Showing posts with label jenazah. Show all posts
Showing posts with label jenazah. Show all posts

Wednesday, August 3, 2022

Siapa Yang Memandikan Jenazah

 

Ⓜ️𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐃𝐚𝐤𝐰𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐥𝐚𝐟
┈┉┉━━ ❁﷽❁ ━━┉┉┈
*🌸 Kalau Jenazah Perempuan Yang up Mandikan Juga Perempuan  🌸*
                      ━🔅━
_Ustadz 𝐤𝐡𝐚𝐥𝐢𝐝 𝐛𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐡 حفظه الله تعلى_
┈┉┉━━❅❁Ⓝ︎❁❅━━┉┉┈
𝗠𝗮𝗻𝗵𝗮𝗷 𝗦𝗮𝗹𝗮𝗳

~𝐀𝐥𝐥𝐚𝐡 ﷻ 𝐁𝐞𝐫𝐟𝐢𝐫𝐦𝐚𝐧
~𝐑𝐚𝐬𝐮𝐥𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 ﷺ 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐛𝐝𝐚

SIAPA YG BOLEH MEMANDIKAN JENAZAH KITA .

Hukum asalnya: Laki-laki memandikan laki-laki, perempuan memandikan perempuan.

Untuk jenazah laki-laki didahulukan:
-Ayah
-Kakek
-Anak laki-laki
-Cucu laki-laki
-Saudara laki-laki
-Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan)
-Paman (saudara ayah)
-Anak laki-laki dari paman (sepupu)
-Laki-laki yang masih punya hubungan keluarga dekat
-Laki-laki yang tidak punya hubungan keluarga dekat
-Istri

Untuk jenazah perempuan didahulukan:
-Wanita yang masih punya hubungan kerabat
-Wanita yang tidak punya hubungan kerabat
-Suami.

Catatan: Laki-laki lain tidak boleh memandikan jenazah perempuan.

Aturan siapa yang memandikan
Disyaratkan untuk yang memandikan adalah muslim jika jenazah itu muslim.

Jika jenazah itu kafir, maka kerabat yang kafir yang lebih berhak untuk memandikan, kemudian baru kerabat muslim.

Si pembunuh jenazah tidak boleh memandikan jenazah. Ia tidak boleh memandikannya karena ia tidak berhak mendapatkan jatah waris.
Jika tidak didapati untuk yang memandikan jenazah laki-laki selain perempuan bukan mahram, atau tidak didapati yang memandikan jenazah perempuan selain laki-laki yang bukan mahram, maka memandikan jenazah menjadi gugur.

Cukup dengan tayamum untuk menggantikan mandi. Hal ini diqiyaskan seperti orang yang mandi yang tidak mendapati air.

Jika ketika memandikan jenazah laki-laki muslim tidak didapati kecuali laki-laki kafir atau wanita bukan mahram, maka yang lebih layak mandikan adalah laki-laki kafir, lalu yang menyalatkannya adalah wanita muslimah tadi.
Jika yang meninggal dunia itu orang kafir, maka boleh untuk kerabatnya yang muslim memandikan, mengafani, dan menguburkan jenazahnya.

Anak kecil yang tidak mungkin ada syahwat padanya, maka boleh dimandikan oleh laki-laki atau pun perempuan karena ia boleh dipandang dan disentuh, terserah yang meninggal dunia adalah anak kecil laki-laki ataukah perempuan.
Jika wanita kafir dzimmi dan ia memiliki suami muslim, maka suaminya boleh memandikan jenazahnya jika memang tidak ada wanita lain, karena nikah itu sama dengan nasab dalam hal memandikan.
Jika seorang suami mentalak istrinya dengan talak bain, atau talak raj’iy, atau nikahnya faskh (batal), kemudian salah seorang dari mereka berdua meninggal dunia dalam masa ‘iddah, maka tidak boleh yang lain memandikannya, karena dalam hal mahram seperti wanita bukan mahram.

Aturan dalam memandikan jenazah
Hendaklah yang memandikan jenazah itu amanat dan menutup aib yang dimandikan, dan ia tampakkan hanya bagus-bagus saja. Namun jika yang meninggal itu seorang yang fasik (ahli maksiat), maka sah seperti itu (membuka aib).
Yang menghadiri proses memandikan hanyalah yang memandikan atau orang yang mesti membantu.
Bagi wali dari jenazah boleh masuk dalam proses pemandian, walaupun ia tidak memandikan atau membantu memandikan. Tujuannya untuk menyemangati dalam maslahat.

Baarakallahu fiikum

Pembahasan ini kami sarikan dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhailiy.

Sumber https://rumaysho.com/20976-aturan-memandikan-jenazah.html

Thursday, October 7, 2021

BUMI MENOLAK JENAZAH PENGHINA NABI MUHAMMAD ﷺ


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menceritakan,

كانَ رَجُلٌ نَصْرَانِيًّا فأسْلَمَ، وقَرَأَ البَقَرَةَ وآلَ عِمْرَانَ، فَكانَ يَكْتُبُ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَعَادَ نَصْرَانِيًّا، فَكانَ يقولُ: ما يَدْرِي مُحَمَّدٌ إلَّا ما كَتَبْتُ له فأمَاتَهُ اللَّهُ فَدَفَنُوهُ، فأصْبَحَ وقدْ لَفَظَتْهُ الأرْضُ، فَقالوا: هذا فِعْلُ مُحَمَّدٍ وأَصْحَابِهِ لَمَّا هَرَبَ منهمْ، نَبَشُوا عن صَاحِبِنَا فألْقَوْهُ، فَحَفَرُوا له فأعْمَقُوا، فأصْبَحَ وقدْ لَفَظَتْهُ الأرْضُ، فَقالوا: هذا فِعْلُ مُحَمَّدٍ وأَصْحَابِهِ، نَبَشُوا عن صَاحِبِنَا لَمَّا هَرَبَ منهمْ فألْقَوْهُ، فَحَفَرُوا له وأَعْمَقُوا له في الأرْضِ ما اسْتَطَاعُوا، فأصْبَحَ وقدْ لَفَظَتْهُ الأرْضُ، فَعَلِمُوا: أنَّه ليسَ مِنَ النَّاسِ، فألْقَوْهُ

"Dahulu ada seorang nasrani masuk Islam, ia pun membaca surat Al-Baqorah dan Ali Imron, ia juga menulis untuk Nabi ﷺ, namun ia kembali murtad menjadi nasrani, lalu ia berkata: 'Muhammad tidak tahu apa-apa kecuali yang aku tuliskan untuknya'.

Maka Allah pun mematikannya, lalu mereka (kaum nasrani) menguburnya, maka masuklah waktu pagi dan sungguh orang itu telah dimuntahkan kembali oleh bumi sampai keluar dari kuburannya.

Mereka pun berkata: 'Ini pasti ulah Muhammad dan para sahabatnya, karena ia lari meninggalkan Islam maka mereka menggali kuburan teman kita dan melemparnya keluar'.

Maka mereka pun menggali kuburannya lebih dalam lalu menguburnya, tatkala masuk waktu pagi, tubuhnya kembali dimuntahkan oleh bumi hingga keluar dari kuburnya.

Mereka kembali berkata: 'Ini pasti ulah Muhammad dan para sahabatnya, karena ia lari meninggalkan Islam maka mereka menggali kuburan teman kita dan melemparnya keluar'.

Maka mereka kembali menggali bumi lebih dalam semampu mereka, namun saat masuk waktu pagi, bumi kembali memuntahkan tubuhnya.

Mereka pun menyadari, ini bukan perbuatan manusia (melainkan azab Allah), maka mereka melempar tubuhnya." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Al-Harani rahimahullah berkata,

"Orang terlaknat ini yang berdusta atas Nabi ﷺ bahwa beliau tidak mengetahui kecuali yang ia tuliskan, maka Allah membinasakannya dan memperlihatkan kejelekannya, yaitu dengan mengeluarkannya dari kubur setelah dikebumikan beberapa kali.

Dan ini adalah peristiwa yang luar biasa, yang mengingatkan setiap orang bahwa ini adalah azab akibat ucapannya, dan bahwa ia telah berdusta, karena tidak ada mayyit yang mengalami seperti apa yang menimpanya.

Dan bahwa dosa yang ia lakukan lebih besar dari sekedar murtad, karena umumnya orang yang murtad saat mati, tidak mengalami seperti apa yang menimpanya.

Dan bahwa Allah 'azza wa jalla membalas untuk Rasulullah ﷺ, yaitu kepada orang yang menuduh jelek dan mencaci beliau, dan Allah 'azza wa jalla memenangkan agama beliau.

Dan Allah menghukum pendusta itu karena kedustaannya, ketika kaum muslimin tidak dapat menegakkan hukum atasnya." [Ash-Shorimul Maslul, hal. 233]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Sumber: https://sofyanruray.info/bumi-menolak-jenazah-penghina-nabi-muhammad/

Wednesday, June 16, 2021

Hukum Orang Yang Meratapi Mayyit

 



dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. - 22 Agustus 2019 

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ البَيْعَةِ أَنْ لاَ نَنُوحَ ، فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ: أُمِّ سُلَيْمٍ، وَأُمِّ العَلاَءِ، وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ، وَامْرَأَتَيْنِ – أَوِ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ، وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai’at, yaitu kami dilarang meratap. Dan tidak ada yang bisa menepatinya di antara kami, kecuali hanya lima perempuan saja, yaitu Ummu Sulaim; Ummul ‘Alaa; anak perempuan Abu Sabrah, yang merupakan istri dari Mu’adz; dan dua perempuan lainnya; atau [1] anak perempuan Abu Sabrah; istri Mu’adz; dan satu perempuan lainnya.” (HR. Bukhari no. 1306 dan Muslim no. 936)

Meratapi mayit, di antaranya dalam bentuk berteriak-teriak, menangis histeris karena kematiannya, adalah perbuatan yang terlarang. Perbuatan semacam ini sangat berat untuk ditinggalkan, kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Terutama sangat berat bagi wanita. Oleh karena itu, dari sejumlah shahabiyyah yang berjanji di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya tersisa lima orang saja yang bisa melaksanakannya. Hal ini karena memang individu atau person sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak terjaga (maksum) dari berbuat dosa. Meskipun apabila berbuat dosa, mereka adalah orang-orang yang dimudahkan untuk segera bertaubat.

Terdapat ancaman berupa hukuman khusus di akhirat bagi orang yang gemar meratapi mayit. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ  وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada empat perkara khas jahiliyah [2] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan) [3]; (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) dan niyahah (meratapi mayit).” 

Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair [4] dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)

Disebutkannya “wanita” pada hadits di atas adalah karena mayoritas pelakunya adalah wanita. Sehingga jika laki-laki juga meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia pun berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. 

Perkara ini juga sangat mendapatkan perhatian dari para sahabat, sampai-sampai mereka pun mengingatkannya ketika mereka sakit parah. Abu Musa (‘Abdullah bin Qais) radhiyallahu ‘anhu merasakan sakit hingga jatuh pingsan sementara kepalanya menyandar dalam pangkuan salah seorang istrinya. Istrinya pun berteriak histeris sementara dia (Abu Musa) tidak bisa mencegah perbuatan istrinya sedikit pun (karena pingsan, meskipun masih bisa mendengar suara ratapan istrinya, pent.). 

Ketika sadar, maka Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pun berkata, 

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ، وَالْحَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ

“Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong (mencukur atau menggundul) rambut kepala [5], serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)

Baca Juga: Hukum Mencabut IUD/ AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim ) pada Mayit

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang meratapi mayit. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)

Tindakan-tindakan di atas adalah bentuk ratapan yang dikenal pada jaman itu. Maksud “menyeru dengan seruan jahiliyyah” dicontohkan para ulama dengan mengatakan, “Wahai sandaran hidupku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Atau ucapan, “Wahai pelindungku, mengapa Engkau pergi meninggalkanku sendiri?” Kalimat-kalimat semacam itu, yang diucapkan ketika seseorang mendapatkan musibah, termasuk dalam ucapan ratapan yang terlarang. Penjelasan lain dari “seruan jahiliyyah” adalah seruan untuk fanatisme kekelompokan (fanatisme golongan).

Yang diperbolehkan adalah (hanya) menangis dengan meneteskan air mata, tanpa mengucapkan kalimat-kalimat terlarang di atas. Kalau mulut ikut berteriak histeris, ini adalah bentuk meratap yang terlarang.

Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika anak beliau, Ibrahim, meninggal dunia. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meratapi Ibrahim dengan ucapan-ucapan kalimat yang menunjukkan ekspresi kesedihan.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian setelah itu pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal. 

Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?” 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 

يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ

“Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).” 

Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,

إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim, pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 62)

Menangis, meneteskan air mata adalah wajar karena menunjukkan kasih sayang kita kepada saudara atau kerabat yang meninggal. Akan tetapi, tangisan air mata tersebut tidak boleh diiringi dengan ratapan berupa ucapan-ucapan yang terlarang. [6]

[Selesai]

@Puri Gardenia i10, 11 Syawwal 1440/15 Juni 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Karena perawi ragu-ragu.

[2] Dan semua hal yang disebut sebagai perkara jahiliyyah adalah perkara yang tercela, meskipun belum tentu merupakan perbuatan kekafiran pembatal iman.

[3]Termasuk di antaranya adalah mencela karena dia anak petani, misalnya; atau karena dia berasal dari suku tertentu.

[4] Maksudnya, dituangi timah cair. Dan hukuman ini terjadi pada saat di padang Mahsyar.

[5] Dalam budaya jahiliyyah, menggundul rambut kepala itu ekspresi kesedihan. Adapun dalam budaya kita, menggundul rambut kepala itu merupakan ekspresi kebahagiaan.

[6] Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 81-82.

https://muslim.or.id/50884-hukum-meratapi-mayit.html



Hikmah Berqurban