Tuesday, April 30, 2019

Orang-orang Yang Tidak Wajib Berpuasa


Islam adalah agama yang sempurna dan mudah. Meski puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, namun dalam keadaan tertentu seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Berikut penjelasan tentang siapa saja yang dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.

Musafir

Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar menurut mazhab yang paling kuat adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar atau bepergian. (Majmu’ Fatawa, 34/40—50, 19/243)

Orang yang melakukan perjalanan semacam ini diperkenankan untuk tidak melakukan puasa, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
“Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.” (al-Baqarah: 184)

Hamzah bin ‘Amr al-Aslami radhiallahu ‘anhu yang dia adalah orang yang banyak melakukan puasa, bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah saya berpuasa di waktu safar?” Beliau menjawab:

إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

“Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya melakukan safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa tidak mencela yang tidak berpuasa dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang puasa.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits itu menunjukkan dibolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar. Namun jika ia ingin berpuasa juga boleh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa dalam keadaan safar sebagaimana kata Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu:

“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam keadaan sangat panas, sampai-sampai salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panasnya. Tidak ada yang berpuasa di antara kami kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2687 dan Muslim no. 2687)

Long Straight Road

Puasa itu dilakukan jika memang mampu dan tidak bermudarat bagi dirinya, sebagaimana ucapan Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu:

“Dan mereka berpendapat, bagi yang mempunyai kekuatan lalu puasa maka itu baik. Bagi yang mendapati kelemahan lalu tidak puasa maka itu baik.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/92 no. 712 dan beliau katakan, “Hasan sahih.” Lihat juga Sifat Shaum an-Nabi hlm. 58)

Jadi, siapa saja yang fisiknya lemah dengan berpuasa saat safar, maka lebih baik ia tidak berpuasa. Lebih-lebih jika membawa kerugian pada dirinya, sebagaimana diriwayatkan Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada  pada sebuah safar. Beliau melihat orang dalam jumlah banyak dan ada seorang laki-laki yang dinaungi.

Beliau berkata, “Apa ini?”

Mereka menjawab, “Orang berpuasa.”

Beliau berkata, “Bukan termasuk kebaikan berpuasa di waktu safar.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kemudian bagaimana dengan safar di masa ini, di mana jarak yang begitu jauh dapat ditempuh dalam waktu sangat singkat, dengan pesawat terbang misalnya, apakah yang demikian menggugurkan keringanan untuk tidak berpuasa?

Jawabnya, tidak! Rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetap ada selama itu disebut safar. Hal ini disebabkan Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaitkan hukum ini dengan safar. Sehingga selama itu disebut safar, bagaimanapun ringannya, maka rukhshah itu tetap ada.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّٗا ٦٤
“Dan tidaklah Rabb-Mu lupa.” (Maryam: 64)

Orang yang tidak berpuasa di waktu safar memiliki kewajiban untuk mengqadha (mengganti) di bulan lain sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas.

Orang Sakit

Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah keadaan yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhan. (Lihat Fathul Bari, 8/179, Syarhul ‘Umdah Kitab Shiyam karya Ibnu Taimiyah rahimahullah 1/208-209, Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 59)

hospital-bed

Orang yang sakit mendapat keringanan untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Allah menginginkan kemudahan atas kalian dan tidak menginginkan kesusahan.” (al-Baqarah: 185)

Bagi yang tidak puasa karena sakit, ia berkewajiban mengganti di selain bulan Ramadhan sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan.

Wanita Haid atau Nifas

Wanita haid tidak boleh atau haram berpuasa di bulan Ramadhan sebagaimana perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ketika ditanya Mu’adzah bintu Abdurrahman:

“Mengapa orang yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?”

‘Aisyah mengatakan, “Apakah kamu seorang Khawarij? (karena orang-orang Khawarij mewajibkan mengqadha shalat, red). Dahulu kami mengalami haid lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haid di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa. Bahkan para ulama mengatakan haram berpuasa dan jika berpuasa puasanya tidak sah. (Shifat Shaum hlm. 59)

darah-tumpah

Sementara orang yang nifas, para ulama menjelaskan bahwa hukum nifas sama dengan hukum haid. Ibnu Rajab berkata, “Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid pada apa yang diharamkan dan apa yang digugurkan (karenanya). Telah terjadi ijma’/kesepakatan (dalam masalah ini). Bukan hanya satu saja dari kalangan ulama yang menyebutkan ijma, di antaranya Ibnu Jarir rahimahullah dan yang lainnya.” (Fathul Bari Syarh al-Bukhari karya Ibnu Rajab,1/332)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengatakan, “Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid pada segala yang diharamkan atasnya dan pada kewajiban yang gugur darinya. Kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah ini. Demikian pula dalam masalah diharamkan menjima’inya, dihalalkan bersebadan (tanpa jima’), dan menikmatinya pada selain kemaluan.” (al-Mughni, 1/432)

Bagi yang tidak puasa karena haid atau nifas memiliki kewajiban meng-qadha pada selain bulan Ramadhan sebagaimana dalam hadits di atas.

Orang yang Telah Renta

Yang dimaksud di sini adalah orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan sehingga ia tidak mampu lagi berpuasa. Orang yang keadaannya demikian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ
“…Siapa yang sakit di antara kalian atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang sudah tua yang tidak sanggup lagi berpuasa. Maka sebagai gantinya adalah memberi makan setiap harinya satu orang miskin setengah sha’ (kurang lebih 1,5 kg) dari hinthah (gandum). (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/207 dan disahihkan olehnya)

Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan. Adapun fidyah insya Allah akan dijelaskan kemudian.

pohon-kering

Orang Sakit yang Tidak Diharapkan Kesembuhannya

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “…Tidak diberi keringanan dalam masalah ini (tidak puasa lalu membayar fidyah) kecuali yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak sembuh.” (HR. ath-Thabari dalam tafsirnya 2/138, an-Nasa’i, 1/318—319, dan al-Albani rahimahullah berkata sanadnya shahih)

Wanita Hamil dan Menyusui

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang wanita yang menyusui, hukumnya adalah seperti wanita hamil dalam segala urusannya seperti dalam penjelasan yang telah lalu. (Syarhul ‘Umdah, 1/252)

Wanita hamil atau menyusui mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu:

Datang kepada kami kuda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku dapati beliau sedang makan siang, lalu beliau mengatakan, “Mendekatlah kemudian makanlah!”

Saya katakan, “Sesungguhnya aku berpuasa.”

Beliau berkata lagi:

أُدْنُ أُحَدِّثُكَ عَنِ الصَّوْمِ –أَوْ الصِّيَامِ-، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ وَالمُرْضِعِ شَطْرَ الصَّوْمِ

“Mendekatlah, aku beri tahu kamu tentang puasa, sesungguhnya Allah meletakkan dari seorang musafir setengah shalat serta meletakkan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui….” (HR. Abu Dawud no. 2408. Asy-Syaikh al-Albani  rahimahullah mengatakan hasan sahih dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 715, an-Nasai no. 2273, serta Ibnu Majah no. 1667)

Apa yang mesti dilakukan oleh wanita yang meninggalkan puasa karena hamil atau menyusui?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara pendapat yang ada:

Tidak wajib mengqadha dan tidak membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm (al-Muhalla, 6/262). Secara ringkas, alasan beliau adalah tidak adanya dalil yang mewajibkan mengqadha atau membayar fidyah.
Wajib membayar fidyah dan qadha jika ia meninggalkan puasa karena khawatir terhadap anak atau janinnya, dan meng-qadha saja ketika khawatir atas dirinya sendiri. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad yang masyhur (Fatawal Mar’ah, 1335).
Alasan bagi yang mengkhawatirkan dirinya, karena ia serupa dengan orang yang sakit atau seperti orang yang khawatir akan mengalami sakit. Adapun yang khawatir atas janinnya, ia juga wajib membayar fidyah sebab ia berbuka karena khawatir atas orang lain. Ini lebih berat dari yang berbuka karena khawatir atas dirinya sendiri. Maka diberatkan gantinya dengan diwajibkan juga membayar fidyah. Alasan lainnya adalah hadits Anas bin Malik al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu yang lalu dan tidak ada (keterangan dalam hadits itu) kecuali digugurkannya pelaksanaan puasa pada waktunya, bukan digugurkan qadhanya karena dalam hadits itu disebut musafir dan musafir diletakkan darinya pelaksanaan pada waktunya saja (bukan qadhanya). Juga karena dia berharap adanya kemampuan untuk mengqadha, maka hukumnya seperti orang yang sakit. (Syarhul Umdah, 1/249]

Kewajibannya hanya mengqadha. Ini adalah pendapat al-Auza’i , ats-Tsauri, al-Hasan, Abu Hanifah, dan lainnya (al-Muhalla, 6/263, Jami’ Ahkamin Nisa’, 2/395). Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga.
Kewajiban mereka hanya membayar fidyah, tidak mengqadha. Ini adalah pendapat Abdullah Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Qatadah rahimahullah, dan yang lainnya.
Pendapat terakhir inilah yang saya cenderungi dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Hadits Anas bin Malik al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu
Telah dijelaskan di atas bahwa terdapat hadits dari Anas bin Malik al-Ka’bi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan puasa dari seorang musafir—dalam sebuah riwayat—dan dari wanita hamil dan menyusui. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan keduanya atau salah satunya.”

Maksud dari meletakkan puasa dari wanita hamil atau menyusui di sini, adalah tidak diwajibkannya mengqadha, namun hanya wajib membayar fidyah. Dengan ini Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berfatwa sebagaimana akan dibahas kemudian.

Yang menunjukkan makna ini adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menerangkan makna meletakkan puasa dari seorang musafir dengan firman-Nya, “…maka barang siapa sakit atau safar maka hendaknya menggantinya dengan hari yang lain…”

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala juga terangkan makna meletakkan puasa dari wanita hamil atau menyusui dengan firman-Nya “…maka bagi yang mampu dengan kepayahan hendaknya membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin…”

Ayat ini kemudian berlaku pada orang yang sudah tua yang tidak mampu. Dan wanita hamil atau menyusui digolongkan dengan mereka sehingga berkewajiban membayar fidyah saja sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu kepada seorang budak wanita yang hamil atau menyusui:

“Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadha atasmu.” (HR. ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan asy-Syaikh al-Albani shahih sesuai dengan syarat Muslim, al-Irwa’ [4/19]. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [4/219 no. 7567] tapi tanpa kata-kata “tidak ada kewajiban qadha” dan Ibnu Hazm [al-Muhalla 6/263])

Juga Sa’id bin Jubair berkata bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan kepada budaknya yang hamil atau menyusui, “Engkau termasuk yang tidak mampu, kewajibanmu memberi makan bukan mengqadha.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/206 no. 8 dan ia berkata sanadnya sahih)

Fatwa

Fatwa Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma
Terdapat beberapa fatwa Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dalam masalah ini, di antaranya:

Beliau mengatakan, wanita hamil dan menyusui berbuka serta tidak meng-qadha. (HR. ad-Daruquthni 1/207 dan disahihkan olehnya)

Seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan dijawab, “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadha.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/207, dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/263. asy-Syaikh al-Albani mengatakan sanadnya bagus, dalam Irwa’ul Ghalil 4/20)

Nafi’ bercerita bahwa anak wanita Ibnu ‘Umar adalah istri orang Quraisy dan dia hamil lalu ia haus di bulan Ramadhan. Maka beliau perintahkan untuk berbuka dan mengganti dari hari (yang ditinggalkan) dengan memberi makan seorang miskin. (HR. ad-Daruquthni dalam as-Sunan, 2/207 no.14. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan sanadnya sahih, Irwa’ul Ghalil, 4/20)

Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma ditanya tentang wanita hamil jika khawatir pada anaknya, beliau menjawab, “Hendaknya berbuka dan memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin satu mud (sekitar 7,5 ons) dari gandum.” (HR. asy-Syafi’i, al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra [4/230] dari Malik dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [4/218 no. 7561] dan Ayyub, keduanya dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu). Dalam lafadz Ayyub, “Jika khawatir atas dirinya.” (Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 84)

Fatwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma
Didapati beberapa fatwa dari beliau, juga penjelasan ayat yang menunjukkan dengan jelas bahwa beliau berpendapat hanya membayar fidyah dan tidak qadha. Di antaranya:

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu melihat budak wanitanya hamil atau menyusui maka beliau mengatakan, “Kamu termasuk dari orang yang tidak mampu melakukan puasa, wajib atas kamu jaza’ (memberi makan), dan tidak ada qadha atas dirimu.” (HR. ad-Daruquthni dengan sanad yang disahihkannya [1/207], Shifat Shaum an-Nabi hlm. 85)

Diriwayatkan Ikrimah rahimahullah dari ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata, “Telah ditetapkan bagi wanita hamil dan yang menyusui, yakni firman-Nya, “Dan atas orang-orang yang mampu dengan payah.” (HR. Abu Dawud disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2317)

Beliau juga mengatakan, “Pada firman Allah subhanahu wa ta’ala tersebut ada rukhshah (keringanan) bagi orang yang sudah tua (kakek dan nenek) walaupun keduanya mampu untuk berpuasa. Keduanya diberi keringanan untuk berbuka jika mau dan memberi makan seorang miskin sebagai gantinya. Lalu (hukum) itu dihapus dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya), “Maka barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.” Rukhshah itu tetap bagi kakek dan nenek yang tidak mampu berpuasa, juga bagi wanita hamil dan menyusui. Jika keduanya khawatir, maka berbuka dan memberi makan satu orang miskin sebagai ganti tiap harinya.” (HR. Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya 2/135, Ibnul Jarud, no. 381, dan al-Baihaqi, 4/230. Sanadnya disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)

Beliau juga berkata, “Jika wanita hamil khawatir atas dirinya dan wanita yang menyusui khawatir atas anaknya di bulan Ramadhan, maka keduanya (wanita hamil dan wanita menyusui) berbuka serta memberikan makan untuk setiap harinya satu orang miskin dan tidak mengqadha.” (asy-Syaikh al-Albani mengatakan riwayat ath-Thabari dalam tafsirnya, sanadnya sahih sesuai syarat Muslim, ibid:19)

Riwayat-riwayat Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma kaitannya dengan hal ini, bisa dilihat secara rinci beserta penjelasan dan takhrijnya dalam Irwa’ul Ghalil (4/17—25) pada takhrij hadits no. 912.

Dari nukilan di atas, baik dari penjelasan dan fatwa Ibnu ‘Abbas maupun Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, tampak jelas bahwa wanita yang hamil atau menyusui menurut beliau berdua tidak wajib mengqadha. Yang wajib adalah membayar fidyah, sama saja baik khawatir atas dirinya, janin, maupun anaknya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat di atas yang sebagian hanya menyebut kekhawatiran atas dirinya, sebagian menyebut khawatir atas anaknya, sebagiannya lagi sekadar menyebut jika khawatir, bahkan sebagiannya tidak menyebutkan kekhawatiran sama sekali.

Pada semua keadaan itu mereka menghukumi dengan hukum yang sama tanpa ada perincian apa pun. Jika hukum mereka berbeda pada keadaan-keadaan itu tentu akan mereka jelaskan, terlebih ketika berfatwa. Sementara kita tahu bahwa mengakhirkan keterangan di saat dibutuhkan itu tidak boleh.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Telah tetap wajibnya fidyah dari tiga sahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka, dan mereka khilaf dalam masalah mengqadhanya.” (Syarhul ‘Umdah,1/249)

Adapun pendapat yang mengatakan jika khawatir atas anaknya maka tidak ada fidyah atas dirinya, maka itu menyelisihi perkataan al-Imam Ahmad rahimahullah dan ucapan-ucapan salaf. (Syarhul Umdah,1/253)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata bahwa tidak ada yang menyelisihi Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam hal ini dari kalangan sahabat. (al-Mughni, 3/21)

Tafsir Ibnu ‘Abbas dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena tafsir itu berkaitan dengan asbabun nuzul. (Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 84)

Jika pendapat itu seperti yang dikatakan Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah bahwa tidak ada yang menyelisihi fatwa Ibnu ‘Abbas atau Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, maka mestinya kita mengutamakan pendapat mereka berdua dari pendapat yang lain. Pendapat itu juga merupakan pendapat Sa’id bin Jubair, al-Qasim bin Muhammad, dan Qatadah. (al-Mushannaf, 4/216—218)

Perkataan sahabat memiliki nilai tinggi dalam menentukan hukum. Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ucapan para sahabat jika menyebar dan tidak ada pengingkaran di zaman mereka, itu merupakan hujjah menurut mayoritas ulama. Jika mereka berselisih, maka apa yang mereka perselisihkan itu dikembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapan sebagian mereka bukanlah merupakan hujjah jika sahabat yang lain menyelisihinya. Ini kesepakatan ulama. Lalu jika sebagian mereka berpendapat dengan sebuah pendapat kemudian sebagian yang lain tidak menyelisihinya namun pendapat itu tidak tersebar, maka ini juga dipertentangkan. Sedangkan jumhur (kebanyakan) ulama berhujjah dengannya.” (Majmu’ Fatawa, 20/14)

Demikian pula fatwa para sahabat, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam keadaan. Jika ada pada salah satu dari lima keadaan pertama maka itu hujjah yang wajib diikuti. Jika ada pada keadaan yang keenam maka bukan hujjah, yaitu jika sahabat tersebut memahami sesuatu yang tidak diinginkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (salah paham). Tentu lima kemungkinan yang pertama lebih banyak dari kemungkinan yang satu. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in 4/148, Faqih wal Mutafaqqih, 1/174 dari buku Ma’alim fi Ushul Fiqh hlm. 226—227)

Permasalahan

Bila ada seorang wanita hamil di bulan Ramadhan dan ia meninggalkan puasa karena kehamilannya itu. Kemudian ia melahirkan di bulan itu juga, sehingga ia tentu meninggalkan puasa karena nifasnya. Apakah ia wajib mengqadha karena ia meninggalkan puasa karena nifas itu? Kalau dia menganggap dirinya sebagai orang yang menyusui apakah tidak wajib mengqadha?


Masalah ini telah dijawab oleh asy-Syaikh al-Albani, ia berkata, “Jika bertepatan ketika ia nifas dan juga menyusui, maka jawabnya: ia seperti keadaannya semula yaitu ketika hamil, tidak ada qadha atasnya. Yang wajib atasnya adalah fidyah.” (Majalah al-Ashalah edisi 15—16 hlm. 120)

Hukum Seputar Qadha

Kewajiban mengqadha memiliki tenggang waktu sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia berkata, “Dulu saya punya kewajiban berpuasa Ramadhan tapi saya tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat ini jelas bahwa ‘Aisyah baru bisa mengqadha di akhir bulan sebelum Ramadhan yang menunjukkan ada keluasan waktu dalam masalah ini. Hanya saja hal ini terbatasi sampai pada Ramadhan berikutnya. Adapun setelah Ramadhan berikutnya lewat dan dia tidak mempunyai udzur, ia tetap melakukan qadha tapi ada hukumannya sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Jika seseorang bisa segera melakukan qadha, maka itu lebih baik karena segala amal kebajikan secara umum. Jika semakin cepat dilakukan maka akan semakin baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ
“… Dan cepat-cepatlah menuju maghfirah dari Rabb kalian…” (Ali ‘Imran:133)

Bagaimana dengan seseorang yang baru mengqadha setelah lewat Ramadhan berikutnya? Jika ia melakukan hal itu karena udzur syar’i (alasan yang dibenarkan syari’at) maka hendaknya ia mengqadha saja. Adapun jika mengakhirkannya tanpa ada udzur yang syar’i maka di samping mengqadha, hendaknya ia juga membayar fidyah (kaffarah/ith’am). Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata berkaitan dengan wanita yang mengakhirkan qadhanya sampai Ramadhan kedua, “Hendaknya ia puasa bersama manusia kemudian berpuasa (mengqadha) yang ia remehkan dalam mengqadhanya, ditambah memberi makan untuk satu orang miskin setiap harinya.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/197, ia katakan sanadnya sahih mauquf. Lihat juga Syarhul ‘Umdah Kitabus Shiyam [1/350])

Demikian pula yang difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, lihat Fatawa Ramadhan (2/554—555).

Dalam mengqadha tidak wajib berurutan, bahkan boleh terpisah-pisah. Karena Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ayat-Nya hanya mengharuskan qadha dan tidak menerangkan harus berurutan. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak mengapa untuk dipisah-pisah.” (Lihat Shifat Shaum an-Nabi hlm. 74).

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Jika seseorang ingin, silakan memisah-misah dan jika ingin, silakan berurutan.” (ibid, 76)

Orang yang sengaja berbuka di bulan Ramadhan tanpa udzur tidak perlu mengqadha. Demikian menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah. Itu juga pendapat Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ali, dan yang lain g, serta dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani (Tamamul Minnah, hlm. 425). Ini karena dosanya yang besar.

Hukum Seputar Fidyah

Berapa ukuran fidyah?

Dalam masalah ukuran fidyah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Disebutkan hal ini oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Katanya: Para ulama berbeda pendapat pada ukuran makanan (fidyah) yang mereka berikan. Jika mereka tidak berpuasa sehari, maka:

Sebagian mereka mengatakan, wajib memberi makan orang miskin setengah sha’ (setengah ukuran zakat fitrah) dari qumh (gandum).
Sebagian mengatakan satu mud dari qumh dan seluruh makanan pokok (seperempat ukuran zakat fitrah).
Sebagian mengatakan setengah sha’ jika dari qumh dan satu sha’ (sama dengan ukuran zakat fitrah) jika dari kurma atau anggur kering.
Sebagian mengatakan, sesuai dengan makanannya ketika dia tidak puasa. (Tafsir ath-Thabari, 2/143)
Yang difatwakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma adalah setengah sha’ atau kurang lebih 1,5 kg (Riwayat ad-Daruquthni, 2/207 no. 12) dan pendapat ini dipilih asy-Syaikh Ibnu Baz, serta Lajnah Fatwa Saudi Arabia (Fatawa Ramadhan, 2/554—555 dan 604).

Gulai Kambing

Bolehkah memberi fidyah dengan makanan yang siap santap?

Dibolehkan seseorang yang menyediakan makanan siap saji dengan takaran yang dapat mengenyangkan si miskin, (Fatawa Ramadhan, 2/652). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ketika beliau lemah untuk berpuasa (genap satu bulan, red). Beliau kemudian membuat satu mangkok besar tsarid (roti yang diremas lalu dicampur kuah) lalu beliau undang 30 orang miskin sehingga mengenyangkan mereka. (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/207 no. 6 dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil, 4/21)

Tidak diperbolehkan membayar fidyah dengan uang, tetapi harus dengan makanan karena demikianlah disebut dalam Al-Qur’an. (Fatawa Ramadhan, 2/652). Lain halnya—wallahu a’lam—jika seseorang sekadar mewakilkan, dengan maksud memberi orang lain baik individu maupun lembaga sejumlah uang agar dibelikan makanan untuk orang miskin, maka itu boleh.

Dibolehkan membayar fidyah sekaligus atau terpisah-pisah waktunya. (Lajnah Fatwa Saudi Arabia, Fatawa Ramadhan, 2/652 )



Bolehkah memberi fidyah kepada orang miskin yang kafir?

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, “Jika di daerahnya ada orang Islam yang berhak, maka diberikan kepadanya. Tapi jika tidak ada, maka disalurkan ke negeri-negeri Islam yang membutuhkannya.” (Fatawa Ramadhan, 2/655)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

http://asysyariah.com/orang-orang-yang-tidak-wajib-berpuasa/

Friday, April 26, 2019

Safar adalah Bagian dari Adzab

YA ALLAH, MUDAHKANLAH PERJALANAN KAMI


✈Safar atau perjalanan jauh adalah kesusahan. Bagaimana tidak, betapa banyak kesedihan yang harus ditahan, kelelahan dan rasa khawatir yang harus dirasakan, makanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan ia bagian dari adzab, beliau bersabda :

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ

“Perjalanan itu adalah potongan (bagian) dari adzab.” 
(HR. Bukhari: 1804, Muslim: 1927)

💺Karenanya, disyariatkan membaca do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar Allah memberikan perlindungan dan keberkahan. 
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ia mengatakan : Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di atas kendaraan hendak bepergian, maka terlebih dahulu beliau bertakbir sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membaca do’a sebagai berikut :

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ

Artinya : “Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga.” 
(HR. Muslim: 1342)

🍁Bahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan agar banyak-banyak berdo’a selama perjalanan karena do’a seorang musafir itu mustajab, beliau bersabda :

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

“Tiga waktu diijabahi (dikabulkan) do’a yang tidak diragukan lagi yaitu : do’a orang yang terzholimi, do’a seorang musafir, do’a orang tua pada anaknya.” 
(HR. Ahmad: 7510, Tirmidzi: 1905)

🏷Oleh sebab itu, selama perjalanan isilah dengan do’a kepada Allah, mohon perlindungan, minta semuanya dari kebaikan dunia dan akhirat kita. Karena ini adalah waktu mustajabah. 
Semoga Allah memudahkan langkah, memberkahi serta melindungi perjalanan kita. 

🔰Semoga bermanfaat.

Ditulis oleh : Zahir al-Minangkabawi
Diterbitkan oleh : Lajnah Dakwah Yayasan Maribaraja
M A R I B A R A J A .COM
Art0457-ArtikelSalayok:
http://bit.ly/2IK1ptt
══════◎•❀•◎﷽◎•❀•◎══════

Telah diberikan izin untuk reposting artikel dari Maribaraja.com, bukti izin klik https://drive.google.com/file/d/16UE-GxbU4aBA-gYYtA22KidutpZXmfXo/view?usp=drivesdk

♻Silahkan dishare.

Sunday, April 7, 2019

Tingkatan Orang Yang Berpuasa

dr. Raehanul Bahraen 15 June 2018 


Amalan puasa adalah amalan yang luar biasa dan memiliki pahala yang Allah membalasnya secara langsung. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Semua amal Bani Adam akan dilipatgandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.” [HR. Muslim]

Dalam riwayat yang lain, Allah sendiri yang akan membalasnya karena seorang hamba meninggalkan semuanya itu karena Allah.

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya, sebab ia telah meninggalkan makannya, minumnya dan syahwatnya karena Aku.” [HR. Ahmad]

Bahkan pahala yang hamba dapatkan karena berpuasa karena Allah bisa jadi berupa pahala yang tidak terhingga di mana hanya Allah saja yang tahu kadarnya. Ibadah puasa sangat identik dengan kesabaran yaitu menahan diri dari berbagai pembatal dan yang bisa mengurangi pahala puasa. Hal ini termasuk dalam firman Allah,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [QS. Az Zumar: 10]

Mengingat besarnya pahala puasa, hendaknya kita bersungguh-sungguh menjalani puasa sampai tingkatan yang paling baik. Ibnu Qudamah menjelaskan tingkatan orang yang berpuasa:

 Tingkatan orang awam yang hanya sebatas menahan perut dan kemaluan saja
Tingkatan puasa khusus yaitu juga menahan pandangan lisan, penglihatan dan semua anggota badan dari perbuatan dosa
Tingkatan puasa yang lebih khusus menahan diri dari keinginan-keinginan yang jelek yang dapat menjauhkan dari Allah
Beliau berkata,

فأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة وأما صوم الخصوص فهو كف النظر ، واللسان، واليد، والرجل ، والسمع ، والبصر، وسائر الجوارح عن الآثام . وأما صوم خصوص الخصوص فهو صوم القلب عن الهمم الدنيئة، والأفكار المبعدة عن الله تعالى، وكفه عما سوى الله تعالى بالكلية، وهذا الصوم له شروح تأتى فى غير هذا الموضع

“Puasa orang awam yaitu sebatas menahan perut dan kemaluan dari keinginan syahwatnya. Sedangkan puasa orang khusus menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari segala perbuatan dosa. Sedangkan puasa orang yang lebih khusus yaitu puasanya hati dari keinginan-keinginan yang hina, serta pikiran-pikiran yang dapat menjauhkan dirinya dari Allah serta menahannya secara total dari segala sesuatu selain Allah Ta’ala.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 45]

Semoga kita bisa mewujudkan tujuan dari puasa dan bulan Ramadhan yaitu bertakwa kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [Al-Baqarah:183]

@ Yogyakarta tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40362-tingkatan-orang-yang-berpuasa.html

Tata Cara Wudhu untuk Orang yang Puasa


Pertanyaan:

Assalaamu’alaikum, Ustadz mau nanya nih, bagaimana wudlunya orang yang berpuasa ?
tetap berkumur apa nggak ? Tks…

Dari: Zazam

Jawaban:

Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Tata cara wudhu orang yang puasa sama dengan tata cara wudhu pada umumnya. Artinya tetap melakukan kumur-kumur, dan menghirup air ke dalam hidung. Hanya saja, tidak boleh terlalu keras, karena dikhawatirkan bisa masuk ke lambung.

Berikut beberapa dalilnya,

Dari Laqith bin Shabrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

Sempurnakanlah wudhu, bersungguh-sungguhlah ketika istisyaq (menghirup air ke dalam hidung), kecuali ketika kamu sedang puasa. (HR. Nasa’i 87, Abu Daud 142, Turmudzi 788 – hadis shahih)

Imam Ibnu Baz ketika menjelaskan hadis ini, mengatakan,

فأمره صلى الله عليه وسلم بإسباغ الوضوء ثم قال : (وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائماً) فدل ذلك على أن الصائم يتمضمض ويستنشق ، لكن لا يبالغ مبالغة يخشى منها وصول الماء إلى حلقه ، أما الاستنشاق والمضمضة فلابد منهما في الوضوء والغسل ؛ لأنهما فرضان فيهما في حق الصائم وغيره

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyempurnakan wudhu, kemudian beliau bersabda,

‘bersungguh-sungguhlah ketika istisyaq, kecuali ketika kamu sedang puasa’

ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa juga berkummur dan menghirup air ke dalam hidung. Hanya saja tidak boleh terlalu keras, karena dikhawatirkan akan ada air yang masuk kerongkongannya. Sementara istinsyaq dan berkumur tetap harus dilakukan dalam wudhu maupun mandi, karena keduanya merupakan kewajiban dalam wudhu, baik untuk orang yang puasa maupun lainnya.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah, 15/280)

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya,

‘Apakah berkumur tidak disyariatkan untuk wudhunya orang yang puasa?’

Jawab beliau,

ليس هذا بصحيح، فالمضمضة في الوضوء فرض من فروض الوضوء، سواء في نهار رمضان أو في غيره للصائم ولغيره

Kesimpulan ini tidak benar. berkumur ketika wudhu termasuk salah satu kewajiban dalam wudhu. Baik dilakukan di siang hari ramadhan atau waktu lainnya bagi orang yang puasa.

(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, jilid ke-19, Bab: Pembatal-pembatal Puasa)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/18804-wudhu-saat-puasa-2.html

Friday, April 5, 2019

Bersegera Membayar Hutang


Mungkin ada orang yang punya hutang pada orang lain, ketika ia punya uang untuk membayar dan mampu, ia tidak segera melunasinya. Ia malah sibuk membeli kebutuhan tersier/mewah bahkan pamer. Ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Agama islam menekankan bahwa yang namanya hutang itu adalah darurat. Tidak bermudah-mudah berhutang dan hanya dilakukan di saat sangat dibutuhkan saja. Jika sudah mampu membayar, maka segera bayar. Jika sengaja memunda membayar hutang padahal mampu ini adalah kedzaliman.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃُﺗْﺒِﻊَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠِﻰٍّ ﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊْ ‏

“Penundaan (pembayaran hutang dari) seorang yang kaya adalah sebuah kelaliman, maka jika salah seorang dari kalian dipindahkan kepada seorang yang kaya maka ikutilah.”[1]

Sengaja Menunda Pelunasan? Awas Bahaya Dunia-Akhirat!
Sangat bahaya dan rugi dunia-akhirat, jika sengaja menunda membayar hutang padahal mampu. Berikut beberapa hal tersebut:

1) Jika meninggal dan membawa hutang, ia akan terhalang masuk surga meskipun mati syahid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

“Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi.”[2]

2) Keadaannya atau nasibnya menggantung/ tidak jelas atau tidak pasti apakah akan selamat atau binasa
Tentu kita sangat tidak senang dengan ketidakpastian, apalagi urusannya adalah di akhirat nanti yaitu antara surga atau neraka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.”[3]

Syaikh Abul ‘Ala Al-Mubarfkafuri rahimahullah menjelaskan hadits ini,

قال السيوطي أي محبوسة عن مقامها الكريم وقال العراقي أي أمرها موقوف لا حكم لها بنجاة ولا هلاك حتى ينظر هل يقضى ما عليها من الدين أم لا انتهى

“Berkata As Suyuthi, yaitu  orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang mulia. Sementara Imam Al ‘Iraqi mengatakan urusan orang tersebut terhenti (tidak diapa-apakan), sehingga tidak bisa dihukumi sebagai orang yang selamat atau binasa, sampai ada kejelasan nasib hutangnya itu sudah dibayar atau belum.”[4]

3) Sahabat yang punya hutang tidak dishalati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal shalat beliau adalah syafaat
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?”  Mereka menjawab: “Ya, dua dinar. Beliau bersabda,“Shalatlah untuk sahabat kalian.”[5]

Maksudnya adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam ingin menjelaskan kepada para sahabatnua bahwa, hutang sangat tidak layak ditunda dibayar sampai meninggal, padahal ia sudah mampu membayarnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafaat. Beliau berkata,

وَكَانَ إذَا قُدّمَ إلَيْهِ مَيّتٌ يُصَلّي عَلَيْهِ سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَمْ لَا ؟ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ صَلّى عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ لَمْ يُصَلّ عَلَيْهِ وَأَذِنَ لِأَصْحَابِهِ أَنْ يُصَلّوا عَلَيْهِ فَإِنّ صَلَاتَهُ شَفَاعَةٌ وَشَفَاعَتَهُ مُوجَبَةٌ

“Jika didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seorang mayit, lalu dia hendak menshalatkan maka Beliau akan bertanya, apakah dia punya hutang atau tidak? Jika dia tidak punya hutang maka Beliau   menshalatkannya, jika dia punya hutang maka Beliau tidak mau menshalatkannya, namun mengizinkan para sahabat menshalatkan mayit itu. Sesungguhnya shalat Beliau (untuk si mayit) adalah syafaat (penolong) dan syafaat Beliau adalah hal yang pasti.”[6]

4) Orang yang berhurang dan berniat tidak mau melunasi , akan bertemu dengan Allah dengan status sebagai pencuri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺃَﻳُّﻤَﺎ ﺭَﺟُﻞٍ ﻳَﺪَﻳَّﻦُ ﺩَﻳْﻨًﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﻣُﺠْﻤِﻊٌ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳُﻮَﻓِّﻴَﻪُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ ﻟَﻘِﻰَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺳَﺎﺭِﻗًﺎ

“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.”[7]

5) Status berhutang membuat pelakunya mendapatkan kehinaan di siang hari dan kegelisahan di malam hari
Umar bin Abdul Aziz berkata,

ﻭﺃﻭﺻﻴﻜﻢ ﺃﻥ ﻻ ﺗُﺪﺍﻳﻨﻮﺍ ﻭﻟﻮ ﻟﺒﺴﺘﻢ ﺍﻟﻌﺒﺎﺀ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪّﻳﻦ ﺫُﻝُّ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻫﻢ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ، ﻓﺪﻋﻮﻩ ﺗﺴﻠﻢ ﻟﻜﻢ ﺃﻗﺪﺍﺭﻛﻢ ﻭﺃﻋﺮﺍﺿﻜﻢ ﻭﺗﺒﻖ ﻟﻜﻢ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﺎ ﺑﻘﻴﺘﻢ

“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah- tengah manusia selama kalian hidup.” [8]

Bagi yang memang harus berhutang karena terpaksa dan darurat, tidak perlu terlalu khawatir karena jika memang terpaksa dan berniat benar-benar membayar, maka akan dibantu oleh Allah. Ancaman tersebut bagi orang yang punya harta dan berniat tidak membayarnya.

Al-Munawi menjelaskan,

والكلام فيمن عصى باستدانته أما من استدان حيث يجوز ولم يخلف وفاء فلا يحبس عن الجنة شهيدا أو غيره

“Pembicaraan mengenai hal ini berlaku pada siapa saja yang mengingkari hutangnya. Ada pun bagi orang yang berhutang dengan cara yang diperbolehkan dan dia tidak menyelisihi janjinya, maka dia tidaklah terhalang dari surga baik sebagai syahid atau lainnya.”[9]

Ash-Shan’ani juga menegaskan demikian, yaitu bagi mwreka yang berhutang tapi berniat tidak mau melunasinya. Beliau berkata

ويحتمل أن ذلك فيمن استدان ولم ينو الوفاء

“Yang demikian itu diartikan bagi siapa saja yang berhutang namun dia tidak berniat untuk melunasinya.”[10]

Semoga Allah menjauhkan kita sejauh-jauhnya dari hutang.

@Di antara langit dan bumi Allah, pesawat Garuda Jakarta-Yogyakarta

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslim.or.id

Catatan Kaki

[1] HR. Bukhari
[2] HR. Ahmad No. 22546, An Nasa’i No. 4684, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 556 Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’  No. 3600
[3] HR. At Tirmidzi No. 1079, Ibnu Majah No. 2413, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 10607
[4] Tuhfah Al Ahwadzi, 4/164, Darul Kutub Al-ilmiyah, Beirut, Syamilah
[5]  HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalamShahih wa Dhaif Sunan Abi DaudNo. 3343
[6] Zaadul Ma’ad, 1/486, Mu’ssasah Risalah, Beirut, cet. XVII, 1415 H, Syamilah
[7] HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih
[8] Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71
[9]  Faidhul Qadir, 6/463, Maktabah At-Tijariyah, Mesir, cet.I, 1356 H, syamilah
[10]  Subulus Salam 2/71, Darul Hadits, syamilah

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29942-bahaya-tidak-segera-membayar-hutang-padahal-mampu.html

Melawan Budaya yang Buruk Kuliner

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits
Posted by Khoir Bilah


Mari sejenak kita membaca bagaimana kesederhanaan Nabi SAW dalam urusan makan, di antara kesederhanaan Nabi SAW adalah seusai sholat subuh beliau tidak langsung pulang namun beliau berdzikir hingga terbit matahari baru setelah itu Nabi SAW pulang dan menemui istrinya. Kita akan simak bagaimana penuturan ummul mukmini Aisyah RA.

Beliau pernah menceritakan suatu ketika Nabi SAW pernah menemuiku kemudian beliau bertanya: apakah kalian memiliki sesuatu untuk sarapan(untuk di makan)? masyaAllah pertanyaan yang sangat sederhana apakah anda, apakah kalian memiliki sesuatu untuk sarapan? hanya sesuatu, sekalipun sangat sederhana yang penting bisa untuk sarapan. Ketika Aisyah RA tidak memiliki makanan untuk sarapan sang istri dengan jujur mengatakan: tidak ada yaa Rasulullah.

Coba kita bisa perhatikan bagaimana jawaban suami yang mulia ini? Ketika beliau mendengar tidak ada yang bisa dimakan yaa Rasulullah, beliau mengatakan: jika demikian saya puasa saja. Subhanallah jawaban yang sangat indah dari seorang suami terbaik didunia, ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari dialog sederhana ini, namun kita hanya akan membatasi untuk masalah pola makan Rasulullah SAW.

Kita bisa perhatikan, bagi Nabi SAW urusan makan merupakan masalah yang paling sederhana, prinsip beliau kalau ada dimakan, kalau tidak ada beliau puasa, beliau tidak pesan untuk di masakkan yang aneh-aneh atau minta istri untuk di datangkan makanan yang merepotkan dirinya. Kemudian hal istimewa lainnya  Nabi SAW tidak pernah mencela makanan, jika beliau berselera beliau akan makan dan jika beliau kurang selera beliau tinggalkan, sama sekalitidak mencela makanan, tidak memberikan komentar untuk makanan.

Kita bisa simak bagaimana persaksian Abu Hurairoh RA, beliau pernah mengatakan:

“Rasulullah SAW beliau sama sekali tidak pernah mencela makanan, jika beliau menyukai beliau akan makan dan jika beliau tidak selera beliau tinggalkan”

Baik, kita akan coba bandingkan dengan kondisi masyarakat di zaman kita sekarang ini, kita bisa perhatikan ketika masyarakat sudah di kendalikan oleh sebuah budaya yang di kenal dengan budaya kuliner, urusan makan itu menjadi sesuatu yang sangat rumit bahkan yang di fikirkan bukan lagi soal rasa sampai yang difikirkan adalah soal cara penyajian, bagaimana dia makan, bagaimana cara orang bisa bahagia ketika makan dan itu menyita banyak perhatian.

Sampai saya pernah mendengar ada sebuah restaurant yang menyajikan makanan disamping kandang singa masyaAllah, laa haula walaa quwwata illa billah, hanya untuk mendapatkan kepuasan makan, orang itu harus makan yang aneh-aneh.

Dulu mungkin kita tidak pernah begitu perhatian dengan yang namanya sarjana ahli masak, kita tidak pernah perhatian dengan jurusan tata boga, sekarang masyaAllah permintaannya luar biasa peminatnya banyak sekali bahkan menjadi salah satu kebanggaan orang itu banyak yang sudah bercita-cita jadi cheef ahli masak hingga melupakan ilmu-ilmu yang lainnya yang lebih berharga.

Itulah budaya kuliner, budaya yang telah mempengaruhi banyak manusia menjadi budak bagi pencernaannya, budaya yang mendidik orang untuk bersikap boros, budaya yang mengajarkan kita buang-buang waktu hanya untuk satu urusan yaitu urusan perut. Semoga Allah SWT menjadikan kita hambanya yang bisa menghargai waktu.

Sumber: https://catatankajian.com/674-melawan-budaya-kuliner-ustadz-ammi-nur-baits.html