak ada lagi yang tersisa selain diriku sendiri, sungguh aku tak akan pernah mengikutinya selama-lamanya.”
Akhirnya Khalid bin Walid meninggalkan Shafwan bin Umayyah. Ia berkata dalam hati, “Orang ini, saudara dan bapaknya terbunuh di Perang Badar.”
Kemudian Khalid berjumpa dengan Ikrimah bin Abu Jahal. Khalid berkata kepada Ikrimah seperti yang dikatakannya kepada Shafwan bin Umayyah. Jawaban yang diberikan Ikrimah juga sama dengan jawaban Shafwan bin Umayyah.
Lalu Khalid kembali ke rumahnya dan mempersiapkan kudanya. Ia mulai melangkah. Tiba-tiba ia bertemu dengan Utsman bin Thalhah yang merupakan sahabat dekatnya. Ia menyampaikan rencananya untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata Utsman menerima ajakannya. Akhirnya keduanya pergi dengan tujuan yang sama. Di jalan mereka bertemu dengan Amru bin Ash. Amru berkata pada keduanya, “Marhaban.”
“Marhaban bika,” balas keduanya.
“Mau ke mana kalian?” tanya Amru.
“Apa yang menyebabkan engkau keluar di waktu begini?” keduanya balik bertanya.
“Kalau kalian, apa yang menyebabkan kalian keluar?” Amru balas bertanya.
“Untuk masuk Islam dan mengikuti Muhammad,” jawab Khalid dan Utsman serentak.
“Itulah yang membuat aku datang ke sini,” timpal Amru sambil tersenyum.
Mereka berangkat sampai tiba di Madinah. Di jalan, sebelum bertemu Rasulullah, Khalid bertemu dengan saudaranya; al-Walid. Al-Walid berkata, “Cepatlah. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kedatanganmu dan beliau sangat gembira dengan kedatanganmu. Beliau sedang menunggu kalian.”
Mereka memeprcepat langkah dan segera masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khalid lebih dulu masuk dan ia segera menyampaikan salam pada Rasulullah. Rasulullah membalas salamnya dengan wajah berseri.
Khalid segera berucap, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mari ke sini!”
Ketika Khalid bin Walid sudah mendekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjukimu. Aku memang sudah melihat kecerdasan dalam dirimu dan aku berharap semoga kecerdasan itu membawamu pada kebaikan.”
Setelah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah banyak berada pada posisi yang menentang kebenaran, maka berdoalah kepada Allah untuk mengampuniku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Islam akan menghapus segala dosa yang telah berlalu.”
Khalid melanjutkan, “Wahai Rasulullah, doakanlah aku!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ya Allah, ampunkanlah Khalid atas segala perbuatannya yang menghalangi manusia dari jalan-Mu.”
Kemudian Utsman bin Thalhah dan Amru ibnul Ash pun maju dan membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah memberi sesuatu pun kepada para sahabatnya lebih banyak dari yang diberikannya kepada Khalid bin Walid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada sahabat-sahabat yang lain,
“Jangan sakiti Khalid karena sesungguhnya ia adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang Dia hunuskan pada orang-orang kafir.”
Abu Bakar ash-Shiddiq Menafsirkan Mimpi Khalid
Suatu kali Khalid bin Walid berjumpa dengan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia berkata dalam hati, “Aku akan sampaikan mimpi yang pernah kualami kepada Abu Bakar.”
Setelah Khalid menceritakan kepada Abu Bakar mimpi yang ia alami, Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya daerah hijau yang luas itu adalah jalan keluar yang menjadi tempat Allah menunjukimu pada Islam dan sesungguhnya daerah yang sempit itu adalah masa yang engkau lalui dalam kemusyrikan.”
Pembebasan Mekah
Khalid bin Walid telah masuk Islam. Ia membelakangi tuhan-tuhan nenek moyangnya dan seluruh bentuk pujaan kaumnya. Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin lainnya ia menyongsong dunia baru. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkannya berada di bawah panji Rasulullah dan kalimat tauhid.
Pada saat pembebasan Mekah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk masuk ke Mekah dari arah atas. Khalid dan orang-orang bersamanya masuk ke Mekah dari tempat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata ia dihadang oleh beberapa orang kaum Quraisy. Di antara meraka ada Shafwan bin Umayyah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amru. Mereka mengahalangi Khalid untuk masuk dan bahkan menghunus senjata serta melemparinya dengan ketapel. Khalid mengobarkan semangat sahabat-sahabatnya dan memerangi kaum Quraisy tersebut. Sebanyak 24 orang kaum Quraisy menemui ajal sementara 2 orang kaum muslimin menemui syahadah. Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan pembebasan Mekah untuk Rasul-Nya dan segenap kaum muslimin.
Diutus untuk Menghancurkan Uzza
Patung Uzza terletak di daerah Nakhlah. Suku Quraisy, Kinanah, dan Mudhar sangat mengagungkannya. Orang-orang yang memelihara dan yang menjaganya adalah Bani Syaiban (yang berasal) dari Bani Sulaim dan merupakan sekutu Bani Hasyim.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Walid untuk menghancurkan Uzza. Ketika penjaga patung Uzza yang berasal dari Bani Sulaim mendengar bahwa Khalid bin Walid sedang menuju ke sana untuk menghancurkannya, ia segera menggantungkan pedangnya di pundak patung Uzza tersebut. Kemudian ia naik ke atas bukit yang terletak di dekat sana lalu berkata,
“Wahai Uzza, siapkan dirimu, tak ada yang lain selainmu yang mampu menghadang Khalid yang telah siaga. Siapkan dirimu, karena jika engkau tidak membunuh Khalid, niscaya engkau akan ditimpa dosa yang dekat dan tak berdaya.”
Setelah Khalid sampai di sana, ia segera menghancurkan Uzza. Setelah kembali, Rasulullah bertanya kepadanya,
“Apa yang engkau lihat?”
Khalid menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.”
Rasulullah menyuruhnya untuk kembali ke sana. Ketika Khalid sampai ke tempat itu, dari dalam ruangan tempat patung Uzza dihancurkan keluarlah seorang wanita hitam yang menguraikan rambutnya sambil menaburkan tanah ke kepala dan mukanya. Khalid segera mengayunkan pedangnya dan berakhirlah hidup wanita itu. Khalid berkata,
“Wahai Uzza engkau dikufuri dan dirimu tidak suci. Aku lihat Allah telah menghinakanmu.”
Kemudian Khalid menghancurkan rumah (ruangan) tempat patung itu lalu ia ambil seluruh harta yang ada di sana. Setelah itu ia kembali. Ia ceritakan kepada Rasulullah semua hal yang terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Itulah Uzza dan ia tak akan pernah disembah lagi untuk selama-lamanya.”
Bersambung….
Artikel www.KisahMuslim.com
Sunday, January 2, 2022
Ubay bin Ka’ab
Kisah Para Sahabat Nabi Muhammadﷺ
https://chat.whatsapp.com/J7Qbx4fk1ChLAYJgC9mqMG ikhwan
Ubay bin Ka’ab, Yang Paling Fasih Bacaan Alqurannya* (sesi.1)
Ubay bin Ka’ab al-Anshari salah seorang sahabat mulia. Seorang sahabat Anshar yang disebut qari’nya (pembaca Alqurannya) Rasulullah. Ia datang ke Mekah. Bertemu Rasulullah dan menawarkan Kota Madinah, negeri yang aman untuk hijrah beliau. Berikut ini tulisan pertama dari dua tulisan tentang sahabat yang mulia, Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu.
Mengenal Qari Rasulullahﷺ
Dia adalah Ubay bin Ka’ab bin Qays al-Khazraji al-Anshari. Ia memiliki dua kun-yah. Rasulullah memberinya kun-yah Abu al-Mundzir. Sedangkan Umar bin al-Khattab menyebutnya Abu aht-Thufail. Karena ia memiliki seorang putra yang bernama ath-Thufail.
Ubay adalah seorang laki-laki yang rambut dan janggutnya berwarna putih. Namun ia tak mengubah warna perak rambut kepalanya itu dengan inay. Atau pewarna lainnya.
Allah Ta’ala memilih Ubay termasuk salah seorang yang pertama-tama memeluk Islam. Ia bersyahadat saat Baiat Aqobah kedua. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, ia dipersaudarakan dengan Said bin Zaid. Salah seorang dari sepuluh orang sahabat utama, al-muabsyiruna bil jannah.
Dididik Sang Nabiﷺ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendidik yang handal. Beliau memberi teladan dengan lisan dan perbuatan. Apa yang beliau ajarkan menancap di hati. Menjadi guratan-guratan yang muncul dalam perbuatan. Ubay pun merasakan murninya pendidikan nubuwah itu.
عن أبي هريرة أن رسول الله خرج على أبي بن كعب، فقال رسول الله: “يا أُبيّ” وهو يصلي، فالتفت أبي ولم يجبه، وصلى أبيّ فخفف ثم انصرف إلى رسول الله، فقال: السلام عليك يا رسول الله. فقال رسول الله: “ما منعك يا أبي أن تجيبني إذ دعوتك؟”. فقال: يا رسول الله، إني كنت في الصلاة. قال: “أفلم تجد فيما أوحي إليَّ {اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ} [الأنفال: 24]؟” قال: بلى، ولا أعود إن شاء الله.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ubay bin Ka’ab. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Ubay.” Saat itu Ubay sedang shalat. Ia hanya menoleh, tapi tidak menjawab panggilan Nabi. Ubay melanjutkan shalatnya. Dan menyegerakannya.
Setelah itu ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Assalamu’alaika ya Rasulullah,” sapa Ubay. Rasulullah bersabda, “Hai Ubay, apa yang menghalangi untuk menjawab panggilanku saat aku menanggilmu tadi?” “Wahai Rasulullah, tadi aku sedang shalat,” jawab Ubay.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi, “Tidakkah engkau mendapati sesuatu yang diwahyukan kepadaku ‘Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu’?” [Quran Al-Anfal: 24].
“Iya (aku telah mengetahuinya). Aku tidak akan mengulanginya lagi, insyaallah,” janji Ubay. (Sunan at-Turmudzi, Kitab Fadhail Quran, Juz: 5: 2875).
Perhatikanlah, bagaimana para sahabat dalam menanggapi perintah Rasulullah. Mereka tidak membantah. Tidak mengedepankan hasrat dan keinginan mereka. Ketika mengetahui bahwa Rasulullah menafsirkan ayat tersebut demikian. Mereka pun berazam untuk mengamalkannya. Tentu ini menjadi teladan bagi kita. Bagaimana adab ketika mendengar atau membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah dan larangan.
Rasulullah melarang kita dari riba, mendekati zina, dll. Beliau memerintahkan wanita muslimah untuk mengenakan hijab yang sempurna. Ingatlah pesan Allah yang disampaikan Rasulullah dalam Surat Al-Anfal ayat 24 tersebut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” [Quran Al-Anfal: 24].
Dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad dari Abu Hurairah dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ألا أعلمك سورة ما أنزل في التوراة ولا في الزبور ولا في الإنجيل ولا في القرآن مثلها؟” قلت: بلى. قال: “فإني أرجو أن لا تخرج من ذلك الباب حتى تعلمها”. ثم قام رسول الله فقمت معه، فأخذ بيدي فجعل يحدثني حتى بلغ قرب الباب. قال: فذكّرته فقلت: يا رسول الله، السورة التي قلت لي. قال: “فكيف تقرأ إذا قمت تصلي؟” فقرأ بفاتحة الكتاب، قال: “هي هي، وهي السبع المثاني والقرآن العظيم الذي أوتيتُه”.
“Maukah kuajarkan kepadamu suatu surat yang tidak Dia turunkan yang semisalnya dalam Taurat dan Injil. Juga tidak ada pada Alquran yang semisalnya?” Ubay menjawab, “Tentu.” “Aku berharap sebelum engkau keluar dari pintu itu, engkau telah mempelajarinya,” kata Rasulullah.
Kemudian Rasulullah berdiri. Dan aku berdiri bersamanya. Beliau mengandeng tanganku sambil mengajarkanku. Sampai beliau hampir sampai di pintu.
Aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mana surat yang Anda janjikan untukku?”
Beliau berkata, “Apa yang engkau baca saat shalat?”
“Aku membaca surat Al-Fatihah,” jawabku.
“Itulah dia. Itulah dia (surat yang tidak terdapat dalam Injil dan Taurat. Bahkan dalam Alquran yang menyamai kemuliaannya). Surat itu adalah tujuh yang berulang-ulang. Dan Alquran yang agung yang diwahyukan padaku.”
Dalam riwayat yang lain, Ubay memperlambat langkahnya. Karena sangat ingin mendengar surat yang dijanjikan Rasulullah untuknya. Demikianlah semangatnya Ubay bin Ka’ab dan sahabat-sahabat lainnya memperoleh ilmu dari Rasulullah.
Kemuliaan Ubay bin Ka’ab
روى البخاري بسنده عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: قَالَ النَّبِيُّ لأُبَيٍّ: “إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ {لَمْ يَكُنْ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ}”. قَالَ: وَسَمَّانِي؟! قَالَ: “نَعَمْ”، فَبَكَى.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi berkata kepada Ka’ab, “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ‘Orang-orang kafir yakni ahli Kitab… [Quran Al-Bayyinah: 1]”
“Dia (Allah) menyebut namaku, wahai Rasulullah,” tanya Ubay penuh haru. “Iya,” jawab Nabi. Ubay pun menangis. (HR. al-Bukhari 4959)
فكان ممن جمعوا القرآن على عهد رسول الله؛ ففي البخاري بسنده عن قتادة قال: سألت أنس بن مالك: من جمع القرآن على عهد النبي؟ قال: أربعة كلهم من الأنصار: أبي بن كعب، ومعاذ بن جبل، وزيد بن ثابت، وأبو زيد رضي الله عنهم جميعًا.
Ubay adalah orang yang mencatat dan menyusun Alquran di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Qatadah, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik, ‘Siapa yang mengumpulkan Alquran di masa Nabi?’ Anas menjawab, ‘Ada empat orang. Semuanya dari kalangan Anshar. Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid -radhiallahu ‘anhum jami’an’.” (HR. al-Bukhari, 5003).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa ia adalah orang yang paling fasih bacaan Alqurannya di umat ini. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui luasnya ilmu Ubay bin Ka’ab. Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“يا أبا المنذر، أتدري أي آية من كتاب الله معك أعظم؟” قال: قلت: الله ورسوله أعلم. قال: “يا أبا المنذر، أتدري أي آية من كتاب الله معك أعظم؟” قال: قلت: “اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ”. قال: فضرب في صدري وقال: “وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ”.
“Wahai Abu al-Mundzir, tahukah engkau satu ayat yang paling agung dalam Kitabullah yang kau hafal?” Ubay menjawab, “Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih mengetahui.” “Wahai Abu al-Mundzir, tahukah engkau satu ayat yang paling agung dalam Kitabullah yang kau hafal?” Rasulullah ingin Ubay menjawabnya. Aku menjawab, “Allaahu laa ilaaha illaa huwa al-Hayyu al-Qayyum… (Allah Dialah yang tidak ada sesembahan selain Dia. Yang Maha Hidup dan terus-menerus mengurusi makhluknya).” Kemudian Rasulullah menderapkan tangannya di dadaku dan mengatakan, “Demi Allah, semoga dadamu dipenuhi dengan ilmu, wahai Abu Mundzir.” (HR. Muslim 810).
Banyak tokoh-tokoh sahabat yang belajar Alquran dari Ubay. Di antara mereka: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abdullah bin Saib, Abdullah bin Ayyasy bin Abi Rabi’ah, Abu Abdurrahman as-Sulami -radhiallahu ‘anhu jami’an-.
Kemuliaan lainnya yang disandang sahabat Anshar ini adalah sebagai penulis wahyu. Ubay adalah orang pertama di Madinah yang menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Kalau tidak ada Ubay, baru Rasulullah memanggil Zaid bin Tsabit. Di zaman Umar, ia diangkat menjadi hakim di Yaman.
Saturday, January 1, 2022
Kisah Para Sahabat Nabi Muhammadﷺ || Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi
Kisah Para Sahabat Nabi Muhammadﷺ
https://chat.whatsapp.com/J7Qbx4fk1ChLAYJgC9mqMG ikhwan
Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi
“Sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk mencium kepada Abdullah bin Hudzafah, dan aku yang pertama kali akan memulainya”. (Umar bin al-Khattab).
Pahlawan kisah kita kali ini adalah seorang laki-laki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamyang bernama Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi.
Sejarah mungkin melewati nama laki-laki ini sebagaimana ia melewati jutaan orang Arab sebelumnya tanpa mencatatnya dalam lembarannya atau terbetik dalam benaknya.
Namun Islam yang agung memberi peluang kepada Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi untuk bertemu dengan penguasa dunia di zamannya, Kisra Raja Persia dan Kaisar Raja Romawi.
Dengan dua penguasa ini Abdullah mempunyai kisah yang terus dikenang oleh benak zaman dan diingat oleh lisan sejarah.
Kisahnya dengan Kisra, Raja Persia, terjadi di tahun keenam Hijriyah, saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud mengirim beberapa orang sahabatnya untuk menyampaikan surat-surat beliau kepada para raja ‘‘ajam, beliau ingin mengajak mereka masuk ke dalam agama Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperhitungkan betapa penting rencana ini.
Para utusan itu akan berangkat ke negeri-negeri yang sangat jauh yang mereka belum pernah mengenalnya sedikit pun sebelumnya.
Mereka tidak memahami bahasa penduduknya, mereka juga tidak mengenal kebiasaan raja-rajanya.
Kemudian mereka akan menyeru raja-raja itu agar meninggalkan agama mereka, meninggalkan kebanggaan dan kekuasaan mereka dan masuk ke dalam sebuah agama milik satu kaum yang belum lama menjadi bagian dari pengikutnya.
Perjalanan yang berbahaya, yang berangkat akan hilang dan yang pulang akan dianggap sebagai orang yang baru lahir.
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para sahabatnya, beliau berkhutbah di hadapan mereka, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau bertasyahud lalu bersabda, “Amma ba’du, sesungguhnya aku akan mengutus sebagian dari kalian kepada para raja ‘‘ajam, maka jangan berselisih atasku seperti Bani Israil yang berselisih atas Isa putra Maryam.”
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kami akan menunaikan tugasmu dengan baik wahai Rasulullah, silakan mengutus siapa yang engkau inginkan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih enam orang dari para sahabat untuk mengemban misi menyampaikan surat-surat beliau kepada raja-raja ‘ajam. Di antara keenam orang tersebut adalah Abullah bin Hudzafah as-Sahmi. Laki-laki ini terpilih untuk menyampaikan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Kisra, Raja Persia.
Abdullah bin Hudzafah mempersiapkan kendaraannya, mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, dia berangkat menuju ke tempat tujuan, dataran tinggi mengangkatnya, lembah menurunkannya, sendiri tidak bersama siapa pun selain Allah, sehingga dia tiba di negeri Persia, dia meminta izin bertemu dengan sang Raja, dia mengatakan kepada para penjaga bahwa surat yang dia bawa sangat penting.
Pada saat itu Kisra meminta agar istananya dihias, dia mengundang para pembesar negara untuk hadir di majelsinya dan mereka pun hadir, kemudian Abdullah bin Hudzafah diizinkan untuk masuk.
Abdullah bin Hudzafah masuk menemui pemimpin negeri Persia dengan jubahnya yang usang dan pakaiannya yang terajut dengan kasar, terlihat kebersahajaan orang Arab pada dirinya.
Namun dia hadir dengan kepala tegak dan badan tegap, dadanya bergolak dengan kemuliaan Islam, hatinya berkobar dengan keagungan iman.
Begitu Abdullah masuk, Kisra memberi isyarat kepada salah seorang pengawalnya agar mengambil surat dari tangan Abdullah, namun Abdullah menepis seraya berkata, “Tidak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar menyerahkannya kepadamu secara langsung, aku tidak akan menentang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Kisra berkata kepada pengawalnya, “Biarkan dia mendekat kepadaku.” Maka Abdullah mendekat sehingga dia menyerahkan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya secara langsung.
Kemudian Kisra memanggil seorang sekretaris dari al-Hijrah[1] dan memerintahkannya untuk membuka surat di hadapannya serta membacakannya kepadanya. Isinya adalah,
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasulullah kepada Kisra penguasa Persia, salam kepada orang yang mengikuti petunjuk…”
Begitu Kisra mendengar bagian surat tersebut, maka api kemarahannya langsung tersulut dalam dadanya, wajahnya memerah, urat lehernya menegang, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai suratnya dengan menyebut nama dirinya, Maka Kisra menarik surat itu dari tangan sekretarisnya, merobeknya tanpa mengetahui apa isinya sambil berteriak, “Beraninya dia menulis seperti ini padahal dia adalah bawahanku (yang tinggal di wilayah kekuasaanku).”
Kemudian Kisra memerintahkan agar Abullah bin Hudzafah diusir dari majelisnya, maka dia pun diusir.
Abdullah bin Hudzafah meninggalkan majelis Kisra sementara dia tiak mengetahui apa yang Allah perbuat untuknya, apakah dia akan dipenggal atau akan dibiarkan bebas?
Tetapi tidak lama kemudian dia berkata, “Demi Allah, aku tidak peduli keadaan apa pun, yang penting aku sudah menunaikan tugas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” lalu ia menaiki kendaraannya.
Manakala kemarahan Kisra sudah mereda, dia memerintahkan agar Abdullah bin Hudzafah dipanggil dan dihadirkan kepadanya, namun mereka tidak menemukannya, mereka mencari-cari Abdullah, namun mereka tidak menemukan jejaknya. Mereka terus mencari di jalan-jalan yang menuju Jazirah, mereka mendapatkan Abdullah telah jauh berjalan meninggalkan Persia.
Ketika Abdullah bin Hudzafah tiba di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menyampaikan apa yang terjadi kepada beliau, bahwa Kisra merobek surat beliau, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berdoa pendek, “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.”
Kisra menulis surat kepada Badzan, gubernurnya di Yaman, “Utuslah dua orang laki-laki yang kuat kepada seorang laki-laki yang mengaku sebagai Nabi di Hijaz, perintahkan dua orang laki-laki itu agar membawanya kepadaku.”
Maka Badzan (gubernur itu) mengutus dua orang laki-laki terpilih kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa surat darinya, dalam surat tersebut Badzan meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar segera berangkat untuk menemui Kisra bersama dua orang laki-laki itu.
Badzan meminta dua utusannya agar mencari tahu tentang berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneliti perilakunya, dan membawa wawasan-wawasan yang mereka ketahui tentang pribadinya.
Dua orang laki-laki itu berangkat, keduanya berjalan dengan cepat sehingga keduanya tiba di Thaif dan bertemu dengan beberapa pedagang dari Quraisy, keduanya bertanya kepada mereka tentang Muhammad, mereka berkata, “Dia di Yatsrib.”
Kemudian para pedagang itu kembali ke Mekah dengan kebahagiaan, mereka memberi ucapan selamat kepada orang-orang Quraisy, “Berbahagialah kalian dan bersuka citalah, karena Kisra telah menghadapi Muhammad dan mencukupkan keburukannya dari kalian.”
Adapun dua orang laki-laki utusan Badzan tersebut segera menuju Madinah, keduanya tiba di sana dan bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menyerahkan surat Badzan kepada beliau seraya berkata, “Raja diraja, Kisra, telah menulis surat kepada raja kami Badzan agar mengirim orang yang diberi tugas membawamu kepadanya, kami datang kepadamu agar kamu berkenan berangkat bersama kami kepada Kisra, jika kamu berkenan berangkat bersama kami maka kami akan meminta Kisra agar memperlakukan kamu dengan baik dan tidak menyakitimu, namun jika kamu menolak, maka kamu telah mengetahui kekuatannya, kekejamannya, dan kemampuannya untuk mencelakakanmu dan mencelakakan kaummu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum dan bersabda kepada keduanya, “Pulanglah ke tempat istirahat kalian, kembalilah esok hari.”
Manakala keduanya kembali ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di keesokan harinya, mereka berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kamu sudah bersiap-siap untuk berangkat bersama kami menemui Kisra?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalian berdua tidak akan bertemu Kisra setelah hari ini. Allah telah mematikannya, Dia telah menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya Syirawaih di malam ini di bulan ini.”
Keduanya menatap wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam-dalam, rasa takjub terbaca dengan jelas dari raut muka mereka berdua, keduanya berkata, “Apakah kamu menyadari apa yang kamu katakan? Kami akan menulis hal ini kepada Badzan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, katakan kepadanya bahwa agamaku akan menjangkau apa yang dijangkau oleh kerajaan Kisra, jika kamu masuk Islam, maka aku akan memberi apa yang ada di tanganmu dan menjadikanmu raja atas kaummu.”
Dua utusan itu meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke Yaman. Keduanya tiba dan menyampaikan berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Badzan berkata, “Jika apa yang dikatakan oleh Muhammad benar, maka dia adalah Nabi, jika tidak maka kami akan berpikir ulang.”
Tidak lama setelah itu Badzan menerima surat Syirawaih yang berisi:
“Amma ba’du, aku telah membunuh Kisra, aku tidak membunuhnya kecuali demi membalas dendam untuk kaum kita, dia telah membunuh orang-orang mulia dari mereka, menawan kaum wanita mereka dan merampas harta benda mereka, jika suratku ini telah sampai di tanganmu maka ambillah baiat dari kaummu untukku.”
Begitu Badzan membaca surat Syirawaih, dia meletakkannya di samping dan mengumumkan diri masuk Islam, orang-orang Persia di negeri Yaman mengikutinya masuk Islam.
Ini adalah kisah pertemuan Abdullah bin Hudzafah dengan Kisra Raja Persia.
Lalu bagaimana kisah pertemuannya dengan Kaisar Raja Romawi?
Pertemuan keduanya terjadi di zaman khilafah Umar bin al-khatthab, kisah pertemuan Abdullah dengan Kaisar merupakan kisah yang sangat mengagumkan.
Di tahun sembilan belas hijriyah Umar bin al-Khatthab mengutus pasukan untuk berperang melawan orang-orang Romawi, di antara pasukan tersebut terdapat Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi. Kaisar penguasa Romawi sudah mendengar berita-berita tentang bala tentara kaum muslimin, mereka menghiasi diri dengan iman yang benar, akidah yang kokoh dan kerelaan mengorbankan nyawa di jalan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, dia memerintahkan tentaranya agar jika mereka bisa menangkap sebagian dari kaum muslimin, mereka membiarkannya hidup karena dia ingin bertemu dengan mereka. Allah menakdirkan Abdullah bin Hudzafah jatuh sebagai tawanan di tangan orang-orang Romawi, mereka membawanya kepada Kaisar, mereka berkata, “Orang ini termasuk orang-orang pertama dari sahabat Muhammad yang masuk ke dalam agamanya, kami menawannya dan membawanya kepadamu.”
Raja Romawi menatap Abdullah bin Hudzafah dengan teliti, kemudian dia berkata, “Aku menawarkan sesuatu kepadamu.” Abdullah bertanya “Apa itu?”
Kaisar berkata, “Masuklah kamu ke dalam agama Nasrani, jika kamu berkenan maka aku akan membebaskanmu dan memberimu kedudukan terhormat.”
Tawanan itu menjawab dengan keteguhan dan kehormatan diri, “Mana mungkin? Kematian seribu kali lebih aku sukai daripada memenuhi ajakanmu itu.”
Kaisar berkata, “Aku melihatmu sebagai laki-laki pemberani, jika kamu menerima tawaranku, maka aku akan membagi kekuasaan denganmu dan kita sama-samaa memerintah dan menguasainya.”
Tawanan yang terikat dengan tambang itu tersenyum dan berkata, “Demi Allah, seandainya kamu menyerahkan seluruh apa yang kamu miliki dan segala apa yang dimiliki oleh orang-orang Arab dengan syarat aku meninggalkan agama Muhammad sekejap pun, niscaya aku tidak akan melakukannya.”
Kaisar berkata, “Kalau begitu aku akan membunuhmu.”
Abdullah menjawab, “Lakukan apa yang engkau inginkan.”
Kemudian tangan Abdullah diikat di tiang salib, dan Kaisar berkata kepada pengawalnya dengan bahasa Romawi, “Tembakkanlah anak panah di dekat kedua tangannya.” Sementara Kaisar tetap menawarkan kepadanya agar masuk ke agamanya namun Abdullah tetap menolak.
Maka Kaisar berkata, “tembakkan anak panah di dekat kedua kakinya.” Dan Kaisar tetap menawarkan kepadanya agar meninggalkan agamnya namun Abdullah tetap menolak.
Pada saat itu Kaisar memerintahkan pengawalnya untuk berhenti, dia meminta mereka agar menurunkannya dari tiang salib, kemudian dia meminta agar sebuah bejana besar disiapkan, lalu diisi dengan minyak, bejana itu diangkat ke atas tungku api sampai minyak itu mendidih, lalu Kaisar meminta dua orang tawanan dari kaum muslimin untuk dihadirkan, lalu Kaisar memerintahkan agar salah seorang dari keduanya dilemparkan ke dalam bejana mendidih tersebut, sehingga dagingnya terkelupas dan tulangnya terlihat telanjang.
Di saat itu Kaisar menoleh kepada Abdullah dan kembali mengajaknya masuk ke agama Nasrani, tetapi Abdullah justru menolak lebih keras daripada sebelumnya.
Manakala Kaisar berputus asa darinya, dia memerintahkan pengawalnya agar melemparkan Abdullah ke dalam bejana seperti kedua rekannya sebelumnya, di kala pengawal membawa Abdullah, dia mulai menangis, sehingga nampak para pengawal itu berkata kepada raja mereka, “Dia menangis.” Kaisar pun menyangka bahwa Abdullah telah dibayang-bayangi ketakutan, dia berkata, “Kembalikan dia kepadaku.” Ketika Abdullah berdiri di hadapan Kaisar, Kaisar kembali mengulangi tawarannya agar Abdullah masuk ke dalam agamanya, namun Abdullah tetap menolak.
Kaisar menghardik, “Celakalah kamu, apa yang membuatmu menangis?”
Abdullah menjawab, “Yang membuatku menangis adalah bahwa aku berkata kepada diriku, “Kamu sekarang akan dilemparkan ke dalam bejana, jiwamu akan pergi.’ Aku sangat ingin mempunyai nyawa sebanyak jumlah rambut yang ada di tubuhku, lalu semuanya dilemparkan ke dalam bejana itu fi sabilillah.”
Akhirnya thaghut itu menyerah dan berkata, “Apakah kamu mau mencium kepalaku dan aku akan membebaskanmu?”
Abdullah menjawab, “Dan melepaskan seluruh tawanan kaum muslimin?”
Abdullah berkata, aku berkata dalam hatiku, “Musuh Allah, aku akan mencium keningnya, lalu aku bebas demikian juga seluruh tawanan kaum muslimin, tidak mengapa aku lakukan hal itu.”
Kemudian Abdullah mendekat dan mencium kepalanya, maka Kaisar Raja Romawi memerintahkan agar seluruh tawanan kaum muslimin dikumpulkan dan diserahkan kepada Abdullah bin Hudzafah, maka perintah ini dilaksanakan.
Sekembalinya ke kota Madinah, Abdullah bin Hudzafah datang kepada Umar bin al-Khatthab, dia menceritakan kisahnya, maka al-Faruq sangat berbahagia karenanya, Umar melihat kepada para tawanan, maka dia berkata, “Patut bagi setiap muslim untuk mencium kepala Abdullah bin Hudzafah, aku yang pertama kali akan mengawalinya.” Maka Umar berdiri dan mencium kepalanya.[2]
Artikel www.KisahMuslim.com
Footnote:
[1] Daerah di Irak di antara Najaf dengan Kufah.
[2] Untuk menambah wawasan tentang Abdullah bin Hudzafah silakan merujuk:
Al-Ishabah, (II/296) atau (at-Tarjamah) (4622); As-Sirah an-Nabawiyah, Ibnu Hisyam Tahqiq as-Saqa. Lihat daftar isi; Hayat ash-Shahabah, Muhammad Yusuf al-Kndahlawi, lihat daftar isi juz empat; Tahdzib at-Yahdzib, (V/185); Imta’al-Asma’, (I/308, 444); Husna ash-Shahabah, (305); Al-Muhbir, (77); Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi, (II/88).
Friday, December 31, 2021
Pasukan Hamzah bin Abdul Mutahlib, Pasukan Pertama Umat Islam
Kisah Para Sahabat Nabi Muhammadﷺ
Hamzah bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu adalah paman Nabi ﷺ. Ia juga menjadi saudara sepersusuan Nabi karena sama-sama disusui oleh Tsuwaibah, budak dari Abu Lahab bin Abdul Muthalib. Kemudian di masa Islam, Hamzah memimpin pasukan pertama kaum muslimin menuju wilayah Saef al-Bahr.
Izin Berperang
Merupakan kebiasaan orang-orang Quraisy bertandang ke Syam untuk melakukan perdagangan. Dalam perjalanan pulang-pergi ke Syam, kafilah Quraisy membawa serta tokoh-tokoh dan sebagian pasukan untuk menjaga mereka. Siapa sangka, jalur dagang menuju Syam yang biasa mereka lewati sekarang telah menjadi negeri hijrahnya Muhammad ﷺ dan sahabat-sahabatnya. Tentu Nabi ﷺ dan para sahabat punya urusan tersendiri dengan mereka.
Nabi ﷺ memandang ini adalah sebuah kesempatan. Beliau berencana mencegat mereka. Menyita barang-barang dagang berharga yang mereka bawa. Melemahkan dan menghinakan mereka. Sebagai balasan atas permusuhan dan peperangan yang mereka kobarkan sejak di Mekah. Mereka mengeluarkan umat Islam dari sana. Merampas harta dan rumah-rumah yang dimiliki kaum muslimin. Serta mencegah Nabi ﷺ menyebarkan Islam, risalah yang Allah ﷻ perintahkan. Nabi ﷺ pun memohon kepada Allah ﷻ agar diberikan izin untuk berperang (Muhammad Abu Syuhbah dalam as-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Dhaw’i al-Quran wa as-Sunnah, 2/67).
Allah ﷻ pun menurunakn firman-Nya,
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS:Al-Hajj | Ayat: 39).
Diutusnya Pasukan
Atas izin Allah ﷻ pasukan iman berangkat menggetarkan barisan shaf kaum musyrikin. Rasulullah tahu, kafilah Quraisy membawa harta dan barang dagang yang banyak dalam perjalanan pulang dari Syam menuju Mekah. Kafilah ini dijaga oleh 300 orang pasukan berkuda Quraisy. Dan dipimpin oleh Abu Jahal bin Hisyam. Rasulullah ﷺ mengutus 30 orang mujahid yang dipimpin oleh Singa Allah, Hamzah bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu. Tak ada seorang pun dari kalangan Anshar dalam pasukan tersebut. Semuanya dari Muhajirin.
Pada Bulan Ramadhan, tahun pertama hijrah, pasukan pertama itu berangkat. Atas perintah Nabi ﷺ mereka berjihad di jalan Allah. Kaum muslimin mengibarkan bendera putih yang dibawa oleh Abu Murstid Kinaz bin al-Hushain al-Ghanawy radhiallahu ‘anhu.
Pasukan ini bergerak cepat menuju tepi Laut Merah. Kemudian, dua pasukan bertemu di daerah Kabilah Juhainah. Saat mereka tengah berhadap-hadapan dan bersiap untuk perang, salah seorang tokoh kabilah Juhainah mendamaikan kedua pasukan tersebut.
Hasil Pencegatan
Meskipun tidak terjadi kontak senjata, tapi aksi militer yang dilakukan kaum muslimin berhasil mengirimkan sinyal kepada orang-orang musyrik Mekah. Dan ini sangat penting bagi negara baru Madinah. Orang-orang Quraisy mulai merasakan cemas. Mata mereka menyaksikan sendiri bahaya yang menghadang di jalur dagang mereka. Dan tentu sangat membahayakan perekonomian mereka.
Sementara bagi umat Islam, mereka mendapatkan hasil yang positif. Moral mereka meningkat. Muncul rasa percaya diri setelah berhasil menimbulkan luka psikologis terhadap musuh. Inilah kali pertama mereka berhadap-hadapan dengan orang-orang musyrik Mekah yang dulu menindas mereka.
Ketika tiba di Mekah, Abu Jahal mengatakan, “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah sampai di Yatsrib (Madinah) dan telah mengirimkan sinyalnya. Ia ingin agar kalian ditimpa suatu hal. Hati-hatilah kalian melintasi jalannya (wilayahnya). Jangan kalian dekati, karena dia bagaikan singa yang berbahaya. Dia sangat mara pada kalian. Menjauhlah sebagaimana onta takut digigit dhab. Demi Allah, sungguh dia punya sihir. Aku tidak melihatnya dan para sahabatnya kecuali disertai setan-setan. Kalian tahu sendiri bagaimana permusuhan Ibni Qilah (kiasan untuk Aus dan Khazraj). Ia adalah musuh yang meminta tolong pada musuh.”
Saat dialog mereka ini sampai ke telinga Rasulullah ﷺ, beliau membantah ucapan keji Abu Jahal itu. beliau ﷺ mengatakan, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku akan memerangi mereka, akan menguasai mereka, dan mendakwahi mereka. Sesungguhnya aku ini adalah rahmat dari Allah ﷻ. Aku tidak akan wafat sampai Allah menangkan agama ini. Aku memiliki lima nama. Aku adalah Muhammad, Ahmad. Aku adalah al-Mahi (penghapus) yang dengan perantara diriku Allah hapus kekufuran. Aku adalah al-Hasyir (pengumpul). Nanti manusia dikumpulkan di hadapanku. Dan aku adalah al-‘Aqib.” (HR. Muslim).
Hamzah Sang “Asadullah” (Singa Allah)
Nama sebenarnya Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian, Ia Ikut Hijrah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan ikut dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah menjulukinya dengan “Asadullah” (Singa Allah) dan menamainya sebagai “Sayidus Syuhada”.
Ibnu Atsir berkata dalam kitab ‘Usud al Ghabah”, Dalam perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya . lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak tertelan dan segera dimuntahkannya.
Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya ,” Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (Qs; an Nahl 126)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq didalam kitab,” Sirah Ibnu Ishaq” dari Abdurahman bin Auf bahwa Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya “ Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?”, aku menjawab “Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib”. Lalu Umayyah dberkata Dialah yang membuat kekalahan kepada kami”.
Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang 2 bilah pedang.
Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.
Ia wafat pada tahun 3 H, dan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dengan “Sayidus Syuhada”.
Disalin dari riwayat Hamzah bin Abul Muthalib dalam Usud al Ghabah Ibn Atsir, Sirah Ibn Ishaq / ahlulhadist
Artikel www.KisahMuslim.com
Thursday, December 16, 2021
Saat-Saat Abu Hurairah Berpisah Dengan Kehidupan Dunia
UPAN DUNIA
Sekarang, kita menceritakan akhir seorang guru yang telah berusia lanjut mendekati usia delapan puluhan, yang sesaat lagi akan menghadap Allah Ta’ala setelah menunaikan amanah yang ada di pundaknya dan menyebarkan hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengajarkan kepada manusia.
Ketika berada di atas tempat tidur menghadapi kematian, ia menangis. Maka ditanyakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Hurairah?” Dia menjawab, “Aku sesungguhnya tidak menangisi dunia kalian ini. Namun aku menangis karena jauhnya perjalanan, sedangkan perbekalanku sedikit. Aku sekarang berada dalam tangga yang curam, antara surga dan neraka. Aku tidak tahu berjalan ke arah mana dari keduanya.” Kemudian ia berwasiat, “Jika aku meninggal, janganlah kalian meratapiku, sebab Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ tidak pernah meratapi kematian.”
Lalu Marwan masuk menjenguknya sebelum saat-saat kematian dan berkata, “Mudah-mudahan Allah memberimu kesembuhan, wahai Abu Hurairah,” akan tetapi Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu menghadap ke arah lain dan tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Marwan. Dia menoleh untuk bermunajat kepada Allah dengan penuh keyakinan. Dia telah mengisi kehidupannya dengan berbagai macam amal kebaikan, yang menanti rahmat Allah, seraya berdoa: “Ya, Allah. Sesungguhnya aku sangat gembira bertemu dengan-Mu, maka bersenanglah untuk bertemu denganku.” Al Muqbiri berkata, “Belum sampai sahabat Marwan melangkahkan kakinya, Abu Hurairah pun telah meninggal dunia,” namun kenangan baik tentangnya akan tetap tersimpan di hati kaum mukminin hingga hari kiamat.
Terjadi perbedaan pendapat tentang tahun kematiannya. Ada yang menyatakan, wafatnya tahun 57 H dan ada yang menyatakan bahwa wafatnya pada tahun 58 H, serta ada yang menyatakan wafatnya tahun 59 H.
Dia meninggal di Al Aqiq, lembah yang berdampingan dengan Madinah dan dikuburkan di Baqi’ di Madinah, Al Walid bin Utbah bin Abi Sufyan menjadi imam dalam shalat jenazahnya. Saat itu ia menjabat sebagai gubernur wilayah Madinah pada masa pemerintahan Mu’awiyah.
Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu ‘anhu dan Marwan bin Al Hakam berjalan di depan jenazah. Begitu juga Ibnu Umar ikut serta mengiringi jenazah Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berjalan di depan jenazah dengan memperbanyak mengucapkan “Rahimahullah” atas Abu Hurairah, radiyallahu ‘anhu, seraya berkata: “Dia termasuk penjaga hadtis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kaum muslimin.”
Kemudian Al Walid bin Utbah menulis surat kepada Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu, mengabarkan kematian Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Mu’awiyah pun membalasnya seraya berpesan: “Lihatlah, siapa saja yang ditinggalkan oleh Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dan serahkan kepada ahli warisnya 10.000 dirham serta perlakukanlah mereka dengan baik, dan berbuat baiklah kepada mereka; sebab, ia juga termasuk orang yang membela Khalifah Utsman dan berada di rumah Utsman.”
Mudah-mudahan Allah merahmati dan meridhainya. Hanya orang-orang dengki dan tidak tahu malu yang terus berusaha mendiskreditkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.
Read more: https://yufidia.com/4411-abu-hurairah-pribadi-yang-mengagumkan.html
@IslamAdalahSunnah
Semoga Allah selalu mudahkan kita istiqomah dijalanNya
بَارَكَ اللّهُ فيكن...
🌙🌃 Alhamdulillah waktunya istirahat..
Semoga apa yang telah disampaikan bisa bermanfaat bagi kita semua. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla memberkahi dan membimbing kita untuk bisa mengamalkannya.
Kita tutup grup malam ini dengan membaca do'a kafaratul majelis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allailahailla anta astaghfiruka wa’atubu ilaik”
“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memujiMu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau, aku memohon pengampunanMu dan bertaubat kepadaMu.”
[HR. Tirmidzi, Shahih]
“Doa itu sebagai penambal kesalahan yang dilakukan dalam majelis.”
admin cahaya hidayah
🌠🍃🌹
-
Semoga Bermanfaat Label : Update kajian Islam, Kajian Sunnah, Sunnah, Info Islam, Islam Terbaru,Update Kajian Sunnah,Kajian Islam,Konsul...
-
Telegram : https://t.me/menebar_cahayasunnah Pertanyaan: Izin bertanya ustadz, sebagian kawan kami membeli rumah dengan car...