Showing posts with label imam maliki. Show all posts
Showing posts with label imam maliki. Show all posts

Saturday, February 13, 2021

Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

Berikut ini adalah pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara rawak  dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai hijab , bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya sedikit saja, kerana masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab.

Madzhab Hanafi 

Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Asy Syaranbalali berkata:

وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار

Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (MatanNuurul Iidhah)

Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:

وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة

“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)

Al Allamah Al Hashkafi berkata:

والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب

“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)

Al Allamah Ibnu Abidin berkata:

تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة

“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)

Al Allamah Ibnu Najiim berkata:

قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة

“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)

Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?

Madzhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Az Zarqaani berkata:

وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني

“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)

Ibnul Arabi berkata:

والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها

“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)

Al Qurthubi berkata:

قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها

Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)

Al Hathab berkata:

واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح

“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)

Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:

وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب

Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)

Madzhab Syafi’i

Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.

Asy Syarwani berkata:

إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ

“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)

Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:

غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن

“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)

Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:

وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها

“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)

* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:

فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا

“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)

Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:

ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب

“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)

Madzhab Hambali

Imam Ahmad bin Hambal berkata:

كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر

“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)

Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:

« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة

“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)

Ibnu Muflih berkata:

« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها

“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karenakhuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)

Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:

« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها »

“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:

القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب

“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi” (Fatawa Nurun ‘Alad 

Hijab  Adalah Budaya IslamDari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.

Diantara bukti lain bahwa hijab (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :

Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

“Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)

Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam. 

Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada RasulullahShallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al-Ahzab An Nuur: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)

Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Manusia - Manusia Lemah

Carilah Sahabat Seperti ini

Sebab Sempit Hati

Kisah Nabi Luth as.

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Sunnah yang Terlupakan

Menyembunyikan Kebaikan

Hakikat Dunia

Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab

Panduan Shalat Tahajud

Meminta Izin dan Mengucapkan Salam

Seputar Syirik

Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir

Islam Telah Sempurna 

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

Doa Memohon Anak Yang Shalih

Sakit manghapuskan dosa-dosa kita




Saturday, September 26, 2020

Hukum Pindah Madzhab

 Bolehkah berpindah madzhab ketika shalat atau ibadah lainnya? ini krn pengaruh mulai belajar perbedaan pendapat ulama. demikian mohon pencerahannya..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Perbedaan dalam masalah ibadah yang ada di masyarakat kita, secara umum bisa kita bagi menjadi dua,

Pertama, ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat keragaman)

Ikhtilaf tanawwu’ merupakan perbedaan yang bersifat variatif, yang semuanya pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umumnya perbedaan ini terkait masalah bentuk dan tata cara ibadah, seperti cara takbiratul ihram, cara bersedekap, doa iftitah, doa rukuk, bacaan tasyahud, dst.

Terkadang dalam perbedaan ini, masing-masing madzhab menganut tata cara tertentu, dan meninggalkan yang lain. Sehingga pengikut madzhab memahami, cara itulah yang sesuai dengan madzhabnya.

Untuk ikhtilaf tanawwu’, para ulama mengajarkan untuk mengamalkan semuanya, agar sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa tetap lestari.

Syaikhul Islam mengatakan,

أن العبادات التي فعلها النبي صلى الله عليه وسلم على أنواع يشرع فعلها على جميع تلك الأنواع لا يكره منها شيء وذلك مثل أنواع التشهدات وأنواع الاستفتاح

Bahwa ibadah-ibadah yang dipraktekkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara beragam, dianjurkan agar semua ragam itu diamalkan dan tidak ada satupun yang dimakruhkan. Seperti macam-macam tasyahud atau beberapa redaksi doa iftitah. (Majmu’ Fatawa, 22/335).

Contoh, di tempat kita, masyarakat terkadang membaca doa iftitah dengan redaksi “Allahumma baa’id bainii wa baina khathaayaaya…” ada juga yang membaca iftitah dengan redaksi, “Allahu akbar kabiiraa wal hamdu lillahi katsiiraa…”

Yang terjadi di masyarakat kita, ketika mereka sudah memilih satu doa iftitah tertentu, itu saja yang dipegangi dan mereka tidak mau membaca doa iftitah yang lain. Padahal sikap yang benar, selama semuanya berdalil, seharusnya diamalkan secara bergantian.

Setidaknya ada 3 manfaat ketika kita mengamalkan sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki banyak ragam secara bergantian,

[1] Melestarikan semua sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ketika kita hanya memilih salah satu, dan hanya itu yang diamalkan, bisa jadi sunah yang lain akan terlupakan.

[2] Mempraktekkan semua yang pernah dipraktekkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengamalkan sunah yang variatif itu secara bergantian, berarti kita mengamalkan semua yang beliau ajarkan dalam masalah itu.

[3] Menghindari potensi konflik. Ketika masing-masing kelompok hanya mengambil salah satu sunah tertentu, muncul anggapan di masyarakat bahwa masing-masing kelompok memiliki ajaran yang berbeda. Seperti di tempat kita, Kalimat tasyahud:

‘Attahiyaatu lillah was shalawaatu wat thayyibaat…’ dst. diklaim sebagai tasayhudnya Muhammadiyah.

Sementara kalimat tasyahud, ‘Attahiyaatul mubaarakaatus shalawatut thayyibaatu lillah’ diklaim sebagai tasyahudnya orang NU.

Padahal keduanya diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, ikhtilaf tadhad (perbedaan yang saling bertentangan)

Itulah perbedaan antara madzhab, dimana antara satu pendapat dengan pendapat yang lain saling bertentangan, sehingga tidak bisa digabungkan.

Misalnya, apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ataukah tidak? Ada khilaf diantara ulama dalam masalah ini.

[1] Syafiiyah menyatakan, menyentuh wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu

[2] Hanafiyah menyatakan, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak

[3] Hambali dan Malikiyah, menyentuh wanita membatalkan wudhu jika diiringi dengan syahwat. Dan jika tanpa syahwat, tidak batal wudhu.

Dan ketiga pendapat ini saling bertentangan, dan tidak mungkin dikompromikan.

Contoh yang lain, mengenai mengeraskan basmalah ketika shalat jahriyah.

[1] Jumhur ulama berpendapat basmalah dibaca pelan ketika shalat jahriyah

[2] Syafi’iyah berpendapat, basmalah dibaca keras ketika shalat jahriyah

Dan Kedua pendapat ini saling bertentangan, sehingga tidak mungkin dikompromikan.

Yang perlu kita pahami bahwa semua perbedaan ini berangkat dari upaya mereka melakukan ijtihad.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, apakah semua ijtihad ini benar ataukah kebenaran hanya satu?

Bedakan 2 hal berikut, benar dari sisi usaha dan benar dari sisi hasil usaha.

Para ulama diperintahkan untuk berusaha mempelajari al-Quran dan sunah, dalam rangka menggali kebenaran yang ada di dalamnya. Mereka berusaha mengedepankan semangat taqwa, agar bisa menyimpulkan keterangan yang ada dengan benar.

Sehingga dilihat dari sisi usaha, semua benar. Karena semua usaha mereka dilakukan dalam rangka ketaqwaan kepada Allah. Namun dilihat dari sisi hasil, bisa jadi berbeda. dan tentu saja, hasil yang sesuai kebenaran yang sejatinya hanya satu.

Karena itulah, mujtahid yang salah dalam mendapatkan hasil ijtihad, mereka tetap mendapatkan pahala. Meskipun hasil ijtihadnya salah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Ketika seorang hakim berijtihad lalu dia benar, maka dia berhak mendapat dua pahala, namun ketika dia berijtihad lalu dia salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari 3609 dan Muslim 2214).

Dalam hadis ini, Allah tetap memberikan nilai untuk usaha ijtihadnya, meskipun hasilnya salah. Artinya, usahanya dibenarkan, selama diiringi dengan semangat taqwa.

Syaikhul Islam menjelaskan hal ini dalam Minhaj as-Sunah an-Nabawiyah,

والناس متنازعون : هل يقال كل مجتهد مصيب ؟ أم المصيب واحد؟ وفصل الخطاب : أنه إن أريد بالمصيب : المطيع لله ورسوله ؛ فكل مجتهد اتّقى الله ما استطاع فهو مطيع لله ورسوله ، فإن الله لا يكلف نفسا إلا وسعها ، وهذا عاجز عن معرفة الحق في نفس الأمر ، فسقط عنه

Masyarakat berbeda pendapat, apakah semua mujtahid itu benar, ataukah kebenaran hanya satu?

Kesimpulannya, jika yang dimaksud ‘benar’ dalam hal ini adalah benar karena mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka semua mujtahid bertaqwa kepada Allah semampu mereka. sehingga mereka adalah orang yang sedang melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak akan membebani jiwa melebihi kemampuannya. Sementara mujtahid ini kesulitan untuk mengetahui kebenaran dalam masalah yang dipelajari, sehingga kewajiban itu gugur darinya.

Beliau melanjutkan,

وإن عني بالمصيب : العالم بحكم الله في نفس الأمر ، فالمصيب ليس إلا واحدا ، فإن الحق في نفس الأمر واحد

“Jika yang dimaksud ‘benar’ dalam hal ini adalah orang yang mengetahui hukum Allah untuk kasus yang dipelajari, maka mujtahid yang benar hanya satu. Karena kebenaran dalam setiap perkara hanya satu. (Minhaj as-Sunah an-Nabawiyah, 6/27-28).

Kebenaran itu datang dari Allah, sehingga tidak mungkin kebenaran itu saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Karena wahyu Allah tidak mungkin saling bertentangan.

Dan bagian dari usaha bertaqwa kepada Allah dalam masalah khilafiyah adalah berusaha mencari pendapat yang lebih mendekati kebenaran dengan diiringi semangat taqwa, sesuai kemampuannya.

Selanjutnya, bolehkah kita pindah madzhab dalam satu amalan tertentu?

Syaikhul Islam pernah diminta memberikan penjelasan mengenai pernyataan Najmuddin bin Hamdan,

التزم مذهبا أنكر عليه مخالفته بغير دليل ولا تقليد أو عذر آخر‏؟‏‏

Siapa yang telah komitmen dengan madzhab tertentu, dia tidak boleh bertindak menyalahi madzhabnya tanpa dalil, atau taqlid kepada madzhab lain, atau udzur lainnya.

Jawaban Syaikhul Islam,

فأجاب‏:‏ هذا يراد به شيئان‏:‏

أحدهما‏:‏ أن من التزم مذهبا معينا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه ، ولا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك ، ومن غير عذر شرعي يبيح له ما فعله ؛ فإنه يكون متبعا لهواه ، وعاملا بغير اجتهاد ولا تقليد ، فاعلا للمحرم بغير عذر شرعي ، فهذا منكر ‏.‏ وهذا المعنى هو الذي أورده الشيخ نجم الدين ، وقد نص الإمام أحمد وغيره على أنه ليس لأحد أن يعتقد الشيء واجبا أو حراما ثم يعتقده غير واجب ولا حرام بمجرد هواه …

Ada 2 makna dari pernyataan ini,

Pertama, bahwa orang yang komitmen dengan madzhab tertantu kemudian dia melakukan amalan yang bertentangan dengan madzhab itu, bukan karena taqlid kepada ulama lain yang mengajarnya, atau kesimpulan dari dalil yang bertentangan dengan madzhabnya, dan tidak ada udzur syar’i yang membolehkannya untuk meninggalkan komitmen dia, berarti orang ini hanya mengikuti hawa nafsu. Beramal tanpa ijtihad atau taqlid kepada ulama, melakukan yang haram tanpa udzur syar’i. sehingga orang ini melakuan kemungkaran. Inilah makna pernyataan Syaikh Najmuddin. Imam Ahmad dan yang lainnya menegaskan bahwa siapapun tidak boleh meyakini sesuatu yang wajib atau haram, kemudian dia tiba-tiba dia meyakini itu bukan wajib atau haram hanya karena hawa nafsunya.

Beliau melanjutkan,

وأما إذا تبين له ما يوجب رجحان قول على قول ، إما بالأدلة المفصلة إن كان يعرفها ويفهمها ، وإما بأن يرى أحد رجلين أعلم بتلك المسألة من الآخر ، وهو أتقى لله فيما يقوله ، فيرجع عن قول إلى قول لمثل هذا ، فهذا يجوز بل يجب وقد نص الإمام أحمد على ذلك

Namun ketika orang itu mengetahui pendapat A lebih kuat dibandingkan pendapat B, baik berdasarkan dalil yang lebih rinci yang dia ketahui, atau dia melihat ada orang yang lebih paham dalam masalah ini, dan dia lebih bertaqwa kepada Allah terhadap apa yang dia ucapkan, lalu dia meninggalkan pendapat madzhabnya dan beralih ke pendapat yang lain, karena alasan di atas, maka ini dibolehkan, bahkan wajib. Imam Ahmad telah menegaskan hal ini. (Majmu’ Fatawa, 20/220-221)

Berpindah dari satu madzhab ke madzhab yang lain dalam satu perkara, karena dia merasa bahwa itu yang lebih sesuai kebenaran, ini dibolehkan bahkan diharuskan. Karena kebenaran tidak berpihak kepada madzhab tertentu. Namun kebenaran berpihak kepada orang yang pendapatnya lebih mendekati dalil.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

https://konsultasisyariah.com/33252-bolehkah-berpindah-madzhab.html



Hikmah Berqurban