Showing posts with label Hadits. Show all posts
Showing posts with label Hadits. Show all posts

Friday, August 12, 2022

Apakah Terdapat Hadits Yang Menjelaskan Bahwa Istri Umar Rdliyallahu Anhu Dulu Pernah Berkata Keras Di Hadapan Umar Sehingga Umar Terdiam Karenanya Dan Bersabar Atas Kejadian Tersebut?


Pertanyaan

Semoga Allah Ta’ala selalu mengasihi anda dan mohon penjelasannya tentang kabar yang tersebar luas di internet pada masa ini yang menyebutkan bahwa ada seorang lelaki yang marah kepada istrinya karena dia telah berkata keras kepadanya. Lalu dia beranjak pergi menemui Umar bin Al Khatthab untuk mengadukan kasus istrinya kepada beliau. Ketika dia telah sampai di depan rumah Umar dan hendak mengetuk pintu tiba-tiba dia mendengar istri Umar berkata keras melebihi suara Umar. Kemudian secepat kilat dia kembali – tidak jadi menemui Umar –. Bagaimanakah kebenaran khabar ini apakah dia shahih? Jika memang Shahih, apakah dapat dijadikan sebagai argumentasi dibolehkannya seorang istri bersuara keras melebihi suara suaminya?

Donasi untuk situs islamqa.info

Saham

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama :

Kisah ini yang selengkapnya adalah, bahwa seorang lelaki datang kepada Umar guna mengadukan perilaku dan akhlak istrinya kepada beliau. Lalu dia berdiri di depan pintu rumah Umar menunggu beliau tiba-tiba dia mendengar istri Umar berbicara panjang lebar di hadapan beliau sedang beliau hanya terdiam tidak membalas pembicaraan istrinya. Kemudian lelaki tadi beranjak pergi seraya bergumam, ‘Jika memang seperti ini kondisi Amirul Mukminin Umar bin Khatthab bagaimana dengan keadaan saya sendiri?’ Kemudian Umar-pun keluar rumah dan melihatnya pergi meninggalkan rumahnya lalu beliau memanggilnya, ‘Apa keperluanmu wahai saudaraku?’ Lelaki inipun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin saya datang untuk mengadukan akhlaq dan perilaku istriku serta omongannya kepadaku, lalu aku mendengar sendiri istri anda juga melakukan hal yang sama. Maka akupun beranjak pergi seraya bergumam, ‘Jika memang seperti ini kondisi Amirul Mukminin Umar bin Khatthab dengan istrinya, maka bagaimanakah dengan keadaan saya sendiri?”

Lalu Umar pun berkata kepadanya, “Sesungguhnya saya bersabar kepadanya karena memang dia memiliki hak-hak yang harus saya penuhi. Sungguh dia memasak makanan buat saya, membuatkan roti untuk saya, mencuci pakaian saya dan menyusuai anak-anak saya. Padahal yang demikian itu bukan merupakan kewajiban atasnya. Sementara, di sisi yang lain hatiku merasa tentram dengannya sehingga mencegahku dari hal-hal yang haram. Oleh sebab itu aku bersabar terhadap sikapnya yang demikian tersebut. Kemudian lelaki tersebut berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah demikian pula dengan istri saya?” Umar pun berkata, “Maka bersabarlah anda dengan sikapnya wahai saudaraku karena sesungguhnya hal itu hanya beberapa saat saja.”

Sesungguhnya kisah ini kami tidak mendapatkan asal muasalnya. Tidak pula kami dapati  seseorang dari ulama yang membicarakan terkait hadits tersebut sedikitpun. Akan tetapi hadits tersebut disebutkan oleh As syaikh Sulaiman bin Muhammad Al Bujairmi al Faqih As Syafii dalam kitab Hasyiyah Ala Syarhil Manhaj (3/ 142-144), sebagaimana yang disebutkan juga oleh Abu al-Laits As Samaraqandi al Faqih al Hanafi dalam kitabnya    “Tanbihul Ghaafilin” (hal. 517), demikian juga Ibnu Hajar Al Haitsami menyebutkan dalam kitabnya “Az zawajir ” (2/80) dan beliau tidak menyebutkan satupun sanadnya.. Bahkan mereka semua yang meriwayatkan menggunakan lafadz, “Disebutkan bahwa seorang lelaki, atau diriwayatkan bahwa seorang lelaki”. Ungkapan seperti ini mengandung tidak shahihnya sebuah riwayat yang mengarah kepada lemahnya riwayat   tersebut. Hal inilah yang menunjukkan bahwa kisah tersebut tidak Shahih, dan yang demikian dikuatkan oleh hal-hal berikut :

- Bertentangan dengan riwayat-riwayat yang masyhur tentang Umar Radliyallahu Anhu dalam sirahnya bahwa beliau adalah sosok pribadi yang sangat berwibawa di tengah masyarakat, maka apalagi di hadapan istri-istri beliau?

-Dalam sebuah riwayat cIbnu Abbas Radliyallahu Anhuma berkata 

مكثت سنة أريد أن أسأل عمر بن الخطاب عن آية فما أستطيع أن أسأله هيبة له )رواه البخاري، رقم 4913 ومسلم، رقم 1479)

“Aku tinggal menetap selama setahun bersama Umar bin Al Khatthab ingin menanyakan tentang satu ayat dalam Al Qur’an, akan tetapi aku enggan bertanya kepadanya karena kewibawaan beliau.” (HR. Bukhari, no. 4913 dan  Muslim, no. 1479)

Dan dalam riwayat lain, dari Amr bin Maimun dia berkata: 

شَهِدْتُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ طُعِنَ فَمَا مَنَعَنِي أَنْ أَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ إِلَّا هَيْبَتُهُ، وَكَانَ رَجُلًا مَهِيبًا (حلية الأولياء، 4/151)

“Aku menyaksikan pada hari di mana Umar Radliyallahu Anhu ditikam. Tidaklah ada yang mencegahku untuk berada di shaf pertama melainkan karena kewibawaan beliau, karena dia adalah seseorang yang sangat berwibawa.” (Hilyatul Auliya,  4/151). 

- Kerasnya suara istri Umar di hadapan beliau Radliyallahu Anhuma hingga terdengar siapa saja yang berada di luar rumah sedang beliau hanya terdiam, adalah suatu yang mungkar dan tiada beralasan. Bagi siapa saja yang mengetahui kondisi Amirul Mukminin pasti akan mengingkari yang demikian tersebut. Karena setan pun takut kepada Umar. Seandainya Umar berjalan di satu titian jalan maka pastilah setan akan memilih jalan selain jalan yang dilalui oleh beliau, dan para wanita yang meninggikan suara-suara mereka di hadapan para suami mereka tidak pernah di dapat dalam sejarah para salaf. 

- Terkait perkataan beliau tentang, “Sesungguhnya dia memasak makanan buat saya, membuatkan roti untuk saya, mencuci pakaian saya dan menyusui anak-anak saya, dan bukanlah yang demikian tersebut merupakan kewajiban atasnya.” Merupakan ungkapan yang tidak benar. Karena pelayanan istri kepada suaminya secara baik merupakan hal yang wajib atasnya. Perhatikan kembali jawaban soal no.  119740,  khususnya tentang menyusui, bahwa seorang istri wajib menyusui putra-putrinya apabila dalam asuhan suaminya. Hal itu dilakukannya dengan tanpa ada upah. Lihat kembali jawaban soal no. 130116.

Ringkasnya, bahwa kisah ini tidak ada asal-muasalnya, dan matannya mengindikasikan kemungkaran dan ketidak benaran.

Atas dasar itu, maka tidak dibenarkan menjadikan dalil dengan kisah tersebut dibolehkannya seorang istri mengeraskan suaranya di hadapan suaminya.

Kedua :

Seorang istri yang meninggikan suaranya dihadapan suaminya merupakan gambaran adab yang buruk dan tidak adanya keharmonisan, dan yang demikian dilarang.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, “Bagaimana hukumnya seorang istri yang meninggikan suaranya dihadapan suaminya dalam urusan-urusan rumah tangga?”

Beliau Rahimahullah Ta’ala menjawab, “Kami katakan bagi istri yang semacam ini bahwa meninggikan dan mengeraskan suara di hadapan suami merupakan cerminan adab yang buruk. Karena seorang suami adalah pemimpin baginya dan yang menaunginya, maka sudah sepantasnya dia memuliakan suaminya yang ketika berbicara kepadanya harus dengan adab dan sopan santun. Karena sesungguhnya yang demikian sangat lebih dipentingkan agar hubungan keduanya tetap abadi dan senantiasa dihiasai dengan kasih sayang antara keduanya.

Demikian pula dengan suami maka dia juga harus mempergauli istrinya secara baik, yaitu saling timbal-balik dalam memberikan kebaikan, Allah Ta’ala berfirman :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً (سورة النساء: 19)

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak ”. (QS An Nisaa: 19)

Maka nasihatku untuk istri yang semacam ini hendaklah dia bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla terhadap diri dan suaminya, dan hedaklah dia tidak meninggikan suaranya di depan suaminya, terlebih lagi jika suaminya berbicara kepadanya dengan suara yang lembut dan tenang”.

(Dari kumpulan Fatawa Nuurun Ala ad Darbi, 2/19., dengan edisi penomoran yang sempurna) Sebagai tambahan,  lihat kembali jawaban soal no.  125374

Wallahu Ta’ala A’lam.

Saturday, January 1, 2022

Memohon Perlindungan dari Hutang

 ONE DAY ONE HADITS

Ahad, 2 Januari 2022 / 29 Jumadil Ula 1443

Pentingnya Memohon Perlindungan dari Hutang 

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنْ الْمَغْرَمِ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

Dari ‘Urwah bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah SAW berdo’a dalam shalat: ” ALLAHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHRAMI ” (Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit hutang).

Lalu ada seseorang yang bertanya: “Mengapa anda banyak meminta perlindungan dari hutang, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang apabila sedang berhutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering menyelisihinya”. (HR Bukhari)

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:

1- Hadits di atas menjelaskan

contoh isti’adzah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-isti’adzah artinya meminta perlindungan. Ulama kita menjelaskan bahwa al-isti’adzah adalah termasuk ibadah yang sangat penting.

2- Para ulama menyebutkan tentang contoh-contoh ibadah yang tidak boleh dipalingkan kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidak lupa menyebutkan al-Isti’adzah. Dan karena pentingnya masalah ini, dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat khusus tentang al-isti’adzah yang dikenal dengan surat Al-Mu’awwizatain, surat tentang meminta perindungan yaitu dalam surat al-Falaq dan serta an-Nas.

3- Al-isti’adzah merupakan salah satu bentuk doa, makanya pada hadits yang disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, dan doanya ternyata al-isti’adzah. Karena pada hakikatnya, jika kita perhatikan seorang yang berdoa dengan doa apa saja, maka pasti dia tidak akan lepas dari dua hal yaitu meminta manfaat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti meminta rezki, ilmu dan meminta agar diberi anak atau  meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dijauhkan dari kemudharatan atau dari suatu bahaya atau sesuatu yang ditakuti.

4- Adapun minta dijauhkan dari bahaya, inilah yang dibahasakan dengan al-isti’adzah atau meminta perlindungan.

5- Mengapa banyak meminta perlindungan dari hutang?. Sesungguhnya seseorang apabila sedang berhutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering menyelisihinya. 

Tema hadist yang berkaitan dengan Al qur'an :

1- Masalah al-isti’adzah ini telah dibahas panjang lebar oleh ulama kita, terutama ketika membahas tafsir dari surat al-Falaq dan surat an-Nas. Dan juga ketika mereka memulai tafsir dari Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an dimulai dengan surat Al-Fatihah dan membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم

“Apabila kalian hendak membaca Al-Qur’an maka berlindunglah kepada Allah dari godaan Setan.” (Q.S. an-Naml: 98).

2- Utang piutang seolah tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Memang utang piutang tidak diharamkan dalam Islam, tetapi hal ini bisa menjadi haram apabila tidak dibayar sesuai dengan perjanjian.

Begitu pentingnya utang piutang, Allah Swt berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 282 dengan cukup panjang:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ .

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai, supaya jika seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kalian jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kalian. (Tulislah muamalah kalian itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian; maka tak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kalian berjual-beli; dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kalian lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kalian; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

[Al baqoroh :282].

Monday, October 11, 2021

Ilmu Agama Warisan Nabi

 *ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢِ*

*ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪُ*

☘ *ONE DAY ONE HADITS* 

Senin, 04 Rabiul Awal1443 H / 11 Oktober 2021 M.

*Ilmu Agama Warisan  Nabi*

عن أبي درداء رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:

إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Dari Abu Darda rodhiAllahu anhu berkata bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam:

“Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.” [Hr Abu Daud].

*Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:*

1- Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu tentang al-bayyinah (penjelasan) dan al-huda (petunjuk) yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa Sallam. Hal ini karena ilmu tersebutlah yang mendapatkan pujian dan sanjungan.

2- Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab khusus tentang hal ini dalam kitab Shahih-nya karena kandungan mulia yang ada dalam hadist di atas. Beliau memberi judul bab tersebut dengan nama “Bab Ilmu sebelum berbicara dan beramal.

3- Dua hal penting warisan  Nabi, yaitu berilmu kemudian beramal.

4- Hal ini menunjukkan bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amal dan ilmu adalah syarat untuk meluruskan perkataan dan amalan. Artinya, keduanya (perkataan dan amalan) tidak bermakna melainkan jika dilandasi oleh ilmu. Oleh karena itu, ilmu didahulukan daripada perkataan dan amalan, karena ilmu akan meluruskan niat dan niat akan meluruskan amalan.

*Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran:*

1- Allah menjadikan amalan menuntut ilmu sama tingkatannya dengan amalan jihad di jalan Allah dan bahkan lebih utama dari jihad. 

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Dan tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi sebagian dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan untuk kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122).

2- Bahwa siapa saja yang bersungguh sungguh dan bersemangat dalam THOLABUL ILMI SYAR’I maka akan sampai kepadanya al hidayah (petunjuk) dan al ma’unah (pertolongan) untuk mendapatkan apa yang diinginkan, demikian ini adalah urusan dan kuasa Allah, di luar jangkauan kesungguhannya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Al Ankabut: 69)

*Demikian, Semoga Bermanfaat. Aamiin*

Aqulu qauli hadza, wa astaghfirullahal Adzim li wa lakum. 

ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ

Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik... 

“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu”.

==================================

🍃 Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺑَﻠِّﻐُﻮﺍ ﻋَﻨِّﻰ ﻭَﻟَﻮْ ﺁﻳَﺔً

*“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”*

*(HR.Bukhari)*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻫُﺪًﻯ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﺟْﺮِ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺟُﻮْﺭِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ، ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ ﻣِﺜْﻞُ ﺁﺛَﺎﻡِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺁﺛَﺎﻣِﻬِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ

*Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.*

*(HR.Muslim)*

Dakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla merupakan amal yang sangat mulia, ketaatan yang besar dan ibadah yang tinggi kedudukannya di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ

*Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang  yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.*

*(QS.Ali-Imran [3] :104)*

Dinukil dari berbagai Sumber Yang In Syaa Allah amanah, dengan sedikit perubahan (terjemah bebas) sesuai dengan Pemahaman Shalafus Shalih (Alhus Sunnah Wal Jamaah) oleh : Hamba Allah 

❄ S I L A H K A N    D I S H A®E

Semoga bermanfaat bagi Ummat...

Selamat beraktifitas...

Baarakallahufiikum...