Showing posts with label syariat islam. Show all posts
Showing posts with label syariat islam. Show all posts

Sunday, March 27, 2022

Kedudukan Akal Dalam Islam

Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, satu-satunya Rabb yang berhak untuk di ibadahi, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, di antara nikmat besar yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala kepada kita semua adalah nikmat berupa akal sehat, yang dengannya kita bisa berfikir, dengannya kita dapat terus berinovasi menjalani kehidupan dan membangun peradaban, dan dengannya kita dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal kita. Dengan adanya akal pula kita dibedakan dari hewan. Oleh karena itu Allah Ta’ala banyak mendorong manusia supaya mau menggunakan akalnya untuk berfikir, diantaranya adalah FirmanNya (yang artinya), Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S an-Nahl:12)

DEFINISI AKAL

Secara bahasa, ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah (kebijakan) atau bisa juga bermakna tindakan yang baik dan tepat. Akal juga bisa bermakna sifat, dikatakan; ‘uqila lahu shay’un’ artinya “Dijaga atau “diikat (hubisa) akalnya dan dibatasi”. [lihat kitab Lisanul ‘Arab, Muhammad ibnu Mukarram]

Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Ta’ala. [lihat buku Syarh aqidah ahlu sunnah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas].

ISLAM MEMULIAKAN AKAL

Agama Islam adalah agama yang sangat adil dan sempurna. Agama kita memuliakan akal sehat karena kemampuan berfikir dan memahami sesuatu dengan baik merupakan anugerah yang besar dari Allah Ta’ala. Karena besarnya kemuliaan akal maka agama Islam menetapkan syariat untuk menjaga dan mengembangkan akal, diantaranya :

1. Islam memasukkan akal kedalam dharuriyatul khamsah yaitu 5 hal kebutuhan primer yang harus dijaga, 5 hal tersebut adalah agama, jiwa, harta, nasab (keturunan), dan akal.

2. Syari’at Islam mengharamkan semua yang bisa merusak akal, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, (musik) dan nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr (minuman keras), narkoba, dan lainnya serta memberikan sanksi kepada yang melakukannya. [lihat kitab Maqasidu Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyah, Dr. Yusuf bin Muhammad Al-Badawi]

3. Agama Islam menjadikan akal sebagai salah satu syarat utama taklif (pewajiban / pembebanan dalam syari’at). Orang yang masih belum sempurna akalnya seperti anak-anak, ataupun yang memang memiliki kekurangan dalam akalnya seperti orang gila, maka gugur kewajibannya menjalankan syari’at.

4. Agama Islam memerintahkan umatnya untuk belajar dan menuntut ilmu, yang dengannya akal dapat lebih berkembang dan meningkat. Kemudian memberikan derajat yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya, sebagaimana firmanNya (yang artinya), “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah:11)

MEMPOSISIKAN AKAL SESUAI KEDUDUKANNYA

Meskipun agama Islam menghormati akal sehat, namun akal tetap ditempatkan di tempat yang layak sesuai dengan kedudukannya. Artinya Islam memuliakan akal namun tidak berlebih lebihan dalam memposisikannya, karena akal manusia juga memiliki keterbatasan sebagaimana penglihatan, pendengaran, serta indera manusia lainnya.

Sebaliknya, walaupun akal memiliki keterbatasan, agama Islam juga tidak meremehkan dan mencela akal serta logika yang benar. Akal yang baik justru akan menyempurnakan suatu ilmu dan amal. Intinya, sikap yang benar dalam memposisikan akal adalah bersifat pertengahan, tidak merendahkan logika dan akal sehat, dan juga tidak berlebih-lebihan sehingga menjadikan standar kebenaran agama semata-mata dari logika dan akal pemikiran manusia.

AKAL MEMBUTUHKAN DALIL 

Sepintar-pintarnya manusia dan setinggi apapun kecerdasan akal manusia, maka pasti tidak akan bisa berjalan dengan lurus tanpa bimbingan wahyu, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Akal manusia ibarat sepasang mata sedangkan dalil wahyu bagaikan lentera atau cahaya. Mata tidak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya cahaya. Mata kita baru bisa berfungsi dengan baik dan benar jika ada cahaya. Cahaya tersebut sebagaimana kedudukan dalil wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah) terhadap akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Akal tidaklah bisa berdiri sendiri, akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki naluri dan kekuatan sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapatkan cahaya iman dan al-Qur’an barulah akal bisa seperti mata yang mendapatkan cahaya matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” [Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah]

AKAL YANG SEHAT DAN DALIL SYAR'I TIDAK AKAN BERTENTANGAN

Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa memahami bahwa akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan atau bertolak belakang dengan dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Karena semuanya berasal dari Allah Ta’ala Yang Maha Sempurna lagi Maha Bijaksana. Akal yang sehat adalah ciptaan Allah Ta’ala dan dalil syar’i merupakan Firman Allah Ta’ala. Maka mustahil segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari Allah Ta’ala saling bertentangan. Imam Ibnu Qayyim al-jauziyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mempertentangkan antara akal dengan wahyu adalah asal-usul segala kerusakan di alam semesta. Itu adalah lawan dari dakwah para rasul dari semua sisi karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu daripada pendapat akal” [lihat kitab Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah, Ibnu Qayyim]

WAJIB MENDAHULUKAN DALIL DARIPADA AKAL

Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar’i dengan metode yang benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan akal, fikiran, maupun tidak sesuai dengan perasaan kita. Maka wajib bagi kita untuk mengedepankan dalil syar’i daripada akal dan perasaan kita. Karena sesungguhnya anggapan kita bahwa dalil syar’i tidak selaras dengan akal sehat bisa disebabkan karena tiga hal :

1. Karena kurangnya ilmu kita yang menyebabkan adanya kerancuan dan syubhat bagi kita dalam memahami dalil.

2. Dalil yang dijadikan pijakan adalah dalil yang lemah, bukan dalil yang shahih.

3. Kita belum bisa membedakan mana yang “membingungkan akal” mana yang “tidak masuk akal”. Terkadang dalil syar’i memang bisa jadi membuat kita bingung memahaminya, namun tidak mungkin dalil syar’i tidak masuk akal sehat kita. Contohnya adalah peristiwa isra’ dan mi’raj yaitu peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ke langit ke-7 dalam waktu satu malam. Maka bisa jadi kita bingung memikirkannya, bagaimana bisa dalam satu malam saja seorang manusia tanpa teknologi canggih bisa menembus langit tertinggi. Namun hal tersebut bukanlah hal yang tidak masuk akal, bahkan hal tersebut sangat mungkin dan masuk akal karena Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan mudah bagiNya untuk mewujudkan hal tersebut.

Oleh karena itu, shahabat Nabi yang mulia ‘Ali Bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menjelaskan bahwa dalil syar’i wajib didahulukan daripada akal dan perasaan kita. Beliau berkata tentang mengusap khuf (alas kaki yang menutupi mata kaki, semacam sepatu boot), “Seandainya (tolok ukur) agama ini dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (HR . Abu Daud, shahih)

TINGALKAN PENDAPAT YANG MENYIMPANG

Setelah memahami penjelasan diatas, maka hendaknya kita meninggalkan pemahaman dan pendapat yang lebih mendahulukan akal dan perasaan daripada dalil syar’i yang banyak tersebar di masyarakat. Diantaranya adalah anggapan orang-orang liberal dan orientalis bahwa syari’at Islam tidak adil, hukum Islam adalah hukum yang kejam, agama Islam tidak bisa mengatur suatu negara, bahkan mereka mengatakan bahwa al-Qur’an dan ajaran agama Islam sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini sehingga harus direvisi. Na’udzubillahi min dzalik.

Demikian pula hendaknya kita tinggalkan pendapat-pendapat menyimpang dari para filosof, mu’tazilah, dan yang semisalnya yang beranggapan bahwa adzab kubur tidak ada, syafa’at tidak ada, penolakan dan penyelewengan mereka terhadap sebagian shifat-shifat Allah Ta’ala, pengingkaran terhadap munculnya dajjal dan turunnya nabi ‘Isa ‘alayhissalam, serta pemahaman dan perkataan mereka yang lain yang tidak bersumber dari dalil-dalil syar’i. Mudah-mudahan dengan kembalinya kita kepada al-Qur’an dan Sunnah menjadikan kita sebagai seorang muslim yang hanif dan lurus.

Penutup

Demikianlah penjelasan tentang kedudukan akal dalam agama Islam, semoga bisa menjadi pencerahan bagi kita dan membuat kita lebih taslim (menerima dan patuh) terhadap syari’at Allah Ta’ala, tunduk terhadap hukum dan aturan Islam, serta menerima segala dalil syar’i yang datang kepada kita . Wallahu a’lam.

Penulis : Ustadz Nizamul Adli Wibisono, ST (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, BIS

Thursday, April 15, 2021

Kenapa Bercadar

ANA SENANG DENGAN PERTANYAAN INI.

"KENAPA KAMU BERCADAR "?

Seorang wanita bercadar bertemu dengan ibu-ibu..

Lalu mereka mengajak ngobrol, dan mereka bertanya - KENAPA KAMU BERCADAR  ??

Ana  senang sekali dengan pertanyaannya, karena ini kesempatan bagi  ana untuk menjelaskan . 

Lalu ana  berkata : Terima kasih bu pertanyaannya bagus sekali, izinkan ana  menjawab tapi sebelumnya saya ingin jelaskan PRIHAL CADAR . 

1. CADAR adalah bagian dari syariat islam dimana ulama ada yg menghukuminya wajib dan sunnah.

2. CADAR bukan tradisi orang Arab 

3. CADAR bukan ciri khas Teroris ,memang ana  akui ada teroris yang pakaiannya cadaran, cingkrang dan jenggotan , tapi tidak bisa kita menilai orang yang berpakaian seperti itu adalah teroris , yang membedakannya adalah Aqidah ,casing boleh sama tapi aqidah kami berbeda . 

4. CADAR bukan berarti wanita suci yang tidak  pernah berbuat salah ,kami sama seperti yang lain , bisa khilaf juga , dan kami tidak exclusif ,kami bisa  bergaul , bisa bercanda , bisa senyum , dan lain-lain,  sama seperti manusia pada umumnya .

 jangan memandang kami sebagai orang yang aneh yang tidak bisa  diajak bercanda dll , yang keliatan extrem dll , tidaaakk kami tidaak seperti itu . 

Dan Ana  sendiri bercadar karena ingin menjalankan sunnah , Ana  berharap Ridho Allah  dari apa yang  ana  pakai . karena ini bagian dari syariat islam .

Lalu mereka (ibu" ) tersenyum dan mengatakan : Saya senang ngobrol denganmu ..

MaasyaaAllah  Ana pun senang bu ,. jangan anggap kami ini manusia aneh ya bu 

Kami manusia biasa, sama kaya ibu sekalian ... 

Puas Rasanya bisa jelasin, lega Hati ini dan Senang.

Baarakallahu Fiikum.

Semoga bermanfaat,

Baca Juga Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Cara Mengatasi Pandemi 

Besarnya Dosa Meninggalkan Sholat

Kunci Bahagia dan Sukses

Prinsip Aqidah Ahlussunnah Waljamaah

Belajar Al Qur'an Dengan Metode Ummi (jilid 3 )

Gara-gara Menyiksa Kucing

Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Manusia - Manusia Lemah

Carilah Sahabat Seperti ini

Hukum Riya'

Sebab Sempit Hati

Wanita Wajib Izin Suami Saat Akan Keluar Rumah

Kisah Nabi Luth as.

Balasan Penyebar Aib

Istighfar/Doa Anak 

Pejuang Sunnah

Pendidikan Agama Anak

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Utusan Setan

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Hukum Jual Beli

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Sunnah yang Terlupakan

Menyembunyikan Kebaikan

Hakikat Dunia

Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab

Panduan Shalat Tahajud

Adab Berbuka Puasa yang Benar

Meminta Izin dan Mengucapkan Salam

Seputar Syirik

Mata Cerminan Hati

Dikagumi Oleh Allaah, Kok Bisa ya ?

Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir

Islam Telah Sempurna 

Sifat Orang yang Sering Berhutang

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

Doa Memohon Anak Yang Shalih

Sakit manghapuskan dosa-dosa kit

Ganti Kulit Di Neraka

Ibu, Ibu, Ibu, Bapak

#griyakajiansunnah

Silahkan di share atau simpan link ini, sehingga  link bisa dibagikan setiap saat

Jazakallah Khairan.

 



Monday, April 9, 2018

Bila hp Bunyi Ketika Solat

Bila Handphone Berbunyi Ketika Shalat 


Apa yang semestinya dilakukan bila handphone kita berbunyi karena ada yang menelpon ketika kita sedang shalat? Menjawab telepon? Mengambilnya dari kantong lalu mematikannya? Bagaimana bila telepon rumah? Membatalkan shalat? Atau dibiarkan saja berbunyi sampai mati sendiri?

Kita simak fatwa-fatwa dari para ulama berikut ini:

Fatwa 1

Bagaimana hukum tentang telepon yang berdering ketika shalat dengan ringtone, sedangkan ringtone-nya itu berupa lagu barat yang haram atau makruh. Bagaimana hukumnya jika pemilik telepon itu sengaja tidak mematikannya? Padahal dimana-mana sudah ditempel sticker larangannya, imam pun melarang, orang-orang pun melarang, namun sebagian orang tidak mempedulikannya. Lalu bagaimana pula hukumnya jika tidak sengaja?

Syaikh Abdullah Al Faqih –hafizhahullah– menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:

Setiap muslim wajib untuk bertaqwa kepada Allah dalam setiap hal. Wajib pula bagi kaum muslimin untuk berusaha khusyuk dalam shalat dengan menjauhkan hal-hal yang bisa memalingkan hatinya  dari kesibukan shalat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallamberkata:

إن في الصلاة لشغلا

“Sungguh, shalat itu sangatlah sibuk” (Muttafaqun ‘Alaih)

Diantara usaha untuk mencapai kekhusyukan adalah mematikan handphone, atau membuatnya silent. Karena jika tidak demikian, handphonetersebut bisa menimbulkan kegelisahan bagi jama’ah shalat atau bahkan gangguan. Jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam saja pernah teralihkan perhatiannya gara-gara sebuah khamishah (selimut hitam) sehingga berkurang kekhusyukan beliau, maka bagaimana lagi dengan suara ringtone yang nyaring dan mengganggu tersebut? Tidak ragu lagi bahwaringtone tersebut lebih menganggu dan lebih mengurangi kekhusyukan.

Jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad, beliau melarang kita mengeraskan suara bacaan Qur’an kita ketika ada yang sedang shalat, maka bagaimana lagi dengan suara ringtone handphone?

Maka, jika seseorang sengaja tidak mematikan -atau tidak mengeset silent– handphone-nya, ia telah melakukan perbuatan yang paling minimal makruh hukumnya. Dan bahkan terkadang bisa sampai kepada tingkatan haram.

Namun jika memang lupa untuk mematikannya, maka tentu tidak ada dosa baginya. Lalu, yang semestinya ia lakukan adalah segera mematikan suara handphone-nya, walaupun sedang shalat. Karena beberapa gerakan kecil ini sama sekali tidak mempengaruhi keabsahan shalatnya.

Adapun jika ringtone tersebut berupa lagu barat atau berupa nada-nada musikal, maka tidak ragu lagi keharamannya. Karena alat musik dan nyanyian itu haram hukumnya berdasarkan sabda NabiShallallahu’alaihi Wasallam:

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

“Sungguh akan ada diantara umatku yang akan menghalalkan zina, sutra, khamr, dan alat musik” (HR. Bukhari)

Seseorang hendaknya bertaqwa kepada Allah untuk tidak menganggu kaum muslimin dengan bunyi-bunyian yang mungkar ini, padahal mereka sedang menghadap kepada Rabb-nya. Kita memohon kepada Allah, semoga Allah memberikan hidayah kepada seluruh kaum muslimin dan memberikan kebaikan atas mereka. Wallahu’alam.

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=A&Id=119943&Option=FatwaId

Fatwa 2

Beberapa orang sedang mengerjakan shalat berjama’ah di rumah (tanpa dijelaskan shalat sunnah atau wajib, -pent). Jika telepon rumah berdering dengan suara dering yang menggangu konsentrasi dan lama bunyinya, bolehkah orang yang shalat tersebut menyegerakan shalatnya atau menunda dahulu shalatnya lalu dia mengangkat telepon, kemudian mengeraskan suara shalat sehingga penelpon tahu bahwa mereka sedang shalat? Diqiyaskan dengan bolehnya membukakan pintu bagi orang yang mau masuk atau mengeraskan suara baginya.

Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta menjawab:

Jika seseorang shalat dalam keadaan demikian, boleh baginya untuk sedikit menyegerakan shalatnya, atau boleh juga untuk menunda shalatnya. Ia bisa bergerak ke kanan atau ke kiri untuk mengangkat telepon, dengan syarat, tetap menghadap kiblat.  Kemudian ia mengangkat telepon lalu mengucapkan:Subhaanallah, agar si penelpon memahami keadaannya. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang terdapat dalam Shahihain:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت ابنته، فإذا ركع وضعها وإذا قام حملها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, cucu beliau. Jika beliau ruku, beliau meletakkan Umamah. Jika beliau berdiri, beliau menggendong Umamah kembali” (HR. Bukhari 516, Muslim 543)

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan:

وهو يؤم الناس في المسجد

“Ketika itu beliau sedang menjadi imam shalat di masjid“

Dan juga sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan yang lainnya, dari ‘AisyahRadhiallahu’anha, ia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فمشى حتى فتح لي ثم رجع إلى مقامه، ووصفت أن الباب في القبلة

“Suatu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang shalat di rumah dan pintu rumah tertutup. Lalu aku datang hendak masuk. Beliau pun berjalan lalu membukakan pintu kemudian melanjutkan shalat di tempatnya semula. Dan digambarkan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat” (HR. Ahmad, 31/6; An Nasa’i, 1/178; At Tirmidzi: 2/497)

Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من نابه شيء في صلاته فليسبح الرجال وليصفق النساء

“Barangsiapa yang ingin memberitahu sesuatu ketika sedang shalat, maka untuk laki-laki ucapkanlah ‘Subhaanalah’, untuk wanita tepukkanlah tangan” (HR. Bukhari 1234, Muslim 421)

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Tertanda,

Abdullah bin Qu’ud (Anggota)Abdullah bin Ghuddayan (Anggota)Abdurrazaq Afifi (Wakil ketua)Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz (Ketua)

Sumber: http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=2214&PageNo=1&BookID=3

Fatwa 3

Apakah seseorang yang sedang shalat wajib atau shalat sunnah dibolehkan membukakan pintu? Atau bolehkah ia menjawab telepon dengan ucapan ‘Allahu Akbar‘? Jika ia memang sedang menunggu telepon yang penting.

Syaikh Abdullah bin Jibriin –rahimahullah– menjawab:

Terdapat hadits dalam beberapa musnad dan sunan, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, beliau berkata:

طرقت الباب على النبي -صلى الله عليه وسلم- وهو يُصلي والباب في قبلته فمشى قليلا حتى فتح

“Aku ingin masuk ke rumah ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang shalat. Letak pintu ada di arah kiblat. Beliau pun berjalan sedikit sampai membukakan pintu untukku“

Hadits ini menunjukkan bahwa berjalan satu atau dua langkah ketika shalat tidaklah membatalkan shalat. Baik dalam shalat sunnah maupun shalat wajib. Yang bisa membatalkan shalat adalah banyak bergerak tanpa ada kebutuhan mendesak.

Juga diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa mereka shalat sambil memegang tali kekang hewan tunggangannya. Bila hewan tunggangannya beranjak, ia pun ikut berjalan, walaupun masih sedang shalat. Hal tersebut dilakukan karena khawatir hewan tunggangannya  terlepas sehingga memutuskan perjalanannya.

Adapun tentang menjawab telepon ketika shalat, hal ini tidak diperbolehkan. Karena hal tersebut termasuk berbicara yang tidak diperbolehkan dalam shalat. Kecuali jika memang tidak banyak memerlukan gerakan, dibolehkan mengangkat telepon lalu mengucapkan takbir atau tasbih, karena takbir dan tasbih adalah bagian dari shalat.

http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=7232&parent=786


Kesimpulannya yang bisa kami tangkap, andai ketika shalat handphone kita berdering, maka dapat melakukan salah satu dari beberapa solusi berikut:

Bersegera menyelesaikan shalat, jika shalat sendirian atau menjadi imamMengambilnya dari kantong lalu mematikannya atau mengesetnya ke mode silenceMengambilnya dari kantong lalu menjawab telepon dengan ucapan ‘Subhanallah‘ atau ‘Allahu Akbar‘

Jika handphone tidak di kantong, misal ada di tas yang berada beberapa meter dari kita, atau jika kasusnya terjadi pada telepon rumah, maka dapat melakukan salah satu dari beberapa solusi berikut:

Bersegera menyelesaikan shalat, jika shalat sendirian atau menjadi imamJika tidak terlalu jauh, melangkah menuju telepon lalu mematikannyaJika tidak terlalu jauh, melangkah menuju telepon lalu menjawab telepon dengan ucapan ‘Subhanallah’ atau ‘Allahu Akbar’

Dari penjelasan Syaikh Ibnu Jibriin juga bisa diambil mafhum bahwa jika jarak antara kita dengan telepon sangat jauh, membutuhkan langkah yang banyak, maka tidak diperbolehkan berjalan untuk mengangkatnya. Karena dapat menyebabkan gerakan yang sangat banyak sehingga tidak lagi dianggap sebagai orang yang sedang shalat, dan dapat memalingkan kita dari kesibukan shalat, padahal saat shalat itu hati dan pikiran kita sangatlah sibuk, sebagaimana dikatakan dalam hadits yang sudah disebutkan di atas. Allahu’alam.


Penulis: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Hikmah Berqurban