Friday, May 12, 2023
Sunday, April 10, 2022
SETAN DIBELENGGU DI BULAN RAMADHAN, MENGAPA MASIH ADA MAKSIAT ?
Ustadz :
Ammi Nur Baits, ST., BA.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Suasana maksiat masih sangat terasa di bulan Ramadhan. Tidak hanya di lingkungan, termasuk diri kita sendiri, untuk menghindari maksiat, terasa masih sangat susah. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ketika datang Ramadhan, setan-setan dibelenggu.
Apakah berarti hadis ini sudah tidak berlaku? Atau hadisnya tidak benar?
Tentu saja, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bohong. Beliau as-Shadiq (orang yang benar) dan al-Mashduq (wajib dibenarkan).
Hadisnya juga shahih. Riwayat Bukhari Muslim. Di mana sisi masalahnya?
Ketika kita menghadapi hadis shahih, namun ada hal yang mengganjal sehingga masih kita pertanyakan, maka kedepankan pernyataan ini,
اتهم رأيك، اتهم نفسك
Salahkan akalmu… salahkan dirimu.
Doktrin diri kita, al-Quran itu benar, hadis itu benar, Rasul itu benar, hadis itu tidak ada cacatnya. Selanjutnya, ini semua karena keterbatasan saya dalam memahaminya. Ini karena ketidaktahuan saya.
Husnudzan (berprasangka baik-red) kepada hadis, dan suudzan (berprasangka buruk-red) kepada diri sendiri.
Sebelumnya, kita simak hadisnya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079).
Dalam lafazh lain disebutkan,
إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ
Jika masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu rahmat dibukan, pintu-pintu Jahannam ditutup dan setan-setan pun diikat dengan rantai.” (HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079).
Selanjutnya, kita kembali ke pertanyaan di atas. Mengapa masih ada maksiat, jika setan telah dibelenggu?
Ada beberapa pendekatan yang disampaikan ulama dalam memahami kasus ini,
Pertama, sumber maksiat tidak hanya setan. Karena hawa nafsu manusia di sana berperan.
Keterangan disampaikan Imam as-Sindi dalam Hasyiyah-nya (catatan) untuk sunan an-Nasai. Beliau mengatakan,
ولا ينافيه وقوع المعاصي، إذ يكفي وجود المعاصي شرارة النفس وخبائثها، ولا يلزم أن تكون كل معصية بواسطة شيطان، وإلا لكان لكل شيطان شيطان ويتسلسل، وأيضاً معلوم أنه ما سبق إبليس شيطان آخر، فمعصيته ما كانت إلا من قبل نفسه، والله تعالى أعلم
Hadis ‘setan dibelenggu’ tidak berarti meniadakan segala bentuk maksiat. Karena bisa saja maksiat itu muncul disebabkan pengaruh jiwa yang buruk dan jahat. Dan timbulnya maksiat, tidak selalu berasal dari setan. Jika semua berasal dari setan, berarti ada setan yang mengganggu setan (setannya setan), dan seterusnya bersambung. Sementara kita tahu, tidak ada setan yang mendahului maksiat Iblis. Sehingga maksiat Iblis murni dari dirinya. Allahu a’lam. (Hasyiyah Sunan an-Nasai, as-Sindi, 4/126).
Kedua, setan dibelenggu tapi dia masih bisa mengganggu. Hanya saja, dia tidak sebebas ketika dilepas. Karena makhluk yang dibelenggu hanya terikat bagian tangan dan lehernya. Sementara kakinya, lidahnya masih bisa berkarya.
Kita simak keterangan Imam al-Baji ulama Malikiyah dalam Syarh Muwatha’,
قوله وصفدت الشياطين يحتمل أن يريد به أنها تصفد حقيقة، فتمتنع من بعض الأفعال التي لا تطيقها إلا مع الانطلاق، وليس في ذلك دليل على امتناع تصرفها جملة، لأن المصفد هو المغلول العنق إلى اليد يتصرف بالكلام والرأي وكثير من السعي
Sabda beliau, ‘Setan dibelenggu’ bisa dipahami bahwa itu dibelenggu secara hakiki. Sehingga dia terhalangi untuk melakukan beberapa perbuatan yang tidak mampu dia lakukan kecuali dalam kondisi bebas. Dan hadis ini bukan dalil bahwa setan terhalangi untuk mengganggu sama sekali. Karena orang yang dibelenggu, dia hanya terikat dari leher sampai tangan. Dia masih bisa bicara, membisikkan ide maksiat, atau banyak gangguan lainnya.
Ketiga, sejatinya setan tidak dibelenggu secara hakiki. Sifatnya hanya kiasan. Mengingat keberkahan bulan ramadhan, dan banyaknya ampunan Allah untuk para hamba-Nya selama ramadhan. Sehingga setan seperti terbelenggu.
Masih kita lanjutkan keterangan al-Baji,
ويحتمل أن هذا الشهر لبركته وثواب الأعمال فيه وغفران الذنوب تكون الشياطين فيه كالمصفدة، لأن سعيها لا يؤثر، وإغواءها لا يضر…
Bisa juga kita maknai, bahwa mengingat bulan ini bulan pernuh berkah, penuh pahala amal, banyak ampunan dosa, menyebab setan seperti terbelenggu selama ramadhan. Karena upaya dia menggoda tidak berefek, dan upaya dia menyesatkan tidak membahayakan manusia… (al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’, al-Baji, 2/75)
Keempat, yang dibelenggu tidak semua setan. Tapi hanya setan kelas kakap (maradatul jin). Sementara setan-setan lainnya masih bisa bebas. Terjadi maksiat, disebabkan bisikan setan-setan kelas biasa.
Dalam fatwa syabakah islamiyah dinyatakan,
وقد ذهب بعض أهل العلم إلى أن الذين يصفدون من الشياطين مردتهم، فعلى هذا فقد تقع المعصية بوسوسة من لم يصفد من الشياطين
Sebagian ulama berpendapat bahwa setan yang dibelenggu hanyalah setan kelas kakap. Berdasarkan pendapat ini, adanya maksiat, disebabkan bisikan setan yang belum dibelenggu. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 40990).
Yang lebin penting adalah kita berupaya untuk menghindari maksiat sebisa yang kita lakukan. Agar puasa kita semakin berkualitas.
Allahu a’lam
———————
Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel muslimah.or.id
Tuesday, February 1, 2022
Perbedaan antara Bid’ah dan Maksiat
*Telegram:*
https://t.me/menebar_cahayasunnah
Setiap bidah adalah kemaksiatan. Namun, belum tentu maۃksiat itu bidah. Seorang pezina atau pemabuk tidaklah disebut dengan ahlul bid’ah atau mubtadi’. Dengan kata lain, bidah itu lebih khusus daripada maksiat. Untuk lebih memahami hal ini, berikut kami uraikan perbedaan-perbedaan antara bidah dan maksiat.
*Perbedaan pertama*
Bidah itu adalah kesesatan, sehingga mubtadi’ (ahlul bid’ah) disebut dengan (ضال و مضل) “sesat dan menyesatkan”. Berbeda dengan maksiat lain (yang bukan bidah), pada umumnya tidak disifati dengan kesesatan. Demikian juga ketika seseorang melakukan kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja ketika melaksanakan suatu perintah agama, maka hal itu adalah perkara yang dimaafkan, dan pelakunya tidaklah disifati (disebut) dengan kesesatan. Sebagaimana label “kesesatan” itu juga tidak diberikan kepada orang yang bersengaja melakukan perkara maksiat.
Hal ini karena kesesatan itu adalah lawan dari al-huda (petunjuk dalam kebenaran). Ahlul bid’ah disebut tersesat karena mereka menyangka bahwa jalan yang dia tempuh itu adalah jalan yang lurus, padahal bukan. Sedangkan jalan yang lain (yaitu jalan yang ditempuh ahlus sunnah), dia sangka sebagai kesesatan. Dia sebenarnya menyimpang dari jalan yang lurus, namun dia menyangka sedang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah mengapa ahlul bid’ah disebut tersesat.
Selain itu, ahlul bid’ah menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai penentu dalam menetapkan syariat, sedangkan dalil syar’i hanyalah sebagai pengikut dan penguat saja dari apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Jika hal itu ditambah lagi dengan kebodohan terhadap pokok-pokok syariat, maka akan lebih parah lagi dan pada akhirnya bisa terjerumus dalam tahrif (mengubah-ubah makna dalil seenaknya sendiri).
Sebagai bukti, kita tidak mendapati seorang ahlul bid’ah yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, kecuali dia akan menyebutkan dalil syar’i sebagai alasan untuk membenarkan bidahnya. Sehingga dia paksa dalil tersebut untuk mengikuti kehendak akal dan hawa nafsunya. Berbeda dengan pelaku maksiat pada umumnya yang tidak berbuat demikian, atau bahkan pelaku maksiat menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan dalil (perintah) syar’i. Seorang pelaku maksiat, misalnya mencuri, tentu tidak akan mencari-cari dalil untuk membenarkan perbuatannya. Berbeda halnya dengan pelaku bidah, yang bisa jadi mencari-cari dalil untuk mendukung bidahnya.
*Perbedaan kedua*
Bidah itu memiliki kemiripan dengan syariat, berbeda dengan maksiat yang sama sekali berbeda dengan syariat. Ketika ada orang yang berbuat bidah, bisa jadi orang lain yang tidak tahu akan menyangka bahwa dia sedang berbuat ketaatan atau sedang beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena perbuatan bidah itu memang mirip dengan ibadah syar’i.
Baca Juga: Fatwa Ulama: Adakah Bid’ah Hasanah?
*Perbedaan ketiga*
Ditinjau dari segi jenisnya, bidah itu lebih jelek daripada maksiat yang bukan bidah. Hal ini sebagaimana perkataan Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah,
“Bidah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertobat, sedangkan pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 7: 26 dan Al-Laalikai dalam Syarh Ushuul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 1885).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan di atas,
“Maksud perkataan beliau, ‘pelaku bidah tidak bisa diharapkan bertobat’, bahwa pelaku bidah yang menjadikan perbuatan bidahnya itu sebagai bagian dari agama, -padahal tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya-, perbuatan bidah yang jelek tersebut dihias-hiasi sehingga dia melihatnya sebagai sebuah ibadah (ketaatan). Maka dia tidak mungkin ingin bertobat selama dia menganggap bahwa dia sedang berbuat kebaikan. Karena awal mula dari tobat adalah ilmu bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang jelek yang perlu ditobati, atau dia tahu bahwa dia meninggalkan kebaikan yang diperintahkan oleh syariat, baik perintah yang sifatnya wajib atau sunah [1], sehingga dia pun bertobat dan kemudian mengerjakan perintah syariat tersebut. Sehingga, selama dia menyangka bahwa perbuatan bidah tersebut adalah kebaikan, padahal perbuatan tersebut adalah kejelekan, maka tidak mungkin dia bertobat.
Akan tetapi, tobat dari bidah itu mungkin terjadi dan memang riil terjadi, yaitu dengan Allah Ta’ala memberikan hidayah dan petunjuk kepadanya, sehingga jelaslah baginya kebenaran. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada orang-orang kafir dan munafik dan sekelompok ahlul bid’ah dan orang-orang yang tersesat lainnya. Yaitu dengan mengikuti kebenaran yang telah dia ilmui.” (Majmu’ Fataawa, 10: 9).
Mengapa bidah lebih jelek daripada perbuatan maksiat?
Bidah itu lebih jelek daripada perbuatan maksiat berdasarkan sunah dan ijmak. Letak kesalahan (dosa) pelaku maksiat adalah mereka melakukan (menerjang) sebagian perkara yang dilarang oleh syariat, misalnya mencuri, zina, minum khamar, atau memakan harta orang lain secara batil. Sedangkan letak kesalahan ahlul bid’ah adalah meninggalkan perintah untuk mengikuti (ittiba’) dengan sunah dan jamaah (ijmak) kaum muslimin. (Lihat Majmu’ Fataawa, 20: 103) [2].
Di antara dalil yang menunjukkan bawa bidah itu lebih buruk daripada maksiat yang bukan bidah adalah hadis yang menceritakan salah seorang sahabat yang dijuluki dengan “Himaar” (keledai). Nama asli sahabat tersebut adalah Abdullah. Dia suka membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa. Namun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencambuknya karena dia mabuk. Suatu hari, dia ditangkap lagi dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar dia dicambuk. Lantas salah seorang sahabat berujar,
اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ؟
“Ya Allah, laknatlah dia, betapa sering dia tertangkap.”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Janganlah kalian melaknat dia. Demi Allah, setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 6780).
Adapun berkaitan dengan ahlul bid’ah, misalnya hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan cikal bakal kelompok khawarij. Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang membagi-bagikan harta. Lalu datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah engkau berlaku adil.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ
“Celaka kamu! Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil.”
Kemudian Umar berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
دَعْهُ، فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَءُونَ القُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh salatnya dibandingkan dengan salat mereka; (dan memandang remeh) puasanya dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5058, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063).
Hadis tentang Himaar, dia adalah seseorang yang suka berbuat maksiat dengan mabuk minum khamr. Akan tetapi, ketika akidahnya sahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang para sahabat untuk melaknatnya.
Namun, berbeda halnya dengan orang-orang khawarij. Meskipun salat, puasa, dan ibadah membaca Al-Quran mereka sangat banyak, bahkan para sahabat pun kalah dari sisi kuantitas ibadah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap memerintahkan untuk memerangi kaum khawarij tersebut. Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan yang bersama beliau pun memerangi mereka. Hal ini karena mereka telah keluar dari sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (Lihat Majmu’ Fataawa, 11: 473).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
“Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa bidah yang berat itu lebih jelek daripada dosa (maksiat) yang pelakunya meyakini bahwa itu adalah perbuatan dosa. Demikianlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berjalan, ketika beliau memerintahkan untuk memerangi kelompk khawarij, namun (di sisi lain) memerintahkan untuk sabar atas kejahatan dan kezaliman penguasa (pemerintah), dan tetap salat di belakang mereka, meskipun penguasa tersebut berbuat dosa (dengan kezaliman mereka). Demikian juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaksikan sebagian sahabat yang terus-menerus berbuat maksiat bahwa dia mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan melarang untuk melaknatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang khawarij, meskipun mereka sangat gemar beribadah dan wara’ (sangat hati-hati dari perkara yang syubhat atau haram, pent.), bahwa mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.
Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65).
Siapa saja yang keluar dari sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan syariatnya, maka Allah Ta’ala bersumpah dengan diri-Nya yang suci, bahwa mereka tidaklah beriman sampai mereka rida dengan hukum Rasulullah dalam seluruh perkara yang mereka perselisihkan, baik perkara agama maupun dunia, dan sampai hati mereka tidak merasa berat terhadap hukum tersebut.” (Majmu’ Fataawa, 28: 470) [3].
@Rumah Kasongan, 16 Rabi’ul awwal 1442/ 23 Oktober 2021
Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Dari perkataan ini bisa dipahami bahwa menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, meninggalkan ibadah sunah karena malas juga perlu tobat.
[2] Ibnul Qayyim Rahimahullah di kitab beliau, Al-Fawaaid, menyebutkan kurang lebih 10 alasan yang menunjukkan bahwa “meninggalkan perintah” itu lebih berat daripada “menerjang larangan”. Sehingga dari sini, kesalahan ahlul bid’ah itu lebih berat daripada pelaku maksiat.
[3] Disarikan dari kitab Diraasatun fil Bid’ati wal Mubtadi’in, karya Syekh Dr. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id Ar-Raslan, penerbit Daarul Minhaj KSA, cetakan pertama tahun 1436 H (hal. 105-110 )
Saturday, November 13, 2021
Wednesday, June 9, 2021
Monday, May 10, 2021
ORANG MUNAFIK DAN FASIK SENANG DENGAN BERAKHIRNYA BULAN RAMADHAN
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
وأما المنافق والفاسق فهما يفرحان بانتهاء شهر رمضان لينطلقوا إلى شهواتهم وملذاتهم وغفلاتهم، لأنهم كانوا في سجن وفي أسر في شهر رمضان
"Adapun orang munafik dan orang fasik maka keduanya merasa senang dengan berakhirnya bulan Ramadhan agar mereka bisa memuaskan syahwat, kesenangan, dan kelalaian mereka. Karena mereka merasa dipenjara dan menjadi tawanan selama bulan Ramadhan.
، فلما انتهى ينطلقون إلى غفلتهم وشهوتهم، يسرحون ويمرحون في هذه الحياة إلى أن يأتيهم الموت، إلا من وفقه الله جل وعلا وتاب إلى الله قبل مماته، فإن الله يتوب على من تاب.
Jadi ketika Ramadhan berakhir, mereka segera menuju kelalaian dan syahwat mereka. Mereka bersorak kegirangan di dunia ini hingga kematian datang kepada mereka, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah Jalla wa 'Ala dan bertobat kepada Allah sebelum mati. Karena sesungguhnya Allah selalu menerima tobat siapa saja yang bertobat."
Thursday, April 15, 2021
Jauhilah Zina
Semoga bermanfaat,
Baca Juga Artikel Terbaru Kami Disini :
Besarnya Dosa Meninggalkan Sholat
Prinsip Aqidah Ahlussunnah Waljamaah
Belajar Al Qur'an Dengan Metode Ummi (jilid 3 )
Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah
Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam
Wanita Wajib Izin Suami Saat Akan Keluar Rumah
Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan
Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan
Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana
Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik
Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir
Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud
Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni
Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang
Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh
Perilaku yang Sesuai Surat Yunus
Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan
Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah
Kandungan Surat An nisa dan Al maidah
Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab
Meminta Izin dan Mengucapkan Salam
Dikagumi Oleh Allaah, Kok Bisa ya ?
Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir
Sifat Orang yang Sering Berhutang
Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia
Sakit manghapuskan dosa-dosa kit
Silahkan di share atau simpan link ini, sehingga link bisa dibagikan setiap saat
Jazakallah Khairan.
Tuesday, November 24, 2020
Jangan Takut Hijrah
ANDAI MEREKA TAHU…
Jika saya tinggalkan dunia hitam ini lalu saya mau kemana ?
Jika saya keluar dari bidang haram ini lalu saya mau kerja dimana ?
Jika saya tinggalkan geng saya dengan segala maksiatnya, memangnya ada yang mau berteman dengan saya ?
Andai mereka tahu bahwa Pencipta dan Pemilik kehidupan ini telah berfirman:
﴿١٠٠﴾ ۞ وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ …
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan kelapangan yang banyak…”
(An Nisaa: 100)
Ternyata…
Ada kehidupan lain yang penuh dengan kehangatan siap menyambut kita.
Banyak bidang dan lapangan pekerjaan yang menunggu kita.
Banyak teman shalih/shalihah yang mau berpijak bersama.
Hanya saja kita belum tahu dan mengenal mereka.
Saudaraku..
ALLAH memastikan bahwa dibalik hijrah ada banyak tempat yang indah, ada banyak kelapangan, rizki, ketenangan serta kebahagaian.
Maka jangan ragu untuk berhijrah dari dosa.
Yang perlu anda lakukan adalah terus melangkah, lalu bersabar dan bertahan, niscaya pertolongan ALLAH dan kelapangan itu pasti menyapa anda.
(Disadur dari Tafsir Ath Thabari dan Al Qurthubi QS. An Nisa ayat 100)
Ust. Muhammad Nuzul Dzikri, LC حفظه الله تعالى
Semoga bermanfaat
Tuesday, November 17, 2020
TIPS AGAR BANGUN SHOLAT MALAM
Bismillaah,
Ternyata ketidakbisaan kita bangun malam untuk sholat malam / tahajud bukan tanpa sebab.
"Janganlah engkau berbuat maksiat kepada Allah pada siang hari niscaya Dia akan membangunkanmu dihadapan Nya pada waktu malam hari, karena sesungguhnya berdirimu dihadapan Nya pada malam hari merupakan suatu kemuliaan yang besar dan pelaku maksiat tidak berhak mendapatkan kemuliaan tersebut".
📖 Fashlul khithob fiz zuhd war roqo'iq wal adab 9/400
Baca juga : Artikel Terbaru Kami Klik Disini
Atau Kajian dibawah ini :
Cuek Dengan Perkataan Orang Lain
Bentuk- Bentuk Peninggalan Sejarah Islam
Bahaya Muslimah Memakai Celana Ketat Jean
Malaikat Menunggumu dipintu Masjid
Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam
Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan
Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana
Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik
Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud
Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh
Perilaku yang Sesuai Surat Yunus
Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan
Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah
Kandungan Surat An nisa dan Al maidah
Saturday, September 26, 2020
Sudah Taubat Lalu Bermaksiat Lagi, Apakah Diterima Taubatnya
Yulian Purnama, S.Kom.
Orang berbuat maksiat lalu taubat, kemudian bermaksiat lagi, kemudian taubat lagi. Apakah taubatnya diterima?
*Pintu Taubat Dibuka Lebar*
Sungguh Allah Ta’ala telah melapangkan dan melonggarkan serta memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk bertaubat kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ ، وَبِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ
“Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di siang hari. Dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di malam hari” (HR. Muslim no.7165)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لمَ ْيُغَرْغِرْ
“Sungguh Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawa belum sampai di kerongkongan” (HR. At Tirmidzi, 3880. Ia berkata: “Hadits ini hasan gharib”. Di-hasan-kan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).
Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga telah mengabarkan kepada kita kisah seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang:
فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ
“Lelaki tersebut ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, ia mendatanginya dan bertanya: ‘Aku telah membunuh 99 orang. Apakah aku masih bisa bertaubat?’. Ahli ibadah tadi berkata: ‘Tidak’. Lelaki tersebut pun membunuhnya hingga genaplah 100 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk yang paling alim, dan ia pun ditunjukkan kepada seorang ulama. Ia kemudian bertanya: ‘Aku telah membunuh 100 orang. Apakah aku masih bisa bertaubat?’. Ulama tadi berkata: ‘Ya. Memangnya siapa yang bisa menghalangimu untuk mendapatkan taubat?’” (HR. Muslim, no.7184)
Maka siapakah yang bisa menghalangi anda dari taubat, saudaraku? Kesempatan selalu terbuka lebar!
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki” (QS. An Nisa: 4)
Bahkan dosa syirik! Ketika seorang musyrik bertaubat kepada Allah dan ia kembali ke jalan Allah Ta’ala, maka tidak ada yang dapat menghalangi ia dari Allah. Bahkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa orang musyrik dari kalangan ahlul kitab yang bertaubat, ia mendapat dua pahala dari taubatnya.
*Mengulang Dosa Setelah Taubat*
Memang demikianlah sifat dasar manusia, berbuat kesalahan tidak hanya sekali namun berkali-kali. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18).
Perhatikan dalam hadits ini digunakan kata خطاء yang artinya: banyak berbuat salah. Namun kata Nabi setelah itu, “sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat”. Ini isyarat bahwa orang yang dosanya banyak, termasuk orang yang mengulang dosa yang sama setelah taubat, tetap akan diterima taubatnya.
Juga dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
أإِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى قَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَقَالَ رَبُّهُ غَفَرْتُ لِعَبْدِى فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ
“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Lalu Allah berfirman: ‘Aku telah ampuni dosa hamba-Ku, maka hendaklah ia berbuat sesukanya’” (HR. Bukhari no. 7068).
Dalam Fathul Baari dijelaskan Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Makna dari firman Allah ‘Aku telah ampuni dosa hamba-Ku, maka hendaklah ia berbuat sesukanya‘ adalah: ‘Selama engkau selalu bertaubat setiap kali bermaksiat, Aku telah ampuni dosamu’”. Beliau juga membawakan perkataan Imam An Nawawi: “Jika seseorang berbuat dosa seratus kali, seribu kali, atau bahkan lebih banyak, dan setiap berbuat dosa ia bertaubat, maka taubatnya diterima. Bahkan jika dari ribuan perbuatan dosa tadi setelahnya ia hanya sekali bertaubat, taubatnya pun diterima” (Fathul Baari, 89/21).
*Apakah Ini Kabar Gembira Untuk Ahli Maksiat?*
Tentu ini bukan angin segar untuk terus berbuat maksiat. Karena seseorang bermaksiat hendaknya ia sadari bahwa belum tentu ia mendapatkan taufiq untuk bertaubat nasuha setelah maksiat dan belum tentu ia mati dalam keadaan sudah bertaubat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا
“Sungguh setiap amal tergantung pada bagian akhirnya” (HR. Bukhari no. 6493).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
الرجلَ ليعمل الزمنَ الطويلَ بعمل أهلِ الجنَّةِ ، ثم يُختَمُ له عملُه بعمل أهلِ النَّارِ ، و إنَّ الرجلَ لَيعمل الزمنَ الطويلَ بعملِ أهلِ النَّارِ ثم يُختَمُ [ له ] عملُه بعمل أهلِ الجنَّةِ
“Ada seseorang yang ia sungguh telah beramal dengan amalan penghuni surga dalam waktu yang lama, kemudian ia menutup hidupnya dengan amalan penghuni neraka. Dan ada seseorang yang ia sungguh telah beramal dengan amalan penghuni neraka dalam waktu yang lama, lalu ia menutup hidupnya dengan amalan penghuni surga” (HR. Al Bukhari no. 2898, 4282, Muslim no. 112, 2651).
Maka teruslah istiqamah menjauhi maksiat dan terus bertaubat kepada Allah, semoga kita dimatikan di atas kebaikan.
Wallahu a’lam.
Penulis: Yulian Purnama
https://muslim.or.id/39299-sudah-taubat-lalu-bermaksiat-lagi-apakah-diterima-taubatnya.html
Wednesday, December 18, 2019
MATI DALAM KEADAAN BERMAKSIAT
-
Semoga Bermanfaat Label : Update kajian Islam, Kajian Sunnah, Sunnah, Info Islam, Islam Terbaru,Update Kajian Sunnah,Kajian Islam,Konsul...
-
Telegram : https://t.me/menebar_cahayasunnah Pertanyaan: Izin bertanya ustadz, sebagian kawan kami membeli rumah dengan car...