Showing posts with label Ilmu. Show all posts
Showing posts with label Ilmu. Show all posts

Friday, May 19, 2023

MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA!

Link Youtube :

https://youtu.be/0HYgmBdGUf4

Ketahuilah tidaklah kebodohan diangkat dari diri kecuali kita selalu menyibukkan diri pada menuntut ilmu. 

Seorang hamba tidaklah semangat dalam melakukan suatu ibadah dan kebaikan kecuali dengan diiringi pengetahuan tentang keutamaan ibadah tersebut,

Dan itu semua menjadikan kita agar selalu mendalami dan mempelajari ilmu syar’i. 

Sebuah kebahagian dan kenikmatan yang patut disyukuri, saat seseorang mendapatkan taufiq dari Allah untuk menempuh jalan menuntut ilmu, yang mana di dalamnya memiliki banyak keutamaan. 

Menuntut ilmu merupakan salah satu wasilah dalam mendapatkan hidayah dan dengan hidayah itu memudahkan kita dalam memasuki sunga-Nya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa 

Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” 

(HR. Muslim no. 2699)

Thursday, January 27, 2022

Pengagungan Terhadap Ilmu


*👤 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى*

📗 Pengagungan Terhadap Ilmu

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Halaqah yang pertama dari Muqaddimah Halaqah Silsilah ‘Ilmiyyah adalah tentang Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian yang Pertama

Telah berkata Guru kami yang mulia Syaikh Dr. shaleh bin abdillah ibn hamid al ‘ushaimi hafdzhahullah didalam muqaddimah kitab beliau khulashah ta’dzimi ‘ilmi, bahwa banyak sedikitnya ilmu seseorang adalah sesuai dengan pengagungan dia terhadap ilmu itu sendiri

Barangsiapa yang hatinya penuh dengan pengagungan terhadap ilmu maka hati tersebut pantas menjadi tempat bagi ilmu tersebut, sebaliknya barangsiapa yang berkurang pengagungannya terhadap ilmu maka akan berkurang bagiannya

Kemudian beliau menyebutkan 20 perkara yang merupakan bentuk pengagungan terhadap ilmu:

1. Membersihkan Tempat Ilmu Yaitu Hati,

Diantara bentuk pengagungan terhadap ilmu adalah membersihkan tempat ilmu, apabila hati kita bersih maka ilmu akan berkenan masuk dan semakin bersih maka semakin menerima ilmu tersebut dan hal yang mengotori hati dan menjadikan ilmu sulit masuk adalah kotoran syahwat dan kotoran syubhat.

2. Mengikhlaskan Niat

Diantara bentuk pengagungan terhadap ilmu adalah mengikhlaskan niat karena Allah didalam menuntutnya, sesuai dengan keikhlasan seseorang maka dia akan mendapatkan ilmu dan niat yang ikhlas didalam mencari ilmu adalah apabila niatnya :

> Mengangkat kebodohan dari diri sendiri

> Mengangkat kebodohan dari orang lain

> Menghidupkan ilmu dan menjaganya supaya tidak punah

> Mengamalkan ilmu

Diantara bentuk pengagungan terhadapa ilmu adalah

3. Mengumpulkan Tekad Untuk Menuntutnya Meminta Pertolongan Kepada Allah Dan Tidak Merasal Lemah,

Sebagaimana dalam Hadits

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Hendaklah engkau semangat melakukan apa yang bermanfa’at untuk dirimu, dan memohonlah petolongan kepada Allah dan janganlah engkau merasa lemah”

Dahulu Imam Ahmad Bin Hanbal terkadang ingin keluar dari rumahnya untuk menghadiri majelis ilmu gurunya sebelum datang waktu shubuh dan sebagian mereka membaca shahih al bukhari kepada gurunya dalam 3 majelis atau 3 pertemuan

Ini semua menunjukkan bagaimana semangat dan tekad para pendahulu kita didalam menuntut ilmu

Diantara bentuk pengagungan terhadap ilmu adalah

4. Memusatkan Semangat Untuk Mempelajari Al-Quran dan Al-Hadits,

karena inilah asal dari ilmu itu sendiri

Demikian yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini, sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Friday, December 3, 2021

Ilmu itu Didatangi Bukan Mendatangi

Ustadz Aris Munandar Hafidzahullah.

Dari Abul Qosim at-Tafakur, aku mendengar Abu Ali al-Hasan bin 'Ali bin Bundar al-Zanjani bercerita bahwa Kholifah Harun ar-Rosyid rohimahullah mengutus seseorang kepada Imam Malik bin Anas rohimahullah agar beliau berkenan datang ke istana supaya dua anak Harun ar-Rosyid yaitu Amin dan Makmun bisa belajar agama langsung kepada Imam Malik. Imam Malik menolak permintaan Kholifah Harun ar-Rosyid dan mengatakan:

"Ilmu agama itu didatangi bukan mendatangi."

Untuk kedua kalinya Kholifah Harun ar-Rosyid mengutus utusan yang membawa pesan sang Kholifah:

"Kukirimkan kedua anakku agar bisa belajar agama bersama murid-muridmu."

Respons balik Imam Malik:

"Silakan, dengan syarat keduanya tidak boleh melangkahi pundak supaya bisa duduk di depan dan keduanya duduk dimana ada tempat yang longgar saat pengajian."

Akhirnya, kedua putra Kholifah tersebut hadir dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Malik rohimahullah.

(Mukhtashor Tarikh Dimasyq hlm. 3769,  Syamilah)


AL FURQON Edisi 10 Tahun Kesepuluh Jumada Ula 1432 H [April 2011] )

Hlm: 27.

Thursday, March 18, 2021

UMUR KEDUA ANDA

Ibnu Qoyyim -rohimahulloh- mengatakan:

“Sesungguhnya seorang ulama bila telah menanamkan ilmunya kepada orang lain, lalu dia meninggal, maka pahalanya tetap akan mengalir serta nama baiknya akan tetap dikenang.

Itulah UMUR KEDUA dan kehidupan lain baginya, dan itulah perkara yang paling pantas untuk dijadikan ajang saling berlomba untuk mendapatkannya dan meraihnya.”

[Kitab: Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim, 1/148].

Sungguh betapa mulia ilmu agama ini, namun sungguh mengherankan kenyataan sedikitnya orang yang semangat dalam mencari, mengamalkan, dan menyebarkannya… Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua, amin.

Ditulis oleh,

Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى.


=======🌴🌴🌴🌴🌴=======

Friday, March 5, 2021

TIDAK MENJAMIN


Terkadang kita merasa kagum dengan kehebatan seseorang membawakan al Qur’an dan hadits dan kekuatan hafalannya..

Saudaraku…

Yang wajib kita perhatikan bukanlah hanya hebatnya hafalan.. tetapi perhatikanlah pemahamannya juga.. apakah sesuai dengan pemahaman para shahabat, tabi’in dan para ulama setelahnya atau tidak..

Coba renungkan sebuah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kaum khowarij, beliau bersabda:

يقرؤون القران لا يجاوز تراقيهم يقولون من قول خير البرية يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية

…mereka menghafal al Qur’an tetapi tidak sampai kerongkongan, mereka membawakan ucapan sebaik baik manusia, mereka melesat dari agama sebagaimana panah melesat dari buruannya.”

HR At Tirmidzi dan ia berkata, “hadits hasan shahih.”

Lihatlah, kaum khowarij disifati oleh nabi hafal al Qur’an dan hadits. tapi mereka tidak mau mengikuti pemahaman shahabat sehingga jatuh dalam penyimpangan..

Semoga bermanfaat…

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Cara Mengatasi Pandemi 

Belajar Al Qur'an Dengan Metode Ummi (jilid 3 )

Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Manusia - Manusia Lemah

Carilah Sahabat Seperti ini

Sebab Sempit Hati

Wanita Wajib Izin Suami Saat Akan Keluar Rumah

Kisah Nabi Luth as.

Balasan Penyebar Aib

Istighfar/Doa Anak 

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Utusan Setan

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Sunnah yang Terlupakan

Menyembunyikan Kebaikan

Hakikat Dunia

Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab

Panduan Shalat Tahajud

Meminta Izin dan Mengucapkan Salam

Seputar Syirik

Mata Cerminan Hati

Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir

Islam Telah Sempurna 

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

Doa Memohon Anak Yang Shalih

Sakit manghapuskan dosa-dosa kita

Ibu, Ibu, Ibu, Bapak

#griyakajiansunnah

Yuk share...

Silahkan di share atau simpan link ini, sehingga  link bisa dibagikan setiap harinya.

Jazakallah Khairan.

Wednesday, February 10, 2021

KUNCI ILMU YANG BERMANFAAT

بسم الله الرحمن الرحيم 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة اما بعد

Sahabat Bimbingan Islām, rahimaniy wa rahimakumullāh, yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Pada kesempatan kali ini (in syā Allāh) kita akan membaca kunci atau langkah ketiga yang disebutkan oleh Syaikh Abdurrazaq Al Badr hafizhahullāhu ta'āla dalam dalam Kitāb:  كيف تكون مفتاحاً للخير (Bagaimana Anda Menjadi Seorang Pembuka Kunci Kebaikan).

Beliau Berkata: 

"KUNCI KETIGA: ILMU YANG BERMANFAAT."

Yang dimaksud ilmu yang bermanfaat di sini adalah ilmu yang bersumber dari Al Qur'ān dan Sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Ilmu adalah pondasi yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi pintu bagi kebaikan.

Orang yang tidak memiliki ilmu, tidak akan mungkin bisa membedakan antara pintu kebaikan dengan pintu keburukan. Ia tidak akan mampu membedakan antara yang benar dan salah. Ia tidak akan mampu membedakan antara yang sunnah dan bid'ah. Ia tidak akan mampu membedakan jalan petunjuk dan jalan kesesatan. Ia tidak akan mampu menghindarkan diri dari kesalahan, hal ini terjadi karena ia tidak memiliki ilmu. 

Dulu pernah ada pepatah, "Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu apa yang harus dihindari dapat terhindar darinya?"

Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ 

Katakanlah wahai Muhammad, "Ini adalah jalanKu, aku berdakwah kepada Allāh di atas bashirah."

(QS. Yusuf: 108)

Bashīrah (بَصِيرَةٍ) adalah ilmu yang bermanfaat. Maka barangsiapa yang tidak memiliki ilmu yang bermanfaat maka ia tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dia tidak akan mampu membedakan mana yang merupakan jalan petunjuk dan mana yang merupakan jalan kesesatan.

Allāh Ta'āla berfirman :

أَفَمَن يَمۡشِي مُكِبًّا عَلَىٰ وَجۡهِهِۦٓ أَهۡدَىٰٓ أَمَّن يَمۡشِي سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

"Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terbimbing (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?"

(QS. Al Mulk: 22)

أَفَمَن يَعۡلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ ٱلۡحَقُّ كَمَنۡ هُوَ أَعۡمَىٰٓۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

"Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran."

(QS. Ar Ra'd : 19) 

قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ 

Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"

(QS. Az Zumar: 9)

Barangsiapa yang ingin menjadikan dirinya sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan maka hendaknya dia bersemangat mencari ilmu yang bermanfaat, hendaknya ia sangat perhatian dan teliti dengan ilmu-ilmu tersebut.

Ada sebuah hadīts yang menjelaskan hal ini, hadīts ini diriwayatkan  oleh Imam Al Baihaqi  bahwa Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

"Barangsiapa berangkat di pagi hari dalam rangka menuntut ilmu maka Allāh akan bukakan satu pintu surga baginya." 

Sanad hadīts ini lemah. Cukuplah bagi kita hadīts yang shahīh dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sebagaimana yang disebutkan oleh Abū Darda radhiyallāhu 'anhu dan selain beliau.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allāh akan mudahkan baginya satu jalan menuju surga."

Jadi, ilmu adalah pondasi dasar yang sangat penting, sebuah modal besar dalam permasalahan ini. Agar seseorang dapat menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan ia harus sangat perhatian dengan ilmu yang bermanfaat ini.

Ketika seseorang tidak memiliki ilmu, bisa jadi ia akan masuk dalam hal-hal yang merupakan kesesatan, merupakan kebid'ahan, merupakan hawa nafsu dalam keadaan ia merasa telah melakukan kebaikan.

Saya tidak akan panjang lebar dalam hal ini tapi saya akan cukupkan dengan satu kisah yang disebutkan oleh Ad Darini rahimahullah dalam kitāb Sunnan beliau. Sebuah hadīts dengan sanad yang hasan dari Amr bin Salamah Al Hamdani. 

Amr bin Salamah Al Hamdani  berkata:

Suatu saat sebelum shalat dhuhur kami pernah duduk-duduk di depan pintu Abdullāh bin Mas'ūd.  Kami akan berjalan bersama beliau ke masjid ketika beliau ke luar rumah. 

Tiba-tiba Abū Musa Al Asy'ari datang dan berkata, "Apakah Abū Abdurrrahman ibnu Mas'ūd, sudah keluar?" Kami jawab, "Belum." Maka Abū  Musa Al Asy'ari pun ikut duduk bersama kami menunggu Ibnu Mas'ūd keluar.

Ketika Ibnu Mas'ūd keluar kami langsung berdiri bersamaan, Abū Musa Al Asy'ari pun langsung berkata, "Wahai Abū Abdurrrahman (Ibnu Mas'ud),  di masjid aku melihat sesuatu yang asing tapi Alhamdulillāh menurutku perbuatan mereka adalah suatu kebaikan."

(Garis bawahi perkataan Abū Musa Al Asy'ari di sini, "Tapi Alhamdulillāh menurutku perbuatan mereka adalah suatu kebaikan.")

Ibnu Mas'ūd pun bertanya, "Apa yang mereka lakukan?" Abū Musa Al Asy'ari menjawab, "Apabila umur anda panjang, anda akan melihatnya sendiri." Di sana aku melihat sekelompok orang duduk melingkar di masjid untuk menunggu waktu shalat. Setiap lingkaran ada pemimpinnya. Di depan setiap orang dari mereka ada batu-batu kerikil, pemimpin mereka berkata, "Bertakbirlah 100 kali." Orang-orang pun bertakbir 100 kali. "Bertahlillah 100 kali." "Bertasbihlah 100 kali." orang-orang pun bertasbih 100 kali.

Ibnu Mas'ūd bertanya, "Apa yang engkau katakan kepada mereka?" Abū Musa Al Asy'ari berkata, "Aku tidak mengatakan sepatah kata pun, aku menunggu pendapat atau perintah darimu."

Ibnu Mas'ūd berkata, "Apakah kamu tidak perintahkan kepada mereka agar mereka menghitung dosa-dosa mereka saja dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan hilang sia-sia di sisi Allāh?"

Lalu beliaupun akhirnya berjalan menuju mereka dan kami pun mengikuti beliau hingga sampai tempat mereka berkumpul. Beliau berdiri dihadapan mereka lalu berkata, "Perbuatan apa yang kalian lakukan ini?" Mereka menjawab, "Wahai Abū  Abdillāh (Ibnu Mas'ud), ini hanya batu kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih kami."

Ibnu Mas'ūd pun berkata, "Hitung saja dosa-dosa kalian, saya jamin amal baik kalian tidak akan hilang walau pun hanya sedikit."

"Celaka wahai kalian umat Muhammad, cepat sekali kalian binasa. Para shahabat Nabi masih sangat banyak, pakaian Nabi belum hancur, bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, kalian ini sedang melakukan hal yang lebih baik dari apa yang dicontohkan Nabi atau kalian membuka pintu kesesatan?" Tanya Ibnu Mas'ūd yang tinggi nadanya beliau sedang mengingkari.

Mereka pun menjawab, "Wahai Abū Abdillāh,  kami hanya menginginkan kebaikan dari ini semua."

Ibnu Mas'ūd berkata, "Sungguh alangkah banyaknya orang-orang yang menginginkan kebaikan namun dia tidak akan pernah mendapatkannya." 

Selesai kisah beliau. 

Jadi seseorang tidak akan mendapatkan kebaikan kecuali orang-orang yang mengetahui kebaikan, mengetahui ilmu, mengetahui kebenaran dan mengetahui sunnah. 

Bahkan Ibnu Mas'ūd sendiri pernah berkata dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitāb Musnad,

"Sesungguhnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam diajarkan oleh Allāh kunci-kunci kebaikan, penutup kebaikan dan sesuatu yang dapat menggabungkan semua kebaikan."

(HR. Ahmad nomor 4160)

Sehingga apabila anda ingin menjadi orang yang dapat membuka pintu-pintu kebaikan maka belajarlah kuncinya, belajarlah penutupnya, belajarlah penggabungnya, kepada sosok tauladan bagi seluruh insan yang telah menggabungkan seluruh hal ini pada sabdanya, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillāh. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan atas Beliau.

Demikian kunci ketiga yang disampaikan oleh Syaikh Abdurrazaq Al Badr hafizhahullāhu ta'āla yang pada intinya ketika kita ingin menjadi pembuka pintu kebaikan, penutup pintu keburukan kita harus berilmu, kita harus tahu mana yang merupakan kebaikan dan mana yang merupakan keburukan, mana yang merupakan kesesatan mana yang merupakan hidayah. 

Jangan sampai kita salah, tadi contohnya Abū Musa Al Asy'ari memandang perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang tadi kebaikan tetapi Ibnu Mas'ūd memandang itu adalah suatu hal yang membinasakan.

Jadi kita harus belajar, mana yang berupa kebaikan mana yang berupa keburukan, mana yang sunnah mana yang merupakan bid'ah, mana yang merupakan jalan hidayah mana yang merupakan jalan kesesatan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan kita untuk terus belajar sehingga kita bisa menjadi seorang insan pembuka pintu kebaikan penutup pintu keburukan.

Wallāhu Ta'āla A'lam bishawab.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Manusia - Manusia Lemah

Carilah Sahabat Seperti ini

Kisah Nabi Luth as.

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Sunnah yang Terlupakan

Menyembunyikan Kebaikan

Hakikat Dunia

Panduan Shalat Tahajud

Seputar Syirik

Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir

Islam Telah Sempurna 

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

Doa Memohon Anak Yang Shalih

Sakit manghapuskan dosa-dosa kita




Wednesday, January 27, 2021

CARA MEMGOBATI FUTUR DAN MALAS MENUNTUT ILMU AGAMA


Tekad yang lemah dalam menuntut ilmu agama adalah salah satu musibah yang besar. Untuk mengatasi ini ada beberapa hal:

1. Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah ‘Azza Wa Jalla dalam menuntut ilmu

Jika seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu, ia akan memahami bahwa amalan menuntut ilmu yang ia lakukan itu akan diganjar pahala. Dan ia juga akan memahami bahwa ia akan termasuk dalam tiga derajat manusia dari umat ini*), lalu dengan itu semangatnya pun akan bangkit.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid” (QS. An Nisa: 69)

2. Selalu bersama dengan teman-teman yang semangat dalam menuntut ilmu

Dan teman-teman yang dapat membantunya dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama. Jangan condong untuk meninggalkan kebersamaan bersama mereka selama mereka senantiasa membantu dalam menuntut ilmu.

3. Bersabar, yaitu ketika jiwa mengajak untuk berpaling dari ilmu

Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini” (QS. Al Kahfi: 28)

Maka bersabarlah! Jika seseorang mampu bersabar lalu senantiasa kembali untuk menuntut ilmu maka lama-kelamaan menuntut ilmu akan menjadi kebiasaan baginya. Sehingga hari ketika ia terlewat dari menuntut ilmu akan terasa hari yang menyedihkan baginya.

Adapun ketika jiwa menginginkan ‘rasa bebas’ sebentar dari menuntut ilmu, maka jangan biarkan. Karena jiwa itu mengajak kepada keburukan. Dan setan itu senantiasa menghasung orang untuk malas dan tidak mau ta’lim (menuntut ilmu).

Sumber: Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, hal 97, cetakan Darul Imam

 maksud Syaikh, orang yang berilmu lah yang bisa menapaki jalan yang lurus yaitu shiratal mustaqim, dan akan bersama dengan orang-orang menjalani jalan tersebut. Sedangkan siapa saja orang yang menapaki shiratal mustaqim dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 69 yang beliau sebutkan. 

Wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Kisah Nabi Luth as.

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Menyembunyikan Kebaikan

Seputar Syirik

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

#griyakajiansunnah




Sunday, October 11, 2020

MEMBERI PERHATIAN KEPADA SUNNAH


Berkata Ibnu Hajar al Atsqalani rahimahullah :

أولى ما صرفت فيه نفائس الأيام وأعلى ما خص بمزيد الاهتمام الاشتغال بالعلوم الشرعية المتلقاة عن خير البرية

"Perkara paling utama dilakukan untuk mengisi setiap denyut hari dan sesuatu yang paling tinggi untuk diberikan perhatian secara khusus adalah Sibuk dengan ilmu yang berhubungan dengan manusia terbaik" *(Hadyus Sari: 1/3)*

Maksudnya adalah sibuk dengan ilmu Hadits atau Ilmu tentang Sunnah dan memberikan perhatian kepada ilmu ini adalah kesibukan yang paling pantas dilakukan seorang Muslim.

Karena Sunnah adalah Islam itu sendiri dan Islam adalah Sunnah.

Perhatian kepada Sunnah akan memberikan kebaikan bagi seseorang dan masyarakat. Baik dengan cara mempelajarinya, mengamalkannya, mendakwahkannya, atau membantu tersebarnya Sunnah di tengah ummat dengan bantuan apapun, harta, pikiran, ide, motivasi, dan lain-lain.

Jadilah salah seorang diantara mereka.


Thursday, October 1, 2020

Ilmu Dulu, Baru Amal

Ammi Nur Baits, S.T., B.A. 31 Desember 2010 

Ada seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin, suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.

Demikianlah gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.

Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:

إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ

Jika kamu mampu tidak akan menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah

(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)

Ulama ini menasehatkan agar setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai-pun dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang dikatakan mengamalkan dalil.

Namun sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari anggapan, amal rutinitas  ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.

*Ilmu Syarat Sah Amal*

Mengapa harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:

بَابٌ العِلمُ قَبلَ القَولِ وَالعَمَلِ

“Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”

(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al-qoul wa al amal)

Ucapan Imam Bukhari ini telah mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Karena itu, perkataan beliau ini banyak dikutip oleh para ulama setelahnya dalam buku-buku  mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman Allah:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغفِرْ لِذَنبِكَ

“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah

dan mintalah ampunan untuk dosamu” (QS. Muhammad: 19)

Di ayat ini, Allah memulai perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu. Kemudian Allah sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”.

Ketika menjelaskan hadis ini, al-Hafidz al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari mengutip perkataan Ibnul Munayir berikut:

Yang beliau maksudkan bahwasanya ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan. Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan niat adalah yang men-sahkan amal.

(Umdatu al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).

Dari keterangan Ibnul Munayir dapat disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. Karena seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yang benar, jika dia memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan mengutip keterangan al-Muhallab, yang mengatakan:

Amal itu tidak mungkin diterima kecuali yang didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti dari tujuan ini adalah memahami (mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta memahami tata cara ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini, bolehlah amal tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena telah didahului dengan ilmu. Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini seperti perbuatan orang gila, yang tidak dicatat amalnya.

(Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Batthal, Syamilah, 1/145)

Lebih dari itu, setiap orang yang hendak beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang akan dia kerjakan. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan amalnya tidak diterima. Mungkin dari tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian orang yang bertanya: Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan?

Sesungguhnya setiap orang dituntut untuk senantiasa belajar, meskipun ilmu yang dia pelajari belum waktunya untuk diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum memiliki kemampuan untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa memberikan manfaat bagi dirinya atau orang lain. Al-Hafidz al-Aini ketika menjelaskan perkataan Imam Bukhari di atas, beliau menyatakan:

Imam Bukhari mengingatkan hal ini – Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan –, agar tidak   didahului oleh pemahaman bahwa ilmu itu tidak manfaat kecuali jika disertai dengan amal. Pemahaman ini dilatar-belakangi sikap meremehkan ilmu dan menganggap mudah dalam mencari ilmu.

[Umadatul Qori Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, as-Syamilah, 2/476]

*Apa itu Ilmu?*

Yang kami maksud dengan ilmu adalah dalil, baik dari al Qur’an maupun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani mengatakan:

العِلمَ مَا قَامَ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ وَالنَّافِعُ مِنْهُ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ

“Ilmu adalah kesimpulan yang ada dalilnya, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah

ilmu yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam”

(Majmu’ Fatawa, Syamilah, jilid 6, hal. 388)

Bagian ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi kesalah-pahaman. Intinya ingin menjelaskan, setiap orang yang beramal dan dia tahu dalilnya maka boleh dikatakan, orang ini telah beramal atas dasar ilmu. Sebaliknya, beramal namun tidak ada landasan dalil belum dikatakan beramal atas dasar ilmu.

Lantas bagaimana dengan orang awam yang tidak faham dalil? Apakah dia diwajibkan mencari dalil? Jawabannya, untuk orang awam, dalil bagi mereka adalah keterangan dan fatwa ulama yang mendasari nasehatnya dengan dalil. Bukan keterangan ulama yang pemikirannya bertolak belakang dengan al-Qur’an dan sunnah. Dalilnya adalah firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahuinya” (QS. Al-Anbiya: 7)

*Muslim Vs Nasrani Vs Yahudi*

Tekait masalah ini, ada tiga kelompok manusia yang sangat esktrim perbedaannya. Ketiga jenis manusia ini Allah sebutkan dalam al-Qur’an, di surat al-Fatihah. Allah berfirman:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

“Berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus {} yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat {} Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.”

(QS. Al-Fatihah: 5 – 7)

Pada ayat di atas, Allah membagi manusia terkait dengan hidayah ilmu menjadi tiga golongan:

Pertama, golongan orang yang mendapat nikmat. Merekalah golongan yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam beragama.

Kedua, golongan orang-orang yang dimurkai. Merekalah orang-orang yahudi

Ketiga, golongan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang nasrani.

Syaikhul Islam menjelaskan sebab kedua umat yahudi dan nasrani dikafirkan:

Kesimpulannya, bahwa kekafiran orang yahudi pada asalnya disebabkan mereka tidak mengamalkan ilmu mereka. Mereka memahami kebenaran, namun mereka tidak mengikuti kebenaran tersebut dengan amal atau ucapan. Sedangkan kekafiran nasrani disebabkan amal perbuatan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka rajin dalam melaksanakan berbagai macam ibadah, tanpa adanya syariat dari Allah… karena itu, sebagian ulama, seperti Sufyan bin Uyainah dan yang lainnya mengatakan: “Jika ada golongan ulama yang sesat, itu karena dalam dirinya ada kemiripan dengan orang yahudi. Sedangkan golongan ahli ibadah yang rusak karena dalam dirinya ada kemiripan dengan orang nasrani” (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani, dengan Tahqiq Dr. Nashir al-`Aql, Kementrian Wakaf dan Urusan Islam KSA, 1419 H, jilid 1, hal. 79 )

Penjelasan yang bagus di atas memberikan kesimpulan, titik perbedaan antara umat islam dengan kaum yahudi dan nasrani adalah terkait masalah ilmu dan amal. Umat islam menduduki posisi pertengahan, dengan menggabungkan antara ilmu dan amal.

*Tingkatan Ilmu*

Untuk melengkapi pembahasan, berikutnya kita kupas tentang tingkatan ilmu berdasarkan hukumnya. Sesungguhnya hukum belajar ilmu syar`i itu ada dua tingkatan:

Pertama, fardhu `ain (menjadi kewajiban setiap orang)

Ilmu syar`i yang wajib diketahui dan dipelajari semua orang adalah ilmu syar`i yang menjadi syarat seseorang untuk bisa memahami aqidah pokok dengan benar dan tata cara ibadah yang hendak dikerjakan. Termasuk juga ilmu tentang praktek mu`amalah yang hendak dia lakukan.

Kedua, fardhu kifayah

Tingkatan yang kedua adalah ilmu syar`i yang harus dipelajari oleh sebagian kaum muslimin dengan jumlah tertentu, sehingga memenuhi kebutuhan untuk disebarkan kepada umat. Dalam kondisi ini, jika sudah ada sebagian kaum muslimin dengan jumlah yang dianggap cukup, yang melaksanakannya maka kaum muslimin yang lain tidak diwajibkan.

Catatan:

Bagi mereka yang ingin mengkhususkan diri mempelajari ilmu syar`i lebih mendalam, hendaknya dia meniatkan diri untuk melaksanakan tugas fardhu kifayah dalam bentuk mencari ilmu. Agar dia mendapatkan tambahan pahala mengamalkan amalan fardhu kifayah, disamping dia juga mendapatkan ilmu. Allahu a’lam

[lih. Kitab al-Ilmu, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Mauqi` al-Islam, hal. 14]

Penulis: Ammi Nur Baits

https://muslim.or.id/5312-ilmu-dulu-baru-amal.html


Wednesday, September 30, 2020

LIHATLAH DARI SIAPA KAMU MENGAMBIL ILMU AGAMAMU

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA 

Menuntut ilmu agama untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih adalah tanda kebaikan yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki bagi para hamba yang dipilih-Nya, sekaligus merupakan jalan menuju surga-Nya. Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ 

AaaBarangsiapa Allâh kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan  menjadikannya paham (berilmu) tentang (urusan) agama (Islam)[1] 

Dalam hadits shahih lainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ 

Barangsiapa menempuh suatu jalan dengan tujuan untuk menuntut ilmu (agama), maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga[2] 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits di atas (yang pertama) menunjukkan bahwa orang yang tidak dipahamkan dalam urusan agama maka (berarti) Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki kebaikan baginya”[3] 

Dan tentu saja, pemahaman agama yang dimaksud di sini adalah ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih, inilah ilmu yang semakin dipelajari maka semakin menguatkan iman dan menumbuhkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ 

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara para hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu [Fâthir/35:28] 

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu agama, karena hal itu membangkitkan rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla .”[4] 

Inilah sebab utama yang menjadikan ilmu agama mempunyai kedudukan dan keutamaan yang sangat besar, sebagaimana ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri, “Sesunguhnya ilmu agama dipelajari tidak lain untuk meraih ketakwaan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka dengan sebab (tujuan mulia inilah) ilmu agama lebih diutamakan (daripada amal lainnya). Kalau bukan karena tujuan ini maka niscaya ilmu agama sama (kedudukannya) dengan yang lain.”[5] 

Oleh karena agungnya kedudukan dan keutamaan ilmu yang bermanfaat ini, maka tentu untuk mendapatkannya seorang hamba harus mengikuti adab-adab menuntut ilmu dan syarat-syaratnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para Ulama Ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka yang menjelaskan adab-adab tersebut. 

Di antara adab dan syarat yang paling penting dalam hal ini adalah mengetahui sumber pengambilan ilmu yang benar dan memahami siapa yang pantas dijadikan sebagai rujukan dan guru dalam menimba ilmu agama. 

Imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allâh), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”[6] 

Artinya, janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat mengambil ilmu.[7] 

Fenomena Pemilihan Guru Agama Di Tengah Kaum Muslimin 

Jika kita memperhatikan kondisi mayoritas kaum Muslimin dalam memilih guru atau sumber rujukan dalam ilmu agama, maka kita akan dapati kenyataan yang sangat menyedihkan dan bahkan memprihatinkan. 

Kebanyakan kaum Muslimin justru lebih teliti dan berhati-hati dalam memilih dan menyeleksi sumber rujukan dalam urusan-urusan dunia mereka, seperti ketika mereka ingin berkonsultasi tentang kesehatan atau mengobati penyakit yang mereka rasakan, maka mereka akan sangat teliti mencari dokter yang spesialis, terkenal dan berpengalaman, bahkan termasuk memperhatikan alat-alat dan fasilitas canggih yang dimiliki oleh dokter tersebut. Demikian pula ketika mereka ingin memperbaiki kendaraan mereka misalnya, maka mereka akan sangat selektif mencari mekanik yang ahli, terkenal, perpengalaman dan memiliki peralatan serta fasilitas yang lengkap. 

Adapun untuk urusan agama, maka kita dapati kebanyakan mereka sangat tidak selektif dalam mencari sumber rujukannya, bahkan terkesan ‘asal comot’ dan hanya memperturutkan hawa nafsu. 

Di antara mereka, ada yang memilih guru agama atau penceramah hanya karena orang tersebut pandai melucu atau melawak, ada juga yang hanya karena orang tersebut populer dan sering muncul di televisi, bahkan ada juga yang hanya karena orang tersebut mantan artis terkenal dan seterusnya. 

Sebagian yang lain ada yang memilih guru hanya dengan pertimbangan keindahan bahasa dan retorika dalam menyampaikan ceramah atau khutbah, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang tentu jauh dari kriteria ilmu yang benar dan bermanfaat sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama Salaf. 

Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai dan merahmati Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berkata di hadapan murid-muridnya para Tabi’in, “Sesungguhnya kalian (saat ini) berada di jaman yang banyak terdapat orang-orang yang (benar-benar) berilmu, tapi sedikit  yang pandai berkhutbah atau berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu jaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang (benar-benar) berilmu.”[8] 

Bahkan lebih dari itu, ilmu yang benar dan bermanfaat tidak hanya berupa hafalan yang kuat terhadap ilmu tapi tanpa melahirkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mewariskan amal shalih, sebagaimana firman-Nya:

 إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ 

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara para hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh) [Fâthir/35:28]. 

Ketika mengomentari ayat di atas, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Bukanlah ilmu (yang bermanfaat) itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allâh Azza wa Jalla ).”[9] 

Ilmu Yang Bermanfaat Dan Sumber Pengambilannya 

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para Sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan al-Qur’an dan Hadits, (begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya.”[10] 

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ilmu yang benar dan bermanfaat memiliki sumber yang jelas, yaitu al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan pemahaman yang benar dari penjelasan para Sahabat dan para Ulama Ahlu sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan benar. Mereka inilah yang direkomendasikan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

 وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [At Taubah/9:100]. 

Jadi ilmu yang benar dan bermanfaat bukan hanya sekedar kepandaian berceramah atau menyusun kata-kata dan retorika yang indah, bahkan bisa jadi orang yang pandai berceramah dan menyampaikan kata-kata yang indah bukan orang yang memiliki ilmu yang benar. Di atas telah dinukil ucapan Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berkata di hadapan murid-muridnya para Tabi’in. 

Inilah di antara alasan utama yang menjadikan para Ulama Ahlus sunnah sangat berhati-hati dalam memilih guru dan mereka sangat keras memperingatkan para penutut ilmu dalam masalah ini. 

Ini tentu sangat wajar dan pantas, karena mempelajari ilmu agama adalah sebab utama, dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla , yang akan menumbuhkan keimanan dan ketakwaaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka untuk mewujudkan tujuan ini tentu sangat membutuhkan pembimbing dan guru yang baik. Karena dalam hal ini guru yang baik akan menjadi sumber kebaikan yang memberikan pengaruh baik kepada orang-orang yang belajar ilmu darinya. Ketika guru itu sendiri tidak memiliki kebaikan dan ilmu yang bermanfaat, maka bagaimana dia akan bisa memberikan pengaruh baik kepada orang lain? Salah satu ungkapan Arab yang terkenal mengatakan, “Orang yang tidak memiliki sesuatu maka dia tidak bisa memberikan apa-apa.”[11] 

Dalam atsar yang telah dinukil di atas, Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allâh), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”[12] 

Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i berkata, “Dulu para Ulama Salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya, (pengamalannya terhadap) sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.”[13] 

Bahkan dulunya para Ulama Salaf sangat teliti mencari informasi dan bertanya tentang keadaan, akhlak dan tingkah laku seseorang yang akan mereka jadikan sebagai guru untuk menimba ilmu agama. 

Imam ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata, “Dulunya para Ulama (Ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para rawi (guru dalam periwayatan hadits). Salah seorang Ulama Salaf, yaitu al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in) berkata, ‘Dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya, ‘Apakah kalian ingin menikahkannya?”[14] 

Siapakah Yang Pantas Dijadikan Sebagai Guru Dan Siapa Yang Tidak Pantas?

Para Ulama Salaf, sejak jaman para Sahabat Radhiyallahu anhum dan kemudian diikuti oleh para Imam Ahlus sunnah setelah itu, mereka senantiasa membedakan dan menjelaskan siapa orang yang pantas diambil ilmu darinya dan siapa yang tidak pantas. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujâhid bin Jabr al-Makki, dia berkata, “Suatu hari datang Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi kepada ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , lalu Busyair mulai menyampaikan hadits dan berkata, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda …  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda … Tetapi Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu tidak mendengarkan hadits yang disampaikannya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair berkata, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas! Mengapa aku melihat kamu tidak mau mendengarkan hadits yang aku sampaikan? (Pantaskah) aku menyampaikan kepadamu hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarkannya? Maka Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya kami (para Sahabat Radhiyallahu anhum) dulunya, ketika kami mendengar seseorang menyampaikan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami segera menoleh kepadanya dan langsung mengarahkan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi tatkala manusia telah menempuh jalan yang terpuji dan tercela, maka kamipun tidak mau mengambil ilmu dari mereka kecuali yang telah kami kenal.”[15] 

Prinsip yang lurus ini kemudian diterapkan oleh generasi yang datang setelah para Sahabat g, Imam besar dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Dulunya para Salaf tidak menanyakan tentang sanad (riwayat hadits), lalu ketika terjadi fitnah (dengan banyaknya orang-orang yang menyimpang dan meyelisishi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) para Salafpun (mulai bertanya tentang sanad riwayat hadits). Mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami rawi-rawi (hadits yang) kalian (sampaikan),’ Kemudian para Salaf melihat kepada (rawi-rawi tersebut) jika mereka adalah Ahlus sunnah maka hadits riwayat merekapun diterima, tapi jika mereka adalah ahli bid’ah maka hadits riwayat mereka ditolak.”[16] 

Imam kota Madinah di jamannya, Imam Malik bin Anas rahimahullah, menjelaskan hal ini dengan lebih rinci dalam ucapan beliau, “Tidak boleh mengambil ilmu (agama) dari empat (type manusia) dan boleh mengambil ilmu dari selain mereka;  Tidak boleh mengambil ilmu dari mubtadi’ (ahli bid’ah) yang mengajak (orang lain) kepada bid’ahnya; Tidak boleh mengambil ilmu dari orang dungu yang menampakkan kedunguannya terang-terangan; Tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang selalu berdusta ketika berbicara dengan orang lain, meskipun dia jujur dalam (menyampaikan) hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; Dan tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang tidak mengetahui (ahli dalam) ilmu agama.”[17] 

Bahkan pembahasan masalah penting ini dicantumkan oleh para Ulama Ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka yang memuat adab-adab menuntut ilmu agama. Seperti kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah. Beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang larangan at-talaqqi ‘an al-mubtadi’ (larangan mengambil ilmu agama dari Ahli bid’ah). Beliau berkata, “Jauhilah abul jahl (orang yang bodoh) ahli bid’ah, yang terjangkiti penyimpangan akidah dan tertimpa awan pemikiran yang kacau. Dialah orang yang berhukum dengan hawa nafsu dan menamakannya sebagai akal (logika), serta berpaling dari dalil (al-Qur’an dan hadits yang shahih), padahal logika yang benar tidak lain ada pada dalil. Dialah orang yang selalu berpegang dengan (hadits) yang lemah dan berpaling dari (hadits yang) shahih. Orang seperti ini juga disebut sebagai ‘ahli syubhat’ (orang yang memiliki pemahaman agama yang rancu dan rusak) dan ‘ahli hawa’ (pengekor hawa nafsu). Oleh karena itu, Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah menyebut Ahli bid’ah sebagai ‘al-asha-gir’ (orang-orang yang kecil/kerdil)”[18]. 

Termasuk yang diperingatkan oleh para Ulama untuk tidak dijadikan sebagai guru dalam ilmu agama adalah orang yang tidak dikenal pernah mempelajari dan mendalami ilmu sunnah sehingga pemahaman agamanya rancu atau minimal diragukan kebenarannya. Imam ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir asy-Syami rahimahullah berkata, “Tidak boleh mengambil ilmu kecuali kepada orang yang dipersaksikan (pernah) menuntut ilmu (sunnah).”[19] 

Imam Syu’bah bin al-Hajjaj al-Bashri rahimahullah berkata, “Ambillah ilmu dari orang-orang yang dikenal.”[20] 

Dalam hal ini Imam al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah berkata, “Sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memilih guru yang dikenal pernah mempelajari hadits (sunnah) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta diakui ketelitian dan kedalaman ilmunya.”[21] 

Apakah Setiap Orang Yang Dikenal Shalih Dan Rajin Beribadah Secara Lahir Pantas Dijadikan Sebagai Guru Ilmu Agama? 

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang shalih dan taat beribadah adalah orang yang pantas untuk kita jadikan sebagai teman dekat dan panutan dalam amal shalih. Akan tetapi untuk menjadikan seseorang sebagai guru ilmu agama bukan hanya dengan melihat keshalihan dan ketekunan beribadah orang tersebut, kriteria yang juga harus ada pada orang tersebut adalah pemahaman Islam yang lurus dan jauh dari syubhat (kerancuan dalam memahami Islam), kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Imam besar dari generasi Tabi’in, Abu az-Zinad ‘Abdullah bin Dzakwan al-Madani rahimahullah berkata, “Aku pernah menjumpai di kota Madinah seratus orang (shalih) yang semuanya sangat jujur dan amanah, tapi tidak ada yang mempelajari ilmu hadits dari mereka, karena mereka bukan ahlinya (tidak pantas dijadikan guru).”[22] 

Imam Malik rahimahullah berkata, “Aku pernah menjumpai di kota ini (kota Madinah) para syaikh yang utama, shalih dan rajin beribadah, mereka menyampaikan ilmu hadits, tapi aku tidak pernah mendengar (mempelajari) satu haditspun dari mereka, karena mereka tidak mengetahui (mendalami) ilmu hadits.”[23] 

Bahkan beberapa uUlama Salaf menjelaskan bahwa tidak sedikit dari orang-orang shalih yang tidak memiliki keahlian dalam menyampaikan ilmu agama, justru dengan sebab itu mereka banyak melakukan kesalahan dalam menyampaikan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga riwayat hadits mereka tertolak. Imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan dan Abu ‘Ashim an-Nabil berkata, “Kamu tidak akan melihat (mendapati) orang-orang yang shalih lebih banyak berdusta (melakukan kesalahan) dalam suatu hal melebihi (ketika meriwayatkan) hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[24] 

Imam Muslim ketika mengomentari ucapan di atas, beliau rahimahullah berkata, “Lisan mereka melafazkan sesuatu yang dusta (karena salah dalam meriwayatkan hadits) tetapi mereka tidak sengaja berdusta.”[25] 

Lebih lanjut, Imam at-Tirmidzi menjelaskan hal ini dalam ucapan beliau, “Terkadang ada orang shalih yang sangat rajin beribadah, tetapi dia tidak bisa menegakkan persaksian dan tidak bisa menghafalnya, demikian pula (dalam meriwayatkan) hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hafalannya yang buruk dan kelalaiannya yang sangat parah.”[26] 

Bahkan yang lebih parah dari semua itu, tersebarnya hadits-hadits palsu yang dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diantara sebabnya adalah riwayat dari orang-orang shalih tersebut, yang kemudian mudah diterima oleh kaum Muslimin karena bersangka baik dengan hanya melihat keshalihan mereka, sehingga kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar di tengah-tengah umat Islam. Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah berkata, “Orang-orang yang shalih selalu melakukan ini. Mereka meriwayatkan hadits-hadits yang palsu dan batil (rusak) tentang keutamaan amal-amal ibadah, beberapa orang di antara mereka yang dituduh oleh para Ulama ahli hadits sebagai pemalsu hadits-hadits tersebut.”[27] 

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para pemalsu hadits (atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ada beberapa kelompok, yang paling besar bahayanya adalah orang-orang yang dianggap zuhud (ahli ibadah) yang memalsukan hadits dengan niat ibadah, kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar (di tengah umat Islam) karena percaya kepada mereka.”[28] 

Antara Berprasangka Baik Dan Memilih Guru Yang Pantas 

Sebagian dari kaum Muslimin ada yang berkata, “Yang penting orang tersebut terlihat baik dan tidak terlihat menyimpang, maka kita boleh mengambil ilmu darinya, meskipun kita tidak mengenal keadaannya secara rinci, karena kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap Muslim sampai ada bukti nyata dan jelas tentang keburukan dan kesalahannya.” 

Apakah ucapan dan alasan ini bisa dibenarkan dalam hal memilih guru? Jawabannya: ucapan dan alasan tersebut jelas keliru, ditinjau dari beberapa segi, di antaranya: 

1. Memang benar kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap Muslim, selama tidak terlihat padanya keburukan dan kesalahan yang nyata. Akan tetapi dalam masalah memilih guru harus ada kriteria lain yang dipenuhi, yaitu pemahaman Islam yang lurus serta keahlian dan penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, mayoritas Ulama ahli hadits membantah dan menyalahkan Imam Ibnu Hibban t yang menulis kitab ats-Tsiqât (rawi-rawi yang terpercaya) dan mencantumkan di dalamnya sejumlah rawi hadits yang tidak dikenal keadaannya oleh para Ulama ahli hadits, karena beliau hanya melihat penampilan lahir dari para rawi tersebut. Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang ‘adil (terpercaya) adalah orang yang tidak diketahui ada al-jarh (kritikan atau celaan) padanya, karena kritikan adalah lawan dari pujian, maka barangsiapa yang tidak dicela berarti dia adalah orang yang dipuji sampai jelas adanya kritikan padanya.”[29] 

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menyanggah ucapan Imam Ibnu Hibban tersebut, beliau berkata, “Pendapat Ibnu Hibban rahimahullah ini adalah pendapat yang aneh dan ditentang oleh mayoritas Ulama. Inilah metode yang ditempuh oleh Ibnu Hibban rahimahullah dalam kitab ats-Tsiqât yang ditulisnya. Dia mencantumkan sejumlah rawi dalam kitab tersebut (menganggapnya sebagai rawi-rawi yang terpercaya) padahal Imam Abu Hâtim (ar-Râzi) dan imam-imam lainnya menegaskan bahwa rawi-rawi tersebut adalah majhûl (tidak dikenal keadaannya)”[30]. 

Bahkan Imam al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah mencantumkan bab khusus untuk menyanggah dan menjelaskan kesalahan pendapat ini dalam kitab beliau al-Kifâyah fi ‘ilmir riwâyah (hlm. 81), yaitu bab: Bantahan terhadap orang yang menganggap bahwa al-‘adâlah (keterpercayaan dalam riwayat hadits) adalah (hanya) dengan menampakkan keislaman dan tidak memperlihatkan kefasikan (keburukan) secara lahir. Dalam bab ini beliau menjelaskan bahwa di samping kebaikan Islam secara lahir, sifat jujur serta amanah, kesucian (tidak menampakkan keburukan) dan lurusnya pemahaman. Cara untuk mengetahui sifat terpercaya seorang rawi sehingga riwayat haditsnya diterima adalah dengan menguji keadaannya dan meneliti perbuatannya, yang dengan itu kita yakin bahwa dia adalah rawi yang terpercaya atau tidak.[31] 

Oleh karena itu, mayoritas Ulama berpendapat bahwa keterpercayaan seorang rawi dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang ini juga berlaku dalam hal menentukan siapa yang pantas dijadikan sebagai guru agama, ditetapkan dengan salah satu dari dua hal: 

• Dikenalnya orang tersebut dengan sifat-sifat baik dan tersebarnya pujian kepadanya sebagai orang yang jujur, amanah dan terpercaya, seperti para Imam besar ahlus sunnah, misalnya Imam Malik bin Anas, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Bukhâri dan lain-lain. 

• Pernyataan dan penegasan dari para Imam Ahli hadits bahwa orang tersebut adalah terpercaya.[32] 

2. Para Ulama Salaf sangat teliti dan selektif dalam memilih guru agama, bahkan mereka selalu mencari informasi yang lengkap tentang seseorang yang akan dijadikan sebagai guru ilmu agama, sebagaimana yang telah kami nukilkan di atas. Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i berkata, “Dulu para Ulama salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya, (pengamalannya terhadap) sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.”[33] 

Imam ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata, “Dulunya para Ulama (ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para rawi (guru dalam periwayatan hadits). Salah seorang Ulama salaf, yaitu al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in) berkata, ‘Dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya: Apakah kalian ingin menikahkannya?”[34] 

Oleh karena itu, para Ulama Ahli hadits menolak dan menilai hadits seorang rawi yang keadaannya tidak dikenal (majhulul hal) sebagai hadits lemah.[35] 

3. Orang yang tidak dikenal dan diketahui keadaannya, menurut para Ulama salaf, tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru ilmu agama, meskipun tidak terlihat padanya keburukan dan penyimpangan, sebagaimana dalam jawaban poin pertama. Di atas telah kami nukil dan jelaskan bahwa para Ulama salaf menolak mengambil ilmu dari orang-orang yang shalih dan rajin beribadah jika mereka tidak memiliki kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sehingga tidak pantas dijadikan sebagai guru. Kalau orang yang telah jelas keshalihan, ketekunan beribadah dan kejujurannya saja tidak bisa dijadikan sebagai guru jika tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, apalagi orang yang tidak dikenal keadaannya, maka tentu lebih tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru agama. 

Mengapa Harus Mengikuti Metode Para Ulama Salaf?

Inilah metode para Ulama Salaf dalam menuntut ilmu dan memilih guru ilmu agama yang benar, guna meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih. Tentu saja, metode inilah yang seharusnya kita ikuti dalam semua perkara agama kita, apalagi dalam urusan menuntut ilmu agama yang merupakan sebab utama limpahan taufik dari Allâh Azza wa Jalla untuk kebaikan hamba-Nya. Inilah metode beragama yang diridhai Allâh Azza wa Jalla dan dijamin kebaikannya, sebagaimana dalam firman-Nya:

 وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [At-Taubah/9:100] 

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ 

Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat ), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka[36]. 

Ketika menjelaskan makna hadits di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik secara mutlak[37] 

adalah generasi di masa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (para Sahabat Radhiyallahu anhum), dan ini mengandung pengertian keunggulsn mereka dalam seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya) dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka tidak akan dinamakan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai) generasi yang terbaik secara mutlak.”[38] 

Imam besar ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, al-Hasan al-Bashri rahimahullah menggambarkan dampak positif dari ilmu yang bermanfaat di masa para Ulama salaf. Beliau rahimahullah berkata, “Dulu jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh positif ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allâh), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangan (anggota badan)nya.”[39] 

Beliau juga berkata, “Orang yang memahami ilmu agama adalah orang yang zuhud dalam (urusan) dunia, memiliki pemahaman yang dalam terhadap agama dan selalu tekun beribadah kepada Rabbnya.”[40] 

Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Malik bin Anas yang berkata dalam ucapannya yang populer, “Tidak akan baik (keadaan) generasi terakhir umat ini kecuali dengan sesuatu (metode benar) yang telah memperbaiki (keadaan) generasi pertama umat ini.”[41] 

Nasehat Dan Penutup 

Menuntut ilmu adalah jalan menuju surga dan tanda kebaikan yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki bagi seorang hamba-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti jalan yang benar dalam menuntut ilmu maka dia akan meraih kebaikan tersebut, dan sebaliknya, barangsiapa menyelisihi jalannya maka diapun tidak akan meraih kebaikan. Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah mencantumkan perkara agung ini sebagai adab yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Beliau rahimahullah berkata, “Jadilah kamu sebagai salafi (pengikut manhaj Salaf) yang sebenarnya, (dengan menempuh) jalan (metode beragama) para salaf yang shalih dari (generasi) Sahabat Radhiyallahu anhum dan orang-orang yang setia mengikuti jejak mereka dalam semua perkara agama, baik dalam tauhid (aqidah), ibadah dan lain-lain. Istimewakan dirimu dengan selalu berkomitmen terhadap hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membiasakan diri selalu mengamakan sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meninggalkan perdebatan (tanpa faidah), bantah-bantahan, berdalam-dalam membahas ilmu kalam, melakukan hal-hal yang menimbulkan dosa dan menghalangi dari syariat Islam.”[42] 

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik-Nya untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih, serta menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.

Footnote 

[1] HSR. Al-Bukhâri, no. 2948 dan Muslim, no. 1037 

[2] HSR. Muslim, no. 2699 

[3] Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/60 

[4] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 688 

[5] Dinukil oleh Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab Hilyatul Auliyâ’, 6/362 

[6] Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/43-44 – Syarhu Shahîh Muslim 

[7] Lihat penjelasan Imam al-Munawi dalam Faidhul Qadîr , 2/545 dan 6/383 

[8] Atsar riwayat Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, no. 789 dan Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, no. 3787, dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri, 10/510 dan dihasankan olah Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasûlullâh n dan dishahihkan olah Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah, no 2510 

[9] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/729 

[10] Kitab Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, hlm. 6 

[11] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab at-Tawassul, ‘Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu, hlm. 74 

[12] Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahîh Muslim (1/43-44 – Syarhu Shahih Muslim). 

[13] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam as-Sunan, 1/124 dengan sanad yang shahih. 

[14] Kitab al-Anwârul Kâsyifah, hlm. 96. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 92 

[15] Atsar yang shahih dalam Shahîh Muslim, 1/12 

[16] Atsar yang shahih dalam Shahîh Muslim, 1/12 

[17] Dinukil oleh al-Khathiib dalam al-Kifâyah, hlm. 160 dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ’, 8/67 

[18] Kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi, hlm. 39 

[19] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarhu wat Ta’dîl, 2/28 

[20] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarhu wat Ta’dîl, 2/28 dan al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jâmi’u li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/190 

[21] Kitab al-Jâmi’u li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/189 

[22] Atsar shahih dalam Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/12 

[23] Dinukil oleh Imam al-‘Uqaili dengan sanadnya dalam kitab adh-Dhu’afâ’ al-Kabîr, 1/13-14 

[24] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Syarhu ‘Ilalit Tirmidzi, 1/387-388 

[25] Kitab Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/18 

[26] Kitab Syarhu ‘Ilalit Tirmidzi, 1/387 

[27] Kitab al-Kâmil fi Dhu’afâ-ir Rijâl, 3/216 

[28] Kitab Tadrîbur Râwi, 1/332 

[29] Kitab ats-Tsiqât, 1/13 

[30] Kitab Lisânul Mîzân, 1/14 

[31] Lihat kitab al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 81 

[32] Lihat kitab Dhawâ-bithul Jarhi wat Ta’dîl, hlm. 35-36 

[33] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam as-Sunan, 1/124 dengan sanad yang shahih. 

[34] Kitab al-Anwârul Kâsyifah, hlm. 96. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 92 

[35] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani t dalam kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 30 – cet. Daar Ibni Rajab 

[36] HSR. Al-Bukhâri, 3/1335 dan Muslim, no. 2534 

[37] Artinya kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama. 

[38] Kitab I’lâmul Muwaqqi’în, 4/136- cet. Daarul jiil, Beirut, 1973 

[39] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam kitab al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/215 

[40] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Mizzi dalam kitab  Tahdzîbul Kamâl, 6/118 

[41] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidhâ-ush Shirâthil Mustaqîm, hlm. 367 dan Imam Ibnul Qayyim dalam Igâtsatul Lahfân, 1/200 

[42] Kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi, hlm. 12


Referensi: https://almanhaj.or.id/7524-lihatlah-dari-siapa-kamu-mengambil-ilmu-agamamu.html

Saturday, September 26, 2020

HATI YANG LEBIH LUAS DARI DUNIA

Diantara barometer ilmu Anda adalah hati Anda, semakin luas ilmu Anda, akan semakin lapang pula dada Anda… Simaklah dengan seksama mutiara kata Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- berikut ini:

“Diantara yang dapat melapangkan dada adalah ILMU (agama), sungguh dia dapat melapangkan dada dan meluaskannya, hingga dia LEBIH LUAS DARI DUNIA.

Adapun kebodohan, dia menjadikan hati seseorang sempit, terhimpit, dan terpenjara.

Maka, semakin luas ilmu seorang hamba, semakin lapang dan luas pula dadanya. Tapi ini TIDAK berlaku pada SEMUA ilmu, namun HANYA untuk ilmu yang diwariskan oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, itulah ilmu yang bermanfaat.

Oleh karenanya, orang yang ilmunya bermanfaat, menjadi orang yang paling lapang dadanya, PALING LUAS hatinya, paling baik akhlaknya, dan paling berkah kehidupannya”. [Zadul Ma’ad: 2/23].

Sungguh ini pelajaran yang sangat berharga bagi kita… Makanya kita dapati mereka yang ilmunya bermanfaat akan menjadi paling tegar dalam menghadapi musibah dan cobaan, sebagaimana Nabi -shollallohu alaihi wasallam-.

Karena setelah hati seseorang menjadi besar, lapang, dan luas; semua masalah akan menjadi terlihat kecil dan kerdil… Dan jika kita masih menganggap ada permasalahan besar yang tidak sanggup kita hadapi, itu menunjukkan kecil dan kerdilnya hati kita, wallohu a’lam.

Semoga bermanfaat…

DR, Musyaffa Ad Dariny, MA حفظه الله تعالى

Hikmah Berqurban