Showing posts with label Bid'ah. Show all posts
Showing posts with label Bid'ah. Show all posts

Sunday, August 14, 2022

YANG MENJADI PATOKAN DALAM AMALAN


Berkata Asy Syeikh Al Albani rahimahullah:

أن العبرة ليست بكثرة العبادة ، وإنما بكونها على السنة ، بعيدة عن البدعة ، وقد أشار إلى هذا ابن مسعود رضي الله عنه بقوله : (( اقتصاد في السنة ، خير من اجتهاد في البدعة ))

Sesungguhnya yang menjadi patokan bukanlah banyaknya ibadah, namun hanyalah bersesuaiannya dengan sunnah, jauh dari bid'ah, dan sungguh Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu telah mengisyaratkan hal ini dalam ungkapannya;

Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam hal bid'ah.

As Silsilah Ash Shahihah (5/14).

Ustadz Fauzan Abu Muhammad Al-Kutawy hafizhahullah

Wednesday, July 6, 2022

Larangan Menghormati Ahlul Bid'ah Bagian 1


Semoga Bermanfaat, Silahkan Share jika dirasa bermanfaat dan semoga mendapatkan pahala jariyahnya.

Masukan dan Saran Serta Kritik Membangun sangat diharapkan ke email : tujuanmucom@gmail.com

Simak Juga Artikel Kami Lainnya di Channel Youtube :

https://www.youtube.com/c/TopChannelOne

Play List Kajian Sunnah di Youtube :

https://www.youtube.com/playlist?list=PLIJQYJ-Cz_XkX6L_nhAGqOAX9FX9MDKQQ

Tag / Label :

Kajian Islam, Tauhid, Kajian Islam Terbaru,Update Kajian,Update sunnah, info Islam,Info Kajian Islam, Manhaj Salaf, Tauhid,Al Qur’an, Allah di atas Arsy',Dakwah salaf

Supported By : www.tujuanmu.com

Wednesday, June 15, 2022

20 Bahaya Bid'ah

 


Semoga Bermanfaat, Silahkan Share jika dirasa bermanfaat dan semoga mendapatkan pahala jariyahnya.

Masukan dan Saran Serta Kritik Membangun sangat diharapkan ke email : tujuanmucom@gmail.com

Simak Juga Artikel Kami Lainnya di Channel Youtube :

https://www.youtube.com/c/TopChannelOne

Play List Kajian Sunnah di Youtube :

https://www.youtube.com/playlist?list=PLIJQYJ-Cz_XkX6L_nhAGqOAX9FX9MDKQQ

Twitter     :  tujuanmucom

Tag / Label :

Kajian Islam, Tauhid, Kajian Islam Terbaru,Update Kajian,Update sunnah, info Islam,Info Kajian Islam, Manhaj Salaf, Tauhid,Al Qur’an, Allah di atas Arsy',Dakwah salaf

Supported By : www.tujuanmu.com


Yang Penting Kan Niat Baik.?

 Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing”.

Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)

Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Kesimpulan : Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”

Kami harap pula para pembaca dapat mengetahui dalil-dalil tentang pembahasan ini secara lebih lengkap dalam tulisan kami yang lainnya di sini.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh http://rumaysho.com

Tuesday, May 24, 2022

Pembahasan Bid'ah Hasanah

 

Semoga Bermanfaat, Silahkan Share jika dirasa bermanfaat semoga mendapatkan pahala jariyahnya.

Masukan dan Saran Serta Kritik Membangun sangat diharapkan ke email : tujuanmucom@gmail.com

Simak Juga Artikel Kami Lainnya di Channel Youtube :

https://www.youtube.com/c/TopChannelOne

Play List Kajian Sunnah di Youtube :

https://www.youtube.com/playlist?list=PLIJQYJ-Cz_XkX6L_nhAGqOAX9FX9MDKQQ

Blog Sederhana :

https://griyakajiansunnah.blogspot.com

Twitter     :  tujuanmucom

Tag / Label :

Kajian Islam, Kajian Islam Terbaru,Update Kajian,Update sunnah, info Islam,Info Kajian Islam, News Islam, Berita Islam, Manhaj Salaf, Tauhid, ,Al Qur’an, Allah di atas Arsy', Ilmu Agama,Dakwah salaf

Supported By : www.tujuanmu.com

Sunday, March 27, 2022

Bid'ah, Berkata Agama tanpa ilmu menghancurkan dan merusak syari’at Islam

Oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى

https://t.me/bbg_alilmu/

*Bahwa mereka mewanti-wanti manusia dari bahaya berbuat bid’ah dalam agama.* 

*Dan juga bahaya berkata atas Allah dengan tanpa ilmu.*

Karena dua perkara ini adalah perkara yang bisa menghancurkan kemudian merusak syari’at Islam.

Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap kali khotbah Jum’at,

*beliau selalu berkata:*

“Sebaik-baiknya ucapan adalah ucapan Allah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang di ada-adakan dan setiap bid’ah itu sesat.” (dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya).

Bayangkan Nabi dalam khotbahnya selalu mengingatkan masalah bid’ah, ini menunjukkan kebid’ahan/bid’ah itu memang sangat bahaya sekali.

Bid’ah itu bisa merusak kesempurnaan Islam.

Bid’ah itu menyebabkan akhirnya di masukkan kedalam Islam sesuatu yang bukan agama, sehingga akhirnya seseorang yang tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil.*

Demikian pula mereka mewanti-wanti agar jangan berkata atas Allah dengan tanpa ilmu.

Karena berkata tanpa ilmu ini sebab utama muncul berbagai macam pemikiran-pemikiran yang menyimpang, munculnya bid’ah, munculnya kesyirikan, munculnya penyimpangan adalah merupakan disebabkan adalah berkata atas Allah tanpa ilmu.*

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan [QS Al-A’raf : 33]

‎قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

*“Katakanlah sesungguhnya Rabku mengharamkan perbuatan fahisya (maksiat) yang tampak maupun yang tersembunyi, dosa, dan berbuat zolim tanpa haq dan kamu mempersekutukan Allah dalam perkara yang tidak di turunkan padanya perkara ilmuNya.”*

Kemudian Allah menutup ayat itu dengan firmannya

‎وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

*“Dan kamu berkata atas Allah dengan tanpa ilmu“*

Maka ini menunjukkan bahwa berkata tanpa ilmu itu merupakan itu adalah merupakan keharaman yang paling besar/ yang paling agung.

Sampai-sampai Allah menutup ayat tersebut dengan berkata tanpa ilmu .

Oleh karena itu ya Akhul Islam, Saudara-saudaraku sekalian kita berusaha dalam berbicara masalah agama ini betul-betul diatas ilmu, diatas dalil, diatas hujjah bukan sebatas ro’yu dan pendapat semata.

Karena agama ini yang berasal dari Allah dan itu adanya dari Alqur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adapun pendapat-pendapat ulama bukanlah dalil dan hujjah.

*👉Hujjah itu Alqur’an dan Hadits.*

Ulama itu hanya sebatas wasilah untuk memahami Alqur’an dan Hadits, bukan untuk menolak Alqur’an dan Hadits.

Maka dari itulah zaman sekarang, kita melihat banyak orang-orang yang mudah berbicara tanpa ilmu, sebatas dengan ro’yu-ro’yunya saja.

Allahul musta’an

Wallahu a’lam

Sumber::

https://bbg-alilmu.com/archives/35836

Dari buku yang berjudul “Al Ishbaah Fii Bayani Manhajis Salaf Tarbiyati wal Ishlah“, tentang Manhaj Salaf Dalam Masalah Tarbiyah dan Perbaikan, ditulis oleh Syaikh Al Ubailaan حفظه الله تعالى

Friday, February 18, 2022

Hadits Palsu Tentang Adanya Bid’ah Hasanah (Yang Baik)

Oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A.

http://manisnyaiman.com/

رُوِيَ عن أنس بن مالك  t قال: قال رسول الله ﷺ: ((ما استحسنوا فهو عند الله حسن وما استقبحوا فهو عند الله قبيح)) حديث موضوع رواه الخطيب البغدادي وابن الجوزي.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka itu baik di sisi Allah dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka itu buruk di sisi Allah”.

Hadist ini dikeluarkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi رحمه الله dalam “Tarikh Bagdad” (4/165) dan dari jalurnya oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab “al-Waahiyaat” (no. 452) dari jalur Sulaiman bin ‘Amr Abu Dawud an-Nakha’i, dari Aban bin Abi Ayyasy dan Humaid ath-Thawil, dari Anas bin Malik, dari Rasulullah ﷺ.

Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sulaiman bin ‘Amr Abu Dawud an-Nakha’i, dia adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits. Imam Ahmad رحمه الله berkata tentangnya: “Dia selalu memalsukan hadits”. Imam Yahya bin Ma’in رحمه الله berkata: “Dia adalah orang yang paling pendusta”. Imam al-Bukhari رحمه الله berkata: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang fatal), Imam Qutaibah dan Ishaq menilainya sebagai pendusta”[1].

Imam Ibnul Jauzi رحمه الله menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, beliau berkata: “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh (Abu Dawud) an-Nakha’i, (Imam) Ahmad bin Hambal رحمه الله berkata (tentangnya): Dia selalu memalsukan hadits”.

Imam Ibnu ‘Abdil Hadi رحمه الله berkata: “Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah ﷺ) dari Anas bin Malik dengan sanad yang gugur (palsu)”[2].

Imam Ibnu Qayyimil Jauziyyah رحمه الله berkata: “Ini bukanlah termasuk sabda Rasulullah ﷺ, yang menilainya sebagai sabda beliau ﷺ hanyalah orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang hadits Rasulullah ﷺ”[3].

Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله [4].

Derajat hadits ini yang palsu menjadikannya sama sekali tidak bisa dijadikan sandaran dan argumentasi untuk menetapkan adanya bid’ah yang baik dalam agama Islam, hanya dengan alasan pandangan sebagian kaum muslimin yang menganggap baik suatu perbuatan, meskipun tidak ada dalil dari al-Qur’an atau hadist shahih yang menetapkannya. Karena di samping derajat hadits ini palsu sehingga dipastikan bukan termasuk sabda Rasulullah ﷺ, isinya juga sangat berseberangan dengan banyak hadits yang kuat dan shahih. Misalnya sabda Rasulullah ﷺ: “Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan semua bid’ah adalah sesat”[5].

Syaikh al-Albani berkata: “Sungguh termasuk keanehan di dunia ini adanya beberapa orang yang berargumentasi dengan hadits ini (untuk menetapkan) adanya bid’ah yang baik dalam agama Islam dan dasar penetapan baiknya bid’ah tersebut adalah kebiasan kaum muslimin dalam mengerjakan perbuatan tersebut. Tatkala masalah ini dibicarakan (dikritik), mereka langsung berargumentasi dengan hadits (palsu) ini”[6].

 Memang ada atsar (riwayat) dari ucapan shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud yang maknanya sama dengan hadits di atas. Atsar dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/379), ath-Thabrani dalam “al-Mu’jam al-kabir” (9/112), al-Hakim (3/83) dan lain-lain.

Atsar ini dinyatakan dinyatakan shahih dari ucapan ‘Abdullah bin Mas’ud oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam ad-Dzahabi. Juga dinyatakan kuat oleh Imam Ibnul Jauzi, Ibnu ‘Abdil Hadi dan Ibnul Qayyim dalam kitab-kitab mereka di atas.

Akan tetapi, ucapan Ibnu Mas’ud ini maksudnya untuk menetapkan kesepakatan para Shahabat t dalam memilih Abu bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah ﷺ, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam al-Hakim di kitab “al-Mustadrak” (3/83). Lafazh ucapan Ibnu Mas’ud tersebut adalah sebagai berikut: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka itu baik di sisi Allah dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka itu buruk di sisi Allah, sungguh para Shahabat seluruhnya memandang untuk menjadikan Abu Bakar t sebagai khalifah (sepeninggal Rasulullah ﷺ)”.

Maka yang dimaksud dengan ‘kaum muslimin’ dalam ucapan Ibnu Mas’ud ini adalah para Shahabat sebagai generasi terbaik umat ini, yaitu kesepakatan mereka dalam perkara agama.

Jadi bukanlah maksudnya pandangan kaum muslimin secara umum, apalagi hanya segelintir di antara mereka, tanpa membedakan orang yang berlmu dan tidak berilmu[7].

Oleh karena itu, para ulama Ahlus sunnah berdalil dengan atsar ini untuk menetapkan kesepakatan para Shahabat tentang kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq. Di antara para ulama tersebut adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Minhajus sunnah” (2/78), Imam Ibnul Qayyim رحمه الله dalam “I’lamul muwaqqi’in” (4/138) dan Imam Ibnu Katsir dalam “al-Bidayah wan nihayah” (10/328).

  وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 28 Dzulhijjah 1439 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

• [1] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab “Lisanul mizan” (3/97).

• [2] Dinukil oleh Imam al-‘Ajluni dalam “Kasyful khafaa’” (2/188).

• [3] Kitab “al-Furusiyyah” (hlmn 298).

• [4] Kitab “Silsilatul ahaa-diitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (no. 532).

• [5] HSR Muslim (no. 867).

• [6] Kitab “Silsilatul ahaa-diitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (2/17).

• [7] Lihat penjelasan Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahaa-diitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (no. 532).

Sumber::

http://manisnyaiman.com/hadits-palsu-tentang-adanya-bidah-hasanah-yang-baik/#more-1727

Update Kajian Sunnah, Kajian Islam, Kajian Islam Terbaru,Update Kajian,Update sunnah, info Islam,Info Kajian Islam, News Islam, Berita Islam, Kabar Islam, Belajar Islam, Manhaj Salaf, Tauhid, go Tauhid,Griya Kajian Sunnah


Wednesday, February 9, 2022

MANHAJ DAKWAH AHLI BID’AH


https://t.me/menebar_cahayasunnah

Di antara manhaj dakwah bid’ah penyesat umat yang harus kita ketahui dan kita jauhi adalah sebagai berikut:

Berdakwah dengan mendirikan partai atau golongan

Lembaga apa pun namanya yang memecah belah umat karena fanatik kepada golongan atau kelompok, hukumnya haram. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka." (QS. Al-An’am: 159)

Berdakwah dengan nasyid atau syair-syair

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: 

“Tidak benar ada nasyid Islam, kita tidak menjumpai kitab ulama salaf membolehkan hal itu, akan tetapi ini perbuatan orang sufi yang mereka sebut samma’.” (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil al-Mulimmah: 1/177)

Berdakwah dengan musik 

Nyanyian dan musik hukumnya haram berdasarkan firman Allah di dalam surat Luqman: 6 dan sabda Rasulullah shallallahu wasalam:

 لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ والحَرِيْرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada diantara umatku ini kaum yang menghalalkan zina, sutra (untuk pria), khamar, dan alat musik.” (HR. Bukhari: 17/296)

Berdakwah dengan cerita dan dongeng

Imam Malik rahimahullah berkata: 

“Sungguh aku membenci cerita-cerita yang dibaca di masjid, tidak boleh duduk bersama mereka, karena dongeng itu bid’ah dan mereka tidak boleh menjadi khatib.” (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/183)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata:

 “Boleh orang itu bercerita bila cerita itu ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih seperti menceritakan keberadaan umat yang dahulu bila bermaksud untuk mengambil pelajaran.” (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/183)

Berdakwah dengan sandiwara

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: 

“Sandiwara tidak boleh dilakukan di masjid atau di tempat lain, akan tetapi di masjid lebih berat dosanya. Sandiwara termasuk hal yang sia-sia dan permainan. Tidak boleh diamalkan dan bukan termasuk amalan umat Islam, akan tetapi pekerjaan orang kafir.” (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/182)

Untuk lebih jelasnya silakan baca kitab at-Tamtsil Haqiqatuhu, Tarikhuhu wa Hukmuhu oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah.

Wisata atau safari dakwah hizbiyah

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang wisata atau safari dakwah, maka beliau menjawab: 

“Kamu jangan tinggalkan masjid dan majelis ilmu, tinggalkan wisata yang mereka sebut wisata dakwah, karena kita tidak tahu hakikatnya dan di balik itu dan tidak tahi siapa pematerinya, tapi kalian telah memiliki masjid dan sekolah serta ma’had, tekuni majelis mereka. Karena waktu sekarang waktu fitnah, orang Islam bagaikan kambing hidup di antara serigala. Dia ingin menerkam, maka tekuni di masjid dan majelis mereka dan jangan banyak keluar ikut safari dakwah.” (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/193)

Dan masih banyak metode dakwah yang sesat dan menyesatkan. Misalnya dakwah dengan melawak, mendahulukan khilafah, mewajibkan keluar atau khuruj beberapa  beberapa hari setiap bulannya, memperingati hari ulang tahun bid’ah dan perbuatan maksiat lainnya.

Sumber: Majalah Al-Furqon 82 tahun 1429H/2008M. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur 61153

Ditulis oleh: Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron Lc

Tuesday, February 1, 2022

Perbedaan antara Bid’ah dan Maksiat


*Telegram:*

https://t.me/menebar_cahayasunnah

Setiap bidah adalah kemaksiatan. Namun, belum tentu maۃksiat itu bidah. Seorang pezina atau pemabuk tidaklah disebut dengan ahlul bid’ah atau mubtadi’. Dengan kata lain, bidah itu lebih khusus daripada maksiat. Untuk lebih memahami hal ini, berikut kami uraikan perbedaan-perbedaan antara bidah dan maksiat.

*Perbedaan pertama*

Bidah itu adalah kesesatan, sehingga mubtadi’ (ahlul bid’ah) disebut dengan (ضال و مضل) “sesat dan menyesatkan”. Berbeda dengan maksiat lain (yang bukan bidah), pada umumnya tidak disifati dengan kesesatan. Demikian juga ketika seseorang melakukan kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja ketika melaksanakan suatu perintah agama, maka hal itu adalah perkara yang dimaafkan, dan pelakunya tidaklah disifati (disebut) dengan kesesatan. Sebagaimana label “kesesatan” itu juga tidak diberikan kepada orang yang bersengaja melakukan perkara maksiat.

Hal ini karena kesesatan itu adalah lawan dari al-huda (petunjuk dalam kebenaran). Ahlul bid’ah disebut tersesat karena mereka menyangka bahwa jalan yang dia tempuh itu adalah jalan yang lurus, padahal bukan. Sedangkan jalan yang lain (yaitu jalan yang ditempuh ahlus sunnah), dia sangka sebagai kesesatan. Dia sebenarnya menyimpang dari jalan yang lurus, namun dia menyangka sedang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah mengapa ahlul bid’ah disebut tersesat.

Selain itu, ahlul bid’ah menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai penentu dalam menetapkan syariat, sedangkan dalil syar’i hanyalah sebagai pengikut dan penguat saja dari apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Jika hal itu ditambah lagi dengan kebodohan terhadap pokok-pokok syariat, maka akan lebih parah lagi dan pada akhirnya bisa terjerumus dalam tahrif (mengubah-ubah makna dalil seenaknya sendiri).

Sebagai bukti, kita tidak mendapati seorang ahlul bid’ah yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, kecuali dia akan menyebutkan dalil syar’i sebagai alasan untuk membenarkan bidahnya. Sehingga dia paksa dalil tersebut untuk mengikuti kehendak akal dan hawa nafsunya. Berbeda dengan pelaku maksiat pada umumnya yang tidak berbuat demikian, atau bahkan pelaku maksiat menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan dalil (perintah) syar’i. Seorang pelaku maksiat, misalnya mencuri, tentu tidak akan mencari-cari dalil untuk membenarkan perbuatannya. Berbeda halnya dengan pelaku bidah, yang bisa jadi mencari-cari dalil untuk mendukung bidahnya.

*Perbedaan kedua*

Bidah itu memiliki kemiripan dengan syariat, berbeda dengan maksiat yang sama sekali berbeda dengan syariat. Ketika ada orang yang berbuat bidah, bisa jadi orang lain yang tidak tahu akan menyangka bahwa dia sedang berbuat ketaatan atau sedang beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena perbuatan bidah itu memang mirip dengan ibadah syar’i.

Baca Juga: Fatwa Ulama: Adakah Bid’ah Hasanah?

*Perbedaan ketiga*

Ditinjau dari segi jenisnya, bidah itu lebih jelek daripada maksiat yang bukan bidah. Hal ini sebagaimana perkataan Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah,

“Bidah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertobat, sedangkan pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 7: 26 dan Al-Laalikai dalam Syarh Ushuul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 1885).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan di atas,

“Maksud perkataan beliau, ‘pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat’, bahwa pelaku bidah yang menjadikan perbuatan bidahnya itu sebagai bagian dari agama, -padahal tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya-, perbuatan bidah yang jelek tersebut dihias-hiasi sehingga dia melihatnya sebagai sebuah ibadah (ketaatan). Maka dia tidak mungkin ingin bertobat selama dia menganggap bahwa dia sedang berbuat kebaikan. Karena awal mula dari tobat adalah ilmu bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang jelek yang perlu ditobati, atau dia tahu bahwa dia meninggalkan kebaikan yang diperintahkan oleh syariat, baik perintah yang sifatnya wajib atau sunah [1], sehingga dia pun bertobat dan kemudian mengerjakan perintah syariat tersebut. Sehingga, selama dia menyangka bahwa perbuatan bidah tersebut adalah kebaikan, padahal perbuatan tersebut adalah kejelekan, maka tidak mungkin dia bertobat.

Akan tetapi, tobat dari bidah itu mungkin terjadi dan memang riil terjadi, yaitu dengan Allah Ta’ala memberikan hidayah dan petunjuk kepadanya, sehingga jelaslah baginya kebenaran. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada orang-orang kafir dan munafik dan sekelompok ahlul bid’ah dan orang-orang yang tersesat lainnya. Yaitu dengan mengikuti kebenaran yang telah dia ilmui.” (Majmu’ Fataawa, 10: 9).

Mengapa bidah lebih jelek daripada perbuatan maksiat?

Bidah itu lebih jelek daripada perbuatan maksiat berdasarkan sunah dan ijmak. Letak kesalahan (dosa) pelaku maksiat adalah mereka melakukan (menerjang) sebagian perkara yang dilarang oleh syariat, misalnya mencuri, zina, minum khamar, atau memakan harta orang lain secara batil. Sedangkan letak kesalahan ahlul bid’ah adalah meninggalkan perintah untuk mengikuti (ittiba’) dengan sunah dan jamaah (ijmak) kaum muslimin. (Lihat Majmu’ Fataawa, 20: 103) [2].

Di antara dalil yang menunjukkan bawa bidah itu lebih buruk daripada maksiat yang bukan bidah adalah hadis yang menceritakan salah seorang sahabat yang dijuluki dengan “Himaar” (keledai). Nama asli sahabat tersebut adalah Abdullah. Dia suka membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa. Namun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencambuknya karena dia mabuk. Suatu hari, dia ditangkap lagi dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar dia dicambuk. Lantas salah seorang sahabat berujar,

اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ؟

“Ya Allah, laknatlah dia, betapa sering dia tertangkap.”

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Janganlah kalian melaknat dia. Demi Allah, setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 6780).

Adapun berkaitan dengan ahlul bid’ah, misalnya hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan cikal bakal kelompok khawarij. Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang membagi-bagikan harta. Lalu datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah engkau berlaku adil.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ

“Celaka kamu! Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil.”

Kemudian Umar berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

دَعْهُ، فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَءُونَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh salatnya dibandingkan dengan salat mereka; (dan memandang remeh) puasanya dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5058, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063).

Hadis tentang Himaar, dia adalah seseorang yang suka berbuat maksiat dengan mabuk minum khamr. Akan tetapi, ketika akidahnya sahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang para sahabat untuk melaknatnya.

Namun, berbeda halnya dengan orang-orang khawarij. Meskipun salat, puasa, dan ibadah membaca Al-Quran mereka sangat banyak, bahkan para sahabat pun kalah dari sisi kuantitas ibadah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap memerintahkan untuk memerangi kaum khawarij tersebut. Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan yang bersama beliau pun memerangi mereka. Hal ini karena mereka telah keluar dari sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (Lihat Majmu’ Fataawa, 11: 473).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa bidah yang berat itu lebih jelek daripada dosa (maksiat) yang pelakunya meyakini bahwa itu adalah perbuatan dosa. Demikianlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berjalan, ketika beliau memerintahkan untuk memerangi kelompk khawarij, namun (di sisi lain) memerintahkan untuk sabar atas kejahatan dan kezaliman penguasa (pemerintah), dan tetap salat di belakang mereka, meskipun penguasa tersebut berbuat dosa (dengan kezaliman mereka). Demikian juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan sebagian sahabat yang terus-menerus berbuat maksiat bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan melarang untuk melaknatnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang khawarij, meskipun mereka sangat gemar beribadah dan wara’ (sangat hati-hati dari perkara yang syubhat atau haram, pent.), bahwa mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.

Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65).

Siapa saja yang keluar dari sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan syariatnya, maka Allah Ta’ala bersumpah dengan diri-Nya yang suci, bahwa mereka tidaklah beriman sampai mereka rida dengan hukum Rasulullah dalam seluruh perkara yang mereka perselisihkan, baik perkara agama maupun dunia, dan sampai hati mereka tidak merasa berat terhadap hukum tersebut.” (Majmu’ Fataawa, 28: 470) [3].

@Rumah Kasongan, 16 Rabi’ul awwal 1442/ 23 Oktober 2021

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dari perkataan ini bisa dipahami bahwa menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, meninggalkan ibadah sunah karena malas juga perlu tobat.

[2] Ibnul Qayyim Rahimahullah di kitab beliau, Al-Fawaaid, menyebutkan kurang lebih 10 alasan yang menunjukkan bahwa “meninggalkan perintah” itu lebih berat daripada “menerjang larangan”. Sehingga dari sini, kesalahan ahlul bid’ah itu lebih berat daripada pelaku maksiat.

[3] Disarikan dari kitab Diraasatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syekh Dr. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan, penerbit Daarul Minhaj KSA, cetakan pertama tahun 1436 H (hal. 105-110 )

Monday, January 31, 2022

BID'AH BUKAN URUSAN DUNIA


Mereka yang tidak paham mungkin rancu dengan istilah bid’ah secara bahasa. Secara bahasa bid’ah adalah segala sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Jadi pesawat, HP dan laptop di zaman ini adalah bid’ah secara bahasa, bukan pengertian bid’ah dalam syariat.

Pengertian bid’ah secara bahasa adalah:

أنشأه على غير مِثَال سَابق

Membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. 

Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

بَدِيعُالسَّمَاوَاتِوَالْأَرْضِ

“Allah Pencipta (Badii’) langit dan bumi.” ( Al Baqarah: 117)

Yaitu mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman-Nya,

قُلْمَاكُنْتُبِدْعًامِنَالرُّسُلِ

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (Al Ahqaf: 9)

Muhammad Al-Ruwaifi’ Al-Irfiqiy menjelaskan,

أي ما كنت أول من أرسل، قد أرسل قبلي رسل كثير

“Maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus, sesungguhnya telah diutus sebelumku banyak rasul.

Jadi jelaslah bahwa pergi haji dengan naik pesawat bukanlah hal bid’ah dalam agama sebagimana pengertian bid’ah secara syariat. Akan tetapi pesawat adalah bid’ah dalam bahasa (penemuan baru yang tidak ada contoh sebelumnya). Dan macam-macam transportasi adalah masalah dunia. Begitu juga dengan perkara dunia yang lainnya

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 ﷽ 

✅ dari 'Aisyah radhiallahu'anha berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam perkara (agama) kami, dan tidak ada (dalil) dari perkara (agama) ini, maka hal itu tertolak" (HR. Bukhari - 2499 dan Abu Daud - 3990)

✅ dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak." (HR. Muslim - 3242)

✅ dari Jabir bin 'Abdullah dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yang artinya :

"...Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sebenar-benar perkataan adalah akitabullah (Al-Qur'an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka." (HR. An Nasa'i - 1560, Shahih menurut Muhammad Nashiruddin Al Albani)

✅ dari Irbadh bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“...Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku, sunnah para Khulafa’ur Rasyidin yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah adalah sesat." (HR. Abu Daud - 3991 dan Tirmidzi - 2600, Shahih menurut Muhammad Nashiruddin Al Albani)

✅ dari Jabir bin Abdullah ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Muslim - 1435, Shahih menurut Ijma' Ulama)

✅ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)

✅ dari Abdullah radhiallahu'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda,

 أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

"Akulah yang mendahului kalian yang mendatangi telaga, dan diperlihatkan bersamaku beberapa orang diantara kalian, kemudian dicabut dari pandanganku, maka aku pun berteriak; 'Wahai Rabbku, itu adalah umatku ' maka Allah berfirman; 'Engkau tak tahu yang mereka lakukan sepeninggalmu." (HR. Bukhari - 6090, 6527 Shahih menurut Ijma' Ulama)

✅ dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

"(Wahai Rabbku) mereka adalah dari umatku' lantas Allah berfirman; kamu tidak tahu perubahan yang mereka lakukan sepeninggalmu! Sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata; 'Celaka, celaka bagi siapa saja yang mengganti agama sepeninggalku!" (HR. Bukhari - 6528, Shahih menurut Ijma' Ulama)

📌 Dari 8 hadits di atas menunjukkan betapa bahayanya bid'ah, bahkan bisa menghantarkan pelakunya ke neraka.

🗣️Semoga kita dan semua kaum muslimin dimudahkan untuk meninggalkan bid'ah dan selalu berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat / salafushalih... Aamiin aamiin ya rabbal'alamin

🌐Referensi Hadits

rumaysho .com/890-mengenal-bidah-5-benarkah-pengumpulan-quran-termasuk-bidah.html

muslim .or .id/11456-hadits-hadits-tentang-bidah.html

rumaysho .com/2438-3-syarat-disebut-bidah.html

Sunday, January 2, 2022

Menjelaskan Bid'ah Bukan Berarti Memvonis Neraka


Telegram :

https://t.me/menebar_cahayasunnah

Ketika pada da’i menasihati dan melarang amalan-amalan bid’ah, maka sama sekali bukan berarti memvonis pelakunya penghuni neraka.

📌  Ini adalah kesalahpahaman yang menjalar di tengah masyarakat. Yang kesalahpahaman ini juga dijadikan senjata untuk menentang dakwah Sunnah dan melarang orang membahas masalah bid’ah. Oleh karena ini mari kita luruskan duduk perkaranya.

Rasulullah ﷺ teladan dalam mengingkari bid’ah.

Orang yang mencontohkan dan memberi kita teladan untuk menjauhi bid’ah serta melarang bid’ah adalah Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”.

📘  (HR. Bukhari No. 2697 dan Muslim No. 1718).

Rasulullah ﷺ juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.

📘  (HR. Muslim No. 1718).

Bahkan tidak hanya sekali-dua kali Beliau ﷺ bicara masalah bid’ah. Rasulullah ﷺ setiap memulai khutbah . Beliau ﷺ mengucap

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan”.

📘  (HR. Muslim No. 867).

Tidak hanya itu, di akhir-akhir hidup Beliau ﷺ, Beliau ﷺ masih mewanti-wanti masalah bid’ah. 

Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu mengatakan:

صلَّى بنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ذاتَ يَومٍ، ثُمَّ أقبَلَ علينا، فوَعَظَنا مَوعِظةً بَليغةً ذَرَفَتْ منها العُيونُ، ووَجِلَتْ منها القُلوبُ، فقال قائلٌ: يا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، كأنَّ هذه مَوعِظةُ مُودِّعٍ، فماذا تَعهَدُ إلينا؟

"Rasulullah ﷺ shalat bersama kami suatu hari. Setelah shalat Beliau ﷺ menghadap kami kemudian memberikan nasihat yang mendalam yang membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Maka ada yang berkata:

"Wahai Rasulullah ﷺ, seakan-akan ini adalah nasihat orang yang akan berpisah, apa yang engkau pesankan kepada kami?”

Maka Rasulullah ﷺ pun bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah ﷻ, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada Sunnah-ku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.

📘  (HR. At Tirmidzi No. 2676. Ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).

✍  Ustadz Yulian Purnama, حفظه الله تعالى.

Tuesday, December 28, 2021

Arti Bid'ah Secara Bahasa Dan Secara Istilah Syariat

Semoga Bermanfaat

Label :

Update kajian Islam, Kajian Sunnah, Sunnah, Info Islam, Info Islam Terbaru, Update Kajian Sunnah,Kajian Islam, Ahlus Sunnah, Tips Islam, Cahaya Islam, salaf, ghurroba, Ittiba,Fiqih Asmaul Husna Al Wahab

Silahkan Share Untuk Memperoleh Pahala Jariyah, Insya Allah

Didukung Oleh :

https://griyakajiansunnah.blogspot.com

https://btqs.blogspot.com ( Back to Qur’an & Sunnah )

www.KonsultasiSyariah.com

www.kajian.net


Thursday, December 23, 2021

Tentang Tahlilan dan Yasinan

 

*APAKAH TAHLILAN DAN YASINAN ITU BID'AH?*

➢ bit.ly/i_a_s

Assalamualaikum
Ustadz... Mohon penjelasannya perihal tahlilan, yasinan dan menghadiahkan pahala bacaan bagi mayit. Apakah perkara bid'ah?

➖➖➖
Wa'alaikum as-salam warahmatullahi wabarakatuh

➖Tahlil itu maknanya adalah mengucapkan Laa ilaaha ilallah. Secara asal mengucapkan kalimat tauhid ini adalah terpuji dan dianjurkan. Bahkan diperintahkan utk memperbanyak melakukannya.
Namun, saat disebutkan "tahlilan", maka ini bermaksud melakukan peringatan kematian (kenduri kematian) dengan ritual² dan cara khusus, dg waktu² tertentu (7 hari, 1 bulan, dst).
Ingat akhi, bahwa
🔹Agama kita ini sudah sempurna, tidak perlu lagi tambahan dan modifikasi. Barangsiapa yang meyakini agama kita ini kurang sempurna telah kafir.
🔹Membuat² dan berinovasi dalam AGAMA (bukan dalam hal dunia), adalah seakan² menganggap agama Islam ini tdk sempurna dan masih kurang, sehingga perlu dilakukan tambahan amalan² yang lain.
🔹Saat kita mengikrarkan syahadatain,
لا اله الا الله ومحمد رسول الله
Artinya adalah :
🔺saat kita mengucapkan Laa ilaah illallah, maka kita wajib meyakini bahwa TIDAK ADA SATUPUN SESEMBAHAN (TUHAN) YANG HAQ/BENAR, KECUALI ALLAH SEMATA
🔺saat kita mengucapkan Muhammad Rasulullah, maka kita pun wajib meyakini bahwa TIDAK ADA SEORANG PUN YANG BENAR DAN BERHAK DICONTOH KECUALI MUHAMMAD BIN ABDILLAH ﷺ.
Karena itulah, dalam ibadah harus mencakup 2 hal :
1⃣ ikhlas, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya
2⃣ mutåba'ah, yaitu mencontoh Nabi ﷺ dan tidak menyelisihi beliau.
👉  artinya, jika kita konsekuen dg syahadat kita, maka kita wajib mencontoh Nabi dan tidak keluar dari apa yang beliau contohkan.
❓Pertanyaannya, apakah beliau mencontohkan tahlilan bagi orang yang telah meninggal??
🔹Dalam agama, secara kaidah dikatakan
الأصل في العبادة الممنوع
Secara asal, pengerjaannya ibadah itu terlarang
Sampai ada dalil dan keterangan dari Nabi yang menjelaskan perintah, tuntunan dan contohnya...

➖Yasinan
🔺Yasin adalah salah satu surat di dalam al-Qur'an.
🔺Kita dianjurkan untuk membaca al-Qur'an, surat dan ayat apapun, kapanpun, dan dimanapun (kecuali ada dalil yang mengkhususkan anjuran atau larangannya).
🔺Semua surat dan ayat di dalam al-Qur'an adalah sama, tidak boleh kita lebihkan atau kurangkan satu dengan lainnya, KECUALI yang memang ada keterangannya dari Nabi Shallallahu alaihi wa salam.
🔺Kita tidak boleh mengkhususkan satu surat dibanding surat lainnya, jika tidak ada pengkhususannya dari Nabi ﷺ. Karena jika kita khususkan tanpa ada dalil, seakan² kita menganggap diri kita Nabi, atau bahkan lebih pintar dari Nabi.
👉  karena itu, kenapa ada yasinan, namun tidak ada albaqorohan? Annisa'an? Aliimranan? Dan lainnya?
❓Apa kelebihan surat yasin dibandingkan surat lainnya? Jawabannya harus berdasarkan ucapan nabi, karena beliau yang lbh tahu tentang al-Qur'an.
❓Adakah dalil yang shahih yang menunjukkan atas perbuatan yasinan ini??

➖Menghadiahkan bacaan bagi mayit
🔺Anak Adam terputus amalnya, kecuali 3 hal, yaitu amal shalih, shodaqoh jariyah dan anak shalih yang mendoakan ortunya.
🔺Ahlus Sunnah bersepakat bahwa SEDEKAH dan DOA bagi sang mayit, adalah BERMANFAAT dan sampai pahalanya kepada mereka.
🔺Ahlus sunnah berbeda pendapat tentang apakah selain doa dan sedekah sampai pahalanya kepada sang mayit, diantaranya adalah membaca al-Qur'an bagi sang mayit.
▫Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa membaca al-Qur'an bagi sang mayit, maka sampai pahalanya dan bermanfaat.
▫Pendapat Malikiyah dan Syafiiyah yang masyhur, adalah tidak sampai pahalanya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala :
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
Dan tidaklah bagi seseorang itu mendapatkan kecuali apa yang ia usahakan (QS an-najm : 39)
🔺Walaupun ada perbedaan pendapat dalam hal ini, namun tidaklah dituntunkan melakukan bacaan secara berjama'ah atau dipimpin  dan menghadiahkan pahalanya kepada sang mayit, sebab Nabi dan para salaf tidak mengamalkan hal ini.

@abinyasalma

🔰 @IslamAdalahSunnah

┅═❃✿🌸✿❃═┅

Thursday, December 16, 2021

Julukan Ahlus Sunnah Jangan Salah Kaprah

https://t.me/menebar_cahayasunnah

💬 Sebutan Ahlus Sunnah 

diriwayatkan dari salah seorang shohabat Nabi yaitu Ibnu Abbas ketika menjelaskan firman Allah, 

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ   )*

"Hari dimana ada yang wajahnya putih berseri dan ada pula yang wajahnya hitam."

 📖  Ali Imron: 106.

❉ Beliau berkata,

فأما الذين ابيضت وجوههم: فأهل السنة والجماعة وأولوا العلم وأما الذين اسودت وجوههم: فأهل البدع والضلالة

"Adapun mereka yang putih wajahnya adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ahlul ilmi, sedangkan orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlul bida' wad dholalah." 

📒 'Syarh Ushul I’tiqod Ahlis 

Sunnah' 1/72,  'Ma'alimut Tanzil' 1/339, Tafsir Ibnu Katsir 2/72.

𑁍 Kemudian penyebutan Ahlus Sunnah dipopulerkan oleh para ulama setelahnya seperti Muhammad bin Sirin, Ayyub As Sakhtiyani, Sufyan Ats Tsawri, Al Fudhoil bin Iyadh, Abu Ubaid Al Qosim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal dan yang lain.

❉ Maka Ahlus Sunnah wal Jamaah pada asalnya merupakan lawan dari Ahlul Bid'ah wad Dholalah.

۞ Yakni orang yang berislam dengan mengikuti sunnah (petunjuk) Nabi ﷺ dan berkumpul di atas al jamaah (kebenaran).

⚠️ Tidak sebagaimana ahlul 

bid'ah yang menuruti selera hawa nafsunya dalam beragama, mengedepankan kepentingan ormasnya, hanya mengikuti pendapat dan pemikiran tokohnya.

🎙️ Syaikhul Islam Ibnu 

Taimiyyah berkata, 

هم المتمسكون بكتاب الله وسنة رسوله ﷺ وما اتفق عليه السابقون الأولون من المهجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان

"Mereka adalah orang-orang yang memegang teguh Al Qur'an dan sunnah (petunjuk) Rosul-Nya ﷺ dan semua yang disepakati oleh para shohabat generasi pendahulu ummat ini dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta yang mengikuti jalan mereka dengan baik."

📕 'Majmu' Fatawa' 2/375.

☝Siapa yang berislam dan 

memahami Al-Qur'an berdasarkan penafsiran Rosulullah ﷺ dan para shohabat serta mengikuti ijma' para salaf maka dialah Ahlus Sunnah.

💦 Semoga Allah 

menggolongkan kita termasuk Ahlus Sunnah yang hakiki, bersabar mengikuti sunnah, dan dijauhkan dari perkara baru yang diada-adakan dalam beragama.

✍🏻  Ustadz Fikri Abul Hasan حفظہ ٱللہ

*(  Lafazh ayat ditambahkan oleh Admin.

Friday, November 26, 2021

Sangking Tidak Fahamnya BID'AH

 Bismillah


Sangking gak fahamnya BID'AH


Mayoritas ahlul bid'ah mengira bahwa dosa bid'ah itu mengeluarkan pelakunya dari islam itulah alasan kenapa dakwah salaf di tuduh suka mengkafir kafirkan saudaranya...

Apakah bid'ah mengeluarkan pelakunya dari islam...???

Jawabanya : tidak...!!! Mereka (ahli bid'ah) tetaplah seorang muslim ..


Ust. Firanda andirja.lc.MA

Dosa bid'ah layaknya seperti dosa maksiat lainya seperti judi, minum khamr, berzina dsb..apabila amal shalih nya lebih berat jika di banding amal bid'ah nya tentu ia tetap masuk syurga,,adapun ke umumanya ahli bid'ah adalah tertolak dari telaga nabi, dan di campak kan ke dalam api neraka untuk di bersih kan dosa bid'ah nya..setelah bersih maka iapun juga masuk syurga...

Kecuali ke bid'ahan nya menembus kpd ke syirikan (syirik akbar) maka pelakunya di hukumi telah keluar dari islam, bahkan taubat dari syirik akbar adalah bersyahadat kembali..

Seperti yg di tulis oleh ibnul jauzi rahimahullah bahwa salah satu pembatal ke islaman adalah melakukan syirik(musyrik) akbar..

Saturday, November 6, 2021

BERHATI-HATILAH DENGAN AKIDAHMU


https://bbg-alilmu.com/archives/55251

Saudaraku, berhati-hatilah dengan akidahmu..

Karena semakin hari, fitnah (godaan) dalam akidah semakin besar dan kuat.. semoga Allah selalu menjaga akidah kita, amin..

Dulu banyak dari kita hanya melihat kesesatan sufi dari buku dan kitab.. Sekarang, banyak dari kita melihat sendiri bagaimana kesesatan itu keluar dari lisan mereka..

Dulu sulit percaya orang yang jahil bisa sangat PD dengan kejahilannya.. sekarang, benar-benar tampak jelas di depan mata hal itu.. itulah bahayanya jahlun murakkab (jahil ++)..

Dulu kita heran “mengapa sekaliber Imam Ahmad -rahimahullah- sampai menutup telinga” ketika melewati majlis ahli bid’ah.. sekarang kita merasakan sendiri, betapa berbahayanya retorika ahli bid’ah yang sangat menyihir pendengarnya..

Sungguh benar sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-:

إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا

“Sungguh, diantara retorika ada yang benar-benar (seperti) sihir..” [HR. Bukhari: 5146]

Silahkan dishare .. semoga bermanfaat dan Allah berkahi, amin.

Ditulis oleh,

Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى

Friday, November 5, 2021

SYARAT DISEBUT BID'AH

 3 SYARAT DISEBUT BID'AH

Sebagian orang kadang memahami apa yang dimaksud dengan bid’ah. Mereka menganggap bahwa bid’ah adalah setiap perkara baru. Sehingga karena saking tidak suka dengan orang yang meneriakkan bid’ah, ia pun mengatakan, “Kalau memang hal itu bid’ah, kamu tidak boleh pakai HP, tidak boleh haji dengan naik pesawat, tidak boleh pakai komputer, dst nya karena semua itu baru dan bid’ah adalah suatu yang baru dan dibuat-buat“.

Padahal sebenarnya hal-hal tadi bukanlah bid’ah dalam Islam karena bid’ah adalah dalam masalah Agama.

*Begitu juga ada yang tidak setuju dengan nasehat bid’ah, ia menyampaikan bahwa para sahabat dahulu mengumpulkan Al Qur’an dan di masa ‘Umar dihidupkan shalat tarawih secara berjama’ah.

*Syubhat-syubhat yang muncul ini karena tidak memahami hakekat bid’ah. Untuk lebih jelas dalam memahami bid’ah, kita seharusnya memahami tiga syarat disebut bid’ah yang disimpulkan dari dalil-dalil berikut ini:

*Pertama: Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,*

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

*“Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[1]*

*Kedua: Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,*

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

*“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”[2]*

*Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,*

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

*“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”[3]*

*Ketiga: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,*

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

*“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam AGAMA kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[4]*

*Keempat: Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,*

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

*“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[5]*

*Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:*

1. *Sesuatu perkara yang baru (dibuat-buat).*

2. *Sesuatu perkara yang baru dalam Agama.*

3. *Tidak disandarkan pada dalil syar’i.*

*Pertama: Sesuatu perkara yang baru (dibuat-buat).*

*Syarat pertama ini diambil dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,*

مَنْ أَحْدَثَ

*“Siapa yang berbuat sesuatu yang baru.”*

كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

*“Setiap yang baru adalah bid’ah.”*

*Sehingga masuk dalam definisi adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya baik berkaitan dengan urusan agama maupun dunia, baik sesuatu yang terpuji (mahmudah) maupun yang tercela (madzmuma). Sehingga perkara yang sudah ada sebelumnya yang tidak dibuat-buat tidak termasuk bid’ah seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Perkara dunia juga termasuk dalam definisi pertama ini, namun akan semakin jelas jika kita menambah pada syarat kedua.*

*Kedua: Sesuatu perkara yang baru dalam agama.*

*Karena dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,*

فِى أَمْرِنَا هَذَا

*“Dalam urusan agama kami.” Sehingga perkara dunia tidak termasuk dalam hal ini. Yang dimaksudkan bid’ah dalam urusan agama berarti: (1) bid’ah mendekatkan diri pada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan, (2) bid’ah telah keluar dari aturan Islam, dan (3) sesuatu dilarang karena dapat mengantarkan pada bid’ah lainnya.*

*Ketiga: Tidak disandarkan pada dalil syar’i yang bersifat umum maupun khusus.*

*Hal ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,*

مَا لَيْسَ مِنْهُ

*“Tidak asalnya (dalilnya) dalam Islam.”*

*Ini berarti jika sesuatu memiliki landasan dalam Islam berupa dalil yang sifatnya umum seperti dalam permasalahan ‘maslahah mursalah’, contoh mengumpulkan Al Qur’an di masa sahabat, maka tidak termasuk bid’ah.*

*Begitu pula jika ada sesuatu yang mendukung dengan dalil yang sifatnya khusus seperti menghidupkan kembali shalat tarawih secara berjama’ah di masa ‘Umar bin Khottob tidak termasuk bid’ah.*

*Tiga syarat di atas telah kita temukan pula dalam perkataan para ulama berikut.*

*Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,*

فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .

*“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.”[6]*

*Beliau rahimahullah juga berkata,*

والمراد بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان بدعةً لغةً

*“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.”[7]*

*Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,*

والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام

*“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.”[8]*

*Ibnu Hajar juga menyatakan mengenai bid’ah,*

مَنْ اِخْتَرَعَ فِي الدِّين مَا لَا يَشْهَد لَهُ أَصْل مِنْ أُصُوله فَلَا يُلْتَفَت إِلَيْهِ

*“Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”[9]*

*Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata,*

وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا

*“Sesuatu yang memiliki landasan dalil dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.”[10]*

*Setelah memahami yang dikemukakan di atas, pengertian bid’ah secara ringkas adalah,*

ما أحدث في الدين من غير دليل

*“Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil.”[11] Inilah yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela dan dicela oleh Islam.*

*Semoga dengan memahami hal ini, kita tidak rancu lagi dengan berbagai macam hal seputar bid’ah, terkhusus dalam memahami perkataan ulama mengenai bid’ah hasanah.*

*Wallahu waliyyut taufiq.*

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 19 Jumadats Tsaniyah 1433 H

www.rumaysho.com

[1] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.

[2] HR. Muslim no. 867

[3] HR. An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718

[5] HR. Muslim no. 1718.

[6] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.

[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 127

[8] Fathul Bari, 13: 254.

[9] Fathul Bari, 5: 302.

[10] Fathul Bari, 13: 253.

[11] Lihat Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 22. Pembahasan pada point ini juga diringkas dari Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 17-22

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:

https://rumaysho.com/2438-3-syarat-disebut-bidah.html

Wednesday, October 13, 2021

BID'AH DAN BAHAYANYA


Oleh :

Ustadz Ari Wahyudi, S.Si. 

Apakah suatu amalan itu bisa tertolak alias tidak diterima padahal sudah berniat baik atau ikhlas?

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam riwayat Muslim, Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.

🛑 KEDUDUKAN HADITS

Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah mengatakan, Hadits ini merupakan salah satu kaidah agung di dalam agama. Ia termasuk salah satu Jawami’ al-Kalim (kalimat yang ringkas dan sarat makna) yang dianugerahkan kepada al-Mushthofa [Nabi] shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ia mengandung penegasan tertolaknya segala bentuk bid’ah dan perkara yang diada-adakan [dalam agama, pent]…” (lihat Syarh al-Arba’in Haditsan, hal. 25)

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits ini adalah kaidah untuk menimbang amalan secara lahiriah, bahwasanya amal tidak dianggap benar kecuali apabila bersesuaian dengan syari’at. Sebagaimana halnya hadits Innamal a’malu bin niyat adalah kaidah untuk menimbang amal batin…” (lihat Kutub wa Rosa’il Abdul Muhsin 

🛑 FAIDAH HADIST

Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita, di antaranya :

● Segala macam bid’ah di dalam agama -yang memang tidak dilandasi dalil al-Kitab maupun as-Sunnah- adalah tertolak, baik dalam hal keyakinan maupun amal ibadah. Pelakunya mendapatkan celaan sekadar dengan tingkat bid’ah dan sejauh mana penyimpangan mereka dari ajaran agama

● Barangsiapa yang memberitakan suatu keyakinan yang tidak diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya maka dia adalah pelaku bid’ah

● Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau melakukan ibadah dengan suatu hal yang tidak disyari’atkan maka dia juga pelaku bid’ah

● Barangsiapa yang mengharamkan hal-hal yang mubah (boleh) atau beribadah kepada-Nya dengan amalan-amalan yang tidak diajarkan dalam syari’at maka dia adalah pelaku bid’ah

● Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan landasan dalil dari Allah dan Rasul-Nya -baik dalam bentuk keyakinan ataupun amalan- maka hal itu akan diterima

● Segala bentuk ibadah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang maka hukumnya adalah tidak sah, karena ia tidak dilandasi oleh syari’at

● Segala bentuk transaksi muamalah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang oleh agama juga termasuk akad transaksi yang tidak sah

● Larangan terhadap suatu bentuk ibadah atau muamalah melahirkan konsekuensi tidak sah atau tertolaknya ibadah atau muamalah yang dilakukan (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [9/12-13])

🛑 PENGERTIAN BID'AH

Imam asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan bahwa bid’ah adalah suatu tata cara beragama yang diada-adakan dan menyerupai syari’at. Hal itu dilakukan dengan maksud untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah (lihat al-Arba’una Haditsan fi Minhaj ad-Da’wah, hal. 70 dan al-I’tisham, [1/50])

🛑 DAMPAK NEGATIF BID'AH

Bid’ah memiliki banyak dampak negatif dan konsekuensi yang jelek, di antaranya adalah :

● Menimbulkan konsekuensi pendustaan terhadap firman Allah (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3). Karena apabila seorang datang dengan membawa bid’ah dan dianggap termasuk dalam agama, maka itu artinya agama ini belum sempurna!

● Konsekuensi bid’ah adalah celaan terhadap syari’at Islam bahwa ia belum sempurna, kemudian baru sempurna dengan adanya bid’ah yang dibuat oleh pelaku bid’ah itu

● Konsekuensi bid’ah pula adalah celaan bagi seluruh umat Islam sebelumnya yang tidak melakukan bid’ah ini bahwasanya agama mereka tidak sempurna atau cacat, maka hal ini adalah dampak yang sangat membahayakan!

● Dampak bid’ah adalah orang yang sibuk dengannya niscaya akan tersibukkan dari melakukan hal-hal yang sunnah (ada tuntunannya). Sehingga mereka meninggalkan amalan yang ada tuntunannya dan sibuk dengan amalan yang tidak diajarkan.

● Munculnya bid’ah adalah sebab perpecahan dan percerai-beraian umat Islam. Karena para pembela bid’ah akan mengatakan bahwa merekalah yang berada di atas kebenaran sedangkan kelompok lain salah. Begitu pula para pembela kebenaran akan mengatakan bahwa merekalah yang berada di atas kebenaran sedangkan pelaku bid’ah itu adalah sesat, sehingga terjadilah perpecahan di antara umat (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah oleh Syaikh al-Utsaimin [2/316-317])

🛑 NASEHAT PARA ULAMA AHLUS SUNNAH

▪︎ Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, Ikutilah tuntunan dan janganlah kalian mengada-adakan bid’ah. Karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (lihat al-Arba’una Haditsan fi Minhaj ad-Da’wah, hal. 68)

Ibnul Majisyun berkata: Aku pernah mendengar Malik berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu bukan termasuk agama.” (lihat al-Arba’una Haditsan fi Minhaj ad-Da’wah, hal. 69 dan al-I’tisham, [1/64-65])

▪︎Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok as-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 19)

▪︎ Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah diraih semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu [yang hakiki] adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)

▪︎ Syaikhul Islam Abul ‘Abbas al-Harrani rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)

🛑 BID'AH SUMBER PERPECAHAN

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 153)

▪︎ Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau [rasul]. Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan jalan-jalan yang lain itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bid’ah.” (lihat al-I’tisham [1/76])

Mujahid rahimahullah ketika menjelaskan maksud ayat dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain’ maka beliau mengatakan, “Maksudnya adalah bid’ah dan syubhat-syubhat.” (lihat al-I’tisham [1/77])

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan.” (QS. Ali ‘Imran: 105)

Qatadah rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih itu adalah para pelaku bid’ah.” (lihat al-I’tisham [1/75])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu senantiasa berselisih kecuali orang-orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud: 118)

Ikrimah menafsirkan bahwa maksud dari mereka yang senantiasa berselisih itu adalah penganut hawa nafsu (bid’ah) sedangkan orang-orang yang dikecualikan itu adalah Ahlus Sunnah; yaitu orang yang berpegang-teguh dengan Sunnah (lihat al-I’tisham [1/83])

Penutup

Demikianlah, paparan singkat mengenai kandungan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang memperingatkan kita dari bahaya bid’ah dan dampak negatifnya. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tulus ikhlas melestarikan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan segala macam bid’ah dan penyimpangan.

Penulis: Ustadz Ari Wahyudi

Artikel Muslim. or.id