Suasana ‘ied baik idul fitri maupun idul adha adalah hari raya kaum muslimin. Momentum ini juga digunakan oleh kaum muslimin untuk berbagi kebahagiaan dan kegembiraaan dengan saling mengunjungi satu dengan yang lainnya terlebih sesama keluarga. Tentunya suasana kebahagiaan dan rasa senang ini identik dengan makan-makan apalagi akan bertamu dan menerima tamu, oleh karena itu beberapa ulama mengajurkan dalam keadaan ini agar kita menunda puasa syawwal selama beberapa hari karena masih ada suasana ‘ied lebaran.
Hari ‘ied haram hukumnya berpuasa karena mencegah agar tidak menambah-nambah dalam ibadah (puasa sebulan penuh) dan memang tidak sesuai dengan tujuan hari ‘ied yaitu hari kebahagiaan dan kesenangan kaum muslimin yang identik dengan makan dan minum. An-Nawawi menjelaskan,
ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﺟْﻤَﻊَ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﺤْﺮِﻳﻢ ﺻَﻮْﻡ ﻫَﺬَﻳْﻦِ ﺍﻟْﻴَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﺑِﻜُﻞِّ ﺣَﺎﻝ، ﺳَﻮَﺍﺀ ﺻَﺎﻣَﻬُﻤَﺎ ﻋَﻦْ ﻧَﺬْﺭٍ ﺃَﻭْ ﺗَﻄَﻮُّﻉٍ ﺃَﻭْ ﻛَﻔَّﺎﺭَﺓٍ ﺃَﻭْ ﻏَﻴْﺮِ ﺫَﻟِﻚَ .
ﻭَﻟَﻮْ ﻧَﺬَﺭَ ﺻَﻮْﻣَﻬُﻤَﺎ ﻣُﺘَﻌَﻤِّﺪًﺍ ﻟِﻌَﻴْﻨِﻬِﻤَﺎ
“Ulama telah bersepakat haramnya berpuasa di dua hari ‘ied apapun keadaannya baik itu puasa nadzar, puasa sunnah, puasa kafarah atau puasa lainnya.”[1]
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjelaskan,
ﺛﻢ ﻫﻤﺎ ﻳﻮﻣﺎﻥ ﻟﻠﻌﺐ ﻭﺍﻟﻠﻬﻮ ﻭﺗﺮﻭﻳﺢ ﺍﻟﻨﻔﺲ، ﻓﻼ ﻳﻨﺎﺳﺒﻬﻤﺎ ﺍﻟﺼﻮﻡ
“Kedua hari ‘ied adalah hari bermain-main, bercanda dan mengistirahatkan jiwa, maka tidak sesuai jika berpuasa (pada hari itu).”[2]
Demikian juga apabila keadaannya beberapa hari setelah ‘ied lebaran masih ada suasana hari ‘ied yaitu berbagi kebahagiaan, senang dan saling mengunjungi dengan bertamu, maka lebih baik menunda beberapa hari dulu tidak puasa syawwal.
Untuk keadaan tertentu, tuan rumah atau yang bertamu boleh membatalkan puasa sunnahnya untuk memuliakan dan membuat senang, bahkan ini dianjurkan untuk membuat senang saudaranya.
Al-Khatib Asy-Syarbini menjelaskan,
ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﻋﺬﺭ ﻛﻤﺴﺎﻋﺪﺓ ﺿﻴﻒ ﻓﻲ ﺍﻷﻛﻞ ﺇﺫﺍ ﻋﺰ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻣﺘﻨﺎﻉ ﻣﻀﻴﻔﻪ ﻣﻨﻪ، ﺃﻭ ﻋﻜﺴﻪ ﻓﻼ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻣﻨﻪ، ﺑﻞ ﻳﺴﺘﺤﺐ، ﻟﺨﺒﺮ ” ﻭﺇﻥ
“Jika terdapat udzur seperti menemani tamu untuk makan, tidak berat baginya (tidak ada rasa “tidak enak”) menemani tamunya makan atau sebaliknya (tidak berat bagi tuan rumah), maka tidak dimakruhkan membatalkan puasa sunnah bahkan dianjurkan untuk kebaikan.”[3]
Hari raya memang hari bersenang-senang dengan hal mubah dan saling berbagi kebahagiaan. Anas bin Malik berkata,
ﻗَﺪِﻡَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ ﻭَﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ ﻳَﻮْﻣَﺎﻥِ ﻳَﻠْﻌَﺒُﻮﻥَ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ « ﻗَﺪِﻣْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻳَﻮْﻣَﺎﻥِ ﺗَﻠْﻌَﺒُﻮﻥَ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻗَﺪْ ﺃَﺑْﺪَﻟَﻜُﻢْ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﺧَﻴْﺮﺍً ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻭَﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻨَّﺤْﺮِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)”[4]
Demikian semoga bermanfaat
@Perum PTSC Cileungsi, Bogor
Penyusun: Raehanul Bahraen
Catatan kaki:
[1] Syarh Muslim 4/128
[2] Fatwa Sual wal jawab http://www.feqhweb.com/vb/t17587.html
[3] Mughni Al-Muhtaj 1/448
[4] HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth
https://muslimafiyah.com/menunda-puasa-syawwal-karena-bertamu-dan-menerima-tamu-suasana-lebaran.html
Comments
Post a Comment
Selalu Berkomentar yang Baik sebab Semua akan dimintai Pertanggung Jawaban di Akhirat Kelak.