Showing posts with label niat. Show all posts
Showing posts with label niat. Show all posts

Tuesday, May 10, 2022

Jadikanlah Akhirat Sebagai Niatmu !


Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Mâjah (no. 4105); Imam Ibnu Hibbân (no. 72–Mawâriduzh Zham’ân); al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu. Lafazh hadits ini milik Ibnu Mâjah rahimahullah. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 950).

KOSA-KATA HADITS

 هَمٌّ : mashdar dari هّمَّ – يَهُمُّ yaitu kemauan yang kuat, keinginan, niat, dan tujuan. Al-hammu juga berarti kesedihan. Jamaknya adalah هُمُوْمٌ (humuum).[1] فَرَّقَ اللهُ : yaitu Allâh mencerai-beraikannya. وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ : yaitu dia hanya mendapat apa yang telah ditetapkan baginya.[2] رَاغِمَةٌ : ذّلِيْلَةٌ تَابِعَةٌ لَهُ (hina dan mengikutinya), yaitu dunia tersebut mengikutinya dengan sukarela dan terpaksa.[3]

SYARAH HADITS

Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela sikap tamak kepada dunia. Bahkan, Allâh Azza wa Jalla sangat merendahkan kedudukan dunia dalam banyak ayat-ayat al-Qur-an.

Allâh Azza wa Jalla berfirman bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu :

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [Ali ‘Imrân/3:185]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

 اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al-Hadîd/57:20]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

 يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. [Ghâfir/40:39]

Apabila seorang hamba menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya dan mengesampingkan urusan akhiratnya, maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan urusan dunianya tercerai-berai, berantakan, serba sulit, serta menjadikan hidupnya selalu diliputi kegelisahan. Allâh Azza wa Jalla juga menjadikan kefakiran di depan matanya, selalu takut miskin, atau hatinya selalu tidak merasa cukup dengan rizki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepadanya.


Dunia yang dapat hanya seukuran ketentuan yang telah ditetapkan baginya, tidak lebih, meskipun ia bekerja keras dari pagi hingga malam, bahkan hingga pagi lagi dengan mengorbankan kewajibannya beribadah kepada Allâh, mengorbankan hak-hak isteri, anak-anak, keluarga, orang tua, dan lainnya.

Cinta kepada dunia adalah pokok semua kejelekan, oleh karenanya tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. [Hûd/11:15-16]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

 مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. [Al-Isrâ’/17:18]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat. [Asy-Syûrâ/42:20]

Dunia ini dilaknat oleh Allâh dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, oleh karena itu jangan jadikan dunia sebagai tujuan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِـيْهَا إِلَّا ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُـتَـعَلِّـمٌ.

Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allâh dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu.[4]

Orang yang hatinya sehat, dia akan lebih mengutamakan akhirat daripada kehidupan dunia yang fana, tujuan hidupnya adalah akhirat. Dia menjadikan dunia ini sebagai tempat berlalu dan mencari bekal untuk akhirat yang kekal. Orang yang hatinya sehat akan selalu mempersiapkan diri dengan melakukan ketaatan dan mengerjakan amal-amal shalih dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-larangan-Nya, karena dia yakin pasti mati dan pasti menjadi penghuni kubur dan pasti kembali ke akhirat. Karena itu, dia selalu berusaha untuk menjadi penghuni surga dengan berbekal iman, takwa, dan amal-amal yang shalih.

Orang Muslim tujuan hidupnya adalah akhirat, karena itu ia wajib berbekal untuk akhirat dengan bekal terbaik yaitu takwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Takwa yaitu melaksanakan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Apabila seorang Muslim beriman dan bertakwa kepada Allâh, maka ia akan diberi rizki dari arah yang tidak diduga dan diberikan jalan keluar dari problematikanya.


Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya...” [Ath-Thalâq/65:2-3]

Orang yang beriman dan bertakwa kepada Allâh akan dimudahkan urusannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya,

“…Dan barangsiapa bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” [Ath-Thalâq/65:4]

Dan Beristighfar Orang yang beriman dan bertakwa kepada Allâh juga akan dihapuskan dosa-dosanya dan dilipatgandakan ganjarannya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allâh, niscaya Allâh akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan  pahala baginya.” [Ath-Thalâq/65:5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita bahwa kehidupan yang sebenarnya dan yang kekal adalah kehidupan akhirat, bukan dunia.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


 اَللّٰهُمَّ ، لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الْآخِرَةِ ، فَأَصْلِحِ الْأَنْصَارَ وَالْـمُهَاجِرَةَ

Ya Allâh, tidak ada kehidupan (yang kekal) kecuali kehidupan akhirat, maka bereskanlah (urusan) kaum Anshar dan kaum Muhajirin.”[5]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 اَللّٰهُمَّ ، لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الْآخِرَةِ ، فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْـمُهَاجِرَةِ

Ya Allâh, tidak ada kehidupan (yang kekal) kecuali kehidupan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan kaum Muhajirin.[6]

‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu mengatakan,

 اِرْتَـحَلَتِ الـدُّنْـيَـا مُـدْبِرَةً ، وَارْتَـحَلَتِ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِـكُـلِّ وَاحِدَةٍ مِـنْـهُمَـا بَـنُـوْنٌ ، فَـكُـوْنُـوْا مِنْ أَبْـنَـاءِ الْآخِرَةِ ، وَلَا تَـكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَـاءِ الدُّنْيَـا ، فَإِنَّ الْـيَـوْمَ عَـمَـلٌ وَلَا حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلَ.

Sesungguhnya dunia akan pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat pasti akan datang. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anak, karenanya, hendaklah kalian menjadi anak-anak akhirat dan kalian jangan menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah hari amal tanpa hisab (di dalamnya), sedang kelak adalah hari hisab tanpa amal (di dalamnya).[7]

Ada kabar mutawatir dari ulama Salaf mengatakan, “Cinta dunia merupakan induk dari segala kesalahan (dosa) dan merusak agama. Hal ini ditinjau dari beberapa segi:[8]

Pertama: Mencintai dunia berarti mengagungkan dunia, padahal ia sangat hina di mata Allâh Azza wa Jalla . Termasuk dosa yang paling besar adalah mengagungkan sesuatu yang direndahkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Kedua: Allâh mengutuk, memurkai, dan membenci dunia, kecuali yang ditujukan kepada-Nya. Karena itu, siapa saja yang mencintai apa yang dikutuk, dimurkai, dan dibenci Allâh maka ia akan berhadapan dengan kutukan, murka, dan kebencian-Nya.

Ketiga: Orang yang mencintai dunia akan menjadikan dunia sebagai tujuannya dan ia akan menjadikan amalan yang seharusnya menjadi sarana menuju Allâh dan negeri Akhirat berubah menjadi sarana meraih kepentingan dunia.

Di sini ada dua persoalan:

1. Menjadikan sesuatu yang seharusnya menjadi wasilah (sarana) sebagai tujuan.
2. Menjadikan amal akhirat sebagai alat untuk menggapai dunia.

Ini adalah keburukan yang terbalik dari semua sisi. Juga berarti membalik sesuatu pada posisi yang benar-benar terbalik.

Ini sesuai sekali dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

 مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami  berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh  balasan di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11:15-16]

Keempat: Mencintai dunia membuat manusia tidak sempat (terhalang dari) melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya di akhirat sebagai akibat dari kesibukannya dengan dunia dan segala yang dicintainya.

Kelima: Cinta dunia menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesar manusia.

Keenam: Pecinta dunia adalah orang yang paling banyak disiksa karena dunia, ia disiksa pada tiga keadaan :

1. Ia tersiksa di dunia dengan usaha, kerja keras untuk mendapatkannya serta disiksa dengan usahanya untuk merebut dunia dari sesama pecinta dunia
2. Ia tersiksa di alam barzakh (kubur) dengan terlepasnya segala yang ia cintai dari dirinya
3. Ia tersiksa pada hari Kiamat.

Ketujuh: Orang yang sangat mencintai dunia dan lebih mengutamakan dunia daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh dan idiot. Sebab, ia lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih mengutamakan tidur daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-bayang yang akan segera hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang segera binasa dan menukar kehidupan yang abadi dan nyaman dengan kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang segera hilang. Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan tertipu dengan hal-hal semacam itu. [9]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,


مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ : هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْـقَضِـى

“Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) Kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) Kerugian yang tidak pernah berhenti.”[10]

Seorang Muslim tujuan hidupnya adalah akhirat dan dunia sebagai ladang menuju akhirat. Seorang Muslim wajib ingat bahwa dia diciptakan untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu, dia wajib meluangkan waktu untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , dan hendaknya seorang Muslim setiap jam dan harinya penuh dengan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 يَا ابْنَ آدَمَ ! تَـفَـرَّغْ لِـعِـبَـادَتِـيْ أَمْـلَأْ صَدْرَكَ غِـنًـى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ ، وَإِنْ لَـمْ تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا وَلَـمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ

‘Wahai anak Adam! Luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.’”[11]

Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh tertipu oleh kehidupan dunia dan tidak boleh panjang angan-angan. Hadits-hadits tentang celaan terhadap dunia dan kehinaannya di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala sangat banyak. Diriwayatkan dari Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati pasar saat banyak orang berada di pasar tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati seekor anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil dan telah mati pula. Sambil memegang telinga anak kambing tersebut, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أَيُّكُم يُحِبُّ أنْ يَكُونَ هَذَا لَهُ بِدرْهَم ؟  فَقَالُوْا : مَا نُحِبُّ أنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ ؟ ثُمَّ قَالَ : أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ؟  قَالُوا : وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيّاً كَانَ عَيْباً ، إنَّهُ أسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ ميِّتٌ ! فَقَالَ : فوَاللهِ للدُّنْيَا أهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

“Siapa diantara kalian yang suka membeli ini seharga satu dirham ?” Orang-orang berkata, “Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya ?” Beliau bersabda, “Apakah kalian suka jika ini menjadi milik kalian ?” Orang-orang berkata, “Demi Allâh, kalau anak kambing jantan ini hidup, pasti ia cacat, karena kedua telinganya kecil, apalagi ia telah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allâh, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allâh daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.”[12]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

واللّٰـهِ ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَـحْيَ بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَـلْيَنْظُرْ بِمَ تَـرْجِعُ ؟

Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya -Yahya (perawi hadits) berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, maka lihatlah apa yang dibawa jarinya itu ?[13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan ini, bahwa dunia seperti air yang menempel di jari yang dicelupkan ke dalam lautan, sedangkan akhirat adalah ibarat lautan yang sangat luas. Dunia ini sedikit dan fana, sedangkan akhirat penuh dengan kenikmatan dan kekal abadi.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

لَـوْ كَـانَتِ الدُّنْـيَـا تَـعْـدِلُ عِـنْـدَ اللّٰـهِ جَـنَـاحَ بَـعُوْضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِـرًا مِنْـهَـا شَرْبَـةَ مَـاءٍ.

Seandainya dunia ini di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala senilai dengan (berat) sayap nyamuk, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.[14]

Dunia ini tidak ada harganya meskipun hanya seberat sayap nyamuk. Tapi anehnya manusia sibuk dan tamak kepada dunia, mereka lupa kepada kehidupan akhirat yang penuh dengan kenikmatan. Bahkan manusia lebih mengutamakan kehidupan dunia.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

 بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

“Bahkan kalian mengutamakan kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’lâ/87:16-17]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِيْ اثْنَتَيْنِ ؛ فِيْ حُبِّ الدُّنْيَا وَطُوْلِ الْأَمَلِ.


Senantiasa hati orang yang sudah tua, tetap muda (tetap tamak) kepada dua hal; cinta dunia dan panjang angan-angan.”[15]

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ ؛ الْحِرْصُ وَالْأَمَلُ.

‘Setiap anak Adam itu akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal; ambisi dan angan-angannya.”[16]

Begitu banyak manusia yang dilalaikan dengan dunia beserta mimpi-mimpinya. Indahnya dunia telah menghalangi mereka dari jalan petunjuk dan ketakwaan. Sementara itu, setan terus memperpanjang khayalan-khayalan mereka.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang akan muncul disebabkan banyaknya angan-angan adalah malas untuk mengerjakan ketaatan, menunda-nunda taubat, berambisi terhadap dunia, lupa akhirat, dan mengerasnya hati. Sebab, kelembutan dan kejernihan hati terbentuk hanyalah dengan mengingat kematian, alam kubur, dosa dan pahala, serta dahsyatnya hari Kiamat.”[17]

FAWAA-ID HADITS

Ada beberapa faedah yang dapat kita petik dari hadits yang mulia ini, di antaranya:

1. Hendaknya seorang Muslim selalu waspada, jangan menjadikan dunia sebagai tujuan dan jangan tertipu dengan dunia yang penuh dengan keindahan yang menipu. Ingat, bahwa dunia adalah kehidupan yang hina, sementara, sedikit, dan menipu.
2. Peringatan bagi seorang Muslim agar menjadikan akhirat sebagai tujuannya, dia wajib ingat bahwa dia pasti mati dan kembali kepada Allâh, karena itu dia wajib mempersiapkan bekal untuk akhirat dengan melakukan amal-amal shalih dan menjauhkan larangan-larangan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Peringatan tentang akibat yang buruk bagi orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya.
4. Di antara akibat bagi orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya yaitu dijadikan kefakiran di depan pelupuk matanya dan urusannya tercerai-berai.
5. Iman kepada qadha’ dan qadar dan kita wajib usaha sesuai dengan syari’at.
6. Di antara nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar dan agung atas hamba-Nya, yaitu memberikan kekayaan pada hatinya, merasa puas dan cukup dengan apa yang Allâh karuniakan.
7. Luasnya karunia Allâh Azza wa Jalla dan kebaikannya kepada orang-orang yang beriman dan
8. Seorang muslim tidak boleh panjang angan-angan, akan tetapi dia harus beramal shalih yang bermanfaat untuk akhiratnya.
9. Barangsiapa bertakwa kepada Allâh, maka Allâh akan memberikannya jalan keluar dan rizki dari arah yang tidak di duga-duga.
10. Sesungguhnya rizki itu ada di Tangan Allâh, diperoleh dengan usaha yang halal.
11. Seorang Muslim wajib mencari nafkah, tapi jangan tamak kepada dunia.
12. Seorang Muslim hidupnya untuk ibadah kepada Allâh, karena itu ia wajib menuntut ilmu, berlomba-lomba melakukan amal shalih, dan memenuhi hak Allâh dan hak manusia.

Wallaahu  a’lam.  

MARAAJI’:

1. Al-Qur’ânul Karî
2. Kutubus Sittah.
3. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
4. At-Ta’lîqâtul Hisaan ‘ala Shahîh Ibni Hibbân
5. Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam.
7. ‘Iddatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, Ibnul Qayyim.
8. Ighâtsatul Lahafâ
9. Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafâ
10. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîh
11. Shahîh at-Targhîb wat Tarhî
12. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghî
13. Dan lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
___

Footnote

[1] Lihat Lisânul ‘Arab (XV/137) dan al-Mu’jamul Wasîth (II/995).
[2] Syarah Sunan Ibni Mâjah (I/302).
[3] Syarah Sunan Ibni Mâjah (I/302).
[4] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Mâjah (no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/135, no. 135), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2797).
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no.  6413), dan selainnya.
[6] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6414), dan selainnya.
[7] Shahîh al-Bukhâri, kitab: ar-Riqâq, Lihat juga Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/378).
[8] Dinukil dari ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, karya Imam Ibnul Qayyim (hlm. 348, 350-356) dengan diringkas. Ta’liq dan takhrij: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy.
[9] Lihat ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn (hlm. 350-356), karya Imam Ibnul Qayyim, dengan diringkas.
[10] Ighâtsatul Lahafân (I/87-88) dan lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân (hlm. 83-84).
[11] Shahih: HR. Ahmad (II/358), at-Tirmidzi (no. 2466), Ibnu Mâjah (no. 4107), dan al-Hâkim (II/443) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (III/346, no. 1359) dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3166).
[12] Shahih: HR. Muslim (no. 2957).
[13] Shahih: HR. Muslim (no. 2858) dan Ibnu Hibbân (no. 4315-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari al-Mustaurid al-Fihri Radhiyallahu anhu.
[14] Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2320), Ibnu Mâjah (no. 4110) dan lainnya dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu.

[15] Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6420) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[16] Shahih: HR. Ahmad (III/115, 275). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 8173).

[17] Fat-hul Bâri (XI/213), cet. Darul Fikr.

 https://almanhaj.or.id/12638-jadikanlah-akhirat-sebagai-niatmu-2.html

Friday, March 26, 2021

Menghadirkan Niat Bersedekah Dengan Seluruh Gaji Penghasilan Tiap Bulan

Permasalahannya hanya tinggal menghadirkan niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةِ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ

“Tidaklah engkau mengeluarkan biaya dengan mengharapkan wajah Allah kecuali engkau akan diberi ganjaran, bahkan sesuap makanan yang kau suapkan ke mulut istrimu”

(HR Al-Bukhari no 56 dan Muslim no 1628)


Jika seseorang menghadirkan niat..

– tatkala mengatur pengeluarannya..

– tatkala membelikan keperluan keluarga, keperluan sekolah anak-anak…

bahkan menghadirkan niat tatkala membayar tagihan listrik atau membelikan pulsa buat istri…maka semuanya akan bernilai sedekah di sisi Allah.

Yang penting JANGAN LUPA NIAT…

perkaranya sepele akan tetapi sering terlalaikan…

Semoga bermanfaat,

Baca Juga Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Cara Mengatasi Pandemi 

Besarnya Dosa Meninggalkan Sholat

Kunci Bahagia dan Sukses

Belajar Al Qur'an Dengan Metode Ummi (jilid 3 )

Gara-gara Menyiksa Kucing

Buku-buku Penuh Manfaat dan Hikmah

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Manusia - Manusia Lemah

Carilah Sahabat Seperti ini

Hukum Riya'

Sebab Sempit Hati

Wanita Wajib Izin Suami Saat Akan Keluar Rumah

Kisah Nabi Luth as.

Balasan Penyebar Aib

Istighfar/Doa Anak 

Pejuang Sunnah

Pendidikan Agama Anak

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Meskipun Sakit, Pahala Tetap Mengalir

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Utusan Setan

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Mengatasi Malas Menuntut Ilmu

Sholat Taubat

Sunnah yang Terlupakan

Menyembunyikan Kebaikan

Hakikat Dunia

Hukum memakai Hijab dalam pandangan 4 Mazhab

Panduan Shalat Tahajud

Meminta Izin dan Mengucapkan Salam

Seputar Syirik

Mata Cerminan Hati

Dikagumi Oleh Allaah, Kok Bisa ya ?

Sakit Adalah Ujian, Cobaan, dan Takdir

Islam Telah Sempurna 

Sifat Orang yang Sering Berhutang

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

Doa Memohon Anak Yang Shalih

Sakit manghapuskan dosa-dosa kita

Memupuk Rasa Takut Kepada Allaah

Ibu, Ibu, Ibu, Bapak

#griyakajiansunnah

Silahkan di share atau simpan link ini, sehingga  link bisa dibagikan setiap saat

Jazakallah Khairan.



Sunday, January 10, 2021

SUDAH LURUSKAH NIATKU


Sebagian kita terkadang terlalu fokus pada amal yang kita lakukan dan terlalu fokus pada hasil akhir dari amal tersebut. Terkadang juga kita lupa memperhatikan niat kita dan meluruskan niat kita yaitu hanya ingin mencari wajah Allah dan ridha-Nya.

Perhatikan bahwa pahala amal itu bukan hanya tergantung pada banyaknya amal saja tetapi lebih bergantung pada niat dan keikhlasan seseorang. Amal yang besar bisa jadi kecil karena niat yang kurang ikhlas dan sebaliknya, amal yang kecil jadi besar karena niat yang sangat ikhlas.

Ibnul Mubarak berkata,

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية

“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.”

Al-Jami’ Ulum wal Hikam

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Kisah Nabi Luth as.

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Sholat Taubat

Menyembunyikan Kebaikan

Seputar Syirik

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

#griyakajiansunnah



Saturday, January 9, 2021

Setiap Amal Sesuai Dengan Niatnya

Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Semoga bermanfaat.

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini : 

Rasulullooh Juga Berdagang

Kisah Nabi Ismail as dan Telaga Zam-Zam

Kisah Nabi Luth as.

Lunasi Hutang Dengan Kesederhanaan

Tiga Kamus Bahasa Tentang Pekerjaan

Perhiasan dalam Tiga Bahasa

Tiga Bahasa Untuk Warna dan Busana

Tiga Bahasa Untuk Perkakas dan Elektronik

Tiga Bahasa Bab Sekolahan

Hak Istri Dalam Rumah Tangga

Perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud

Mendo'akan Orang Tua

Bertaubat, Setiap Dosa Akan di Ampuni

Perbanyak Doa Untuk Melunasi Hutang

Ciri Suami Pembawa Rejeki

Tiga Bahasa Tentang Organ Tubuh

Perilaku yang Sesuai Surat Yunus

Tiga Bahasa Tentang Hari dan Bulan

Cara Melindungi Akun Whatsapp

Menghidupkan Sunnah

Infak dan Sedekah

Kandungan Surat Az zumar dan Surat At taubah

Kandungan Surat An nisa dan Al maidah

Lailatul Qadar

Sholat Taubat

Menyembunyikan Kebaikan

Seputar Syirik

Beriman Kepada Nabi Muhammad

Melihat Kebawah Dalam Urusan Dunia

#griyakajiansunnah



Friday, December 4, 2020

Jangan Salah Kaprah Niat Sedekah

Bismillaah, 

Terkadang bahkan sering niat kita salah dalam bersedekah, mengapa ?

Bersedekah adalah amalan yang dicintai oleh Allah dan RasulNya. Banyak dalil yg menunjukkan keutamaan amalan ini. Di antaranya:

Allah Ta'ala berfirman;
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda;
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).”(HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Besarnya pahala dan keutamaan sedekah tak jarang membuat seorang muslim berlomba-lomba melakukannya. Ada yang murni hanya mengharap balasan dari Allah, namun tak jarang terselip niatan lain dari amalan sedekahnya.

Sering kita dengar orang mengatakan, bersedekahlah maka kau akan kaya. Sehingga ada orang yang bersedekah agar semakin bertambah kaya. Ada yang niat sedekah agar bisnisnya lancar atau dagangannya laris manis, atau niat-niat mengharap duniawi yg lainnya. 

Padahal seorang ketika beramal harus menomorsatukan keikhlasan, menjadikan amalan itu semata-mata hanya untuk Allah dan mengharap keridhaan Allah. Ini harus menjadi niat utama, tidak boleh dinomorduakan. Adapun setelah beramal ada efek samping yg baik seperti dagangannya tambah laris, maka hendaknya kita bersyukur. Tapi tetap saja niat keikhlasan harus yg utama. 

Maka berdaganglah atau bekerjalah sehingga Allah memampukan kita untuk bersedekah, jangan bersedekah dengan niat agar dagangan laris semata. Jika ini yg dilakukan maka kita termasuk orang yg mengejar akhirat, dan InsyaAllah dunia pun dapat.

Berbanding terbalik dengan orang yg menjadikan dunia sebagai niat utamanya dgn melakukan amalan akhirat. Maka kerugian yg akan didapatkannya. Allah Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan."(QS. Hud: 15-16).

Mari perbaiki niat sebelum terlambat

Baca juga : Artikel Terbaru Kami Disini

Wednesday, December 2, 2020

Hadist Niat Beramal

 

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Bismillaah,

Adapun Hadist Tentang Niat Beramal adalah Sebagai Berikut :

Dari 'Umar bin Al-Khaththab, aku mendengar Rasulullāh صلى الله عليه وسلم bersabda :

" Innamal a'maalu binniyyaati wa innamaa likullimri' in manaawa "

Yang Artinya : " Sesungguhnya setiap amal itu ( tergantung ) pada niatnya, dan seseorang itu mendapatkan sesuai dengan yang dia niatkan."

Hadist Shahih ( al-Albani ) : Shahih Bukhari Nomor 1, 6689, 6953, Shahih Muslim Nomor 1907, Sunan Abi Dawud Nomor 2201, Sunan an-Nasa'i Nomor 3794.

Semoga Bermanfaat

Baca Juga : Artikel Terbaru Kami Disini

Wassalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Wednesday, September 23, 2020

Berniat Puasa Setelah Shubuh

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. 30 Mei 2014 

Jika ada yang berniat puasa setelah masuk waktu Shalat Shubuh (waktu fajar) -misal sudah jam 8 pagi-, apakah dibolehkan?

Dalam hadits disebutkan,

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka puasanya tidak sah.” (HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan An Nasa’i no. 2333. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun hadits ‘Aisyah di mana ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalil di atas adalah dalil bagi mayoritas ulama bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”(Syarh Shahih Muslim, 8: 33)

Al Lajnah Ad Daimah, Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia ditanya, “Apa hukum berniat puasa di pagi hari setelah terbit fajar shubuh dan sebelumnya belum mencicipi makan dan minum sama sekali?”

Jawab para ulama Lajnah, “Jika puasanya adalah puasa sunnah, maka sah-sah saja berniat di siang hari. Sedangkan untuk puasa wajib tidaklah sah. Niat untuk puasa wajib haruslah dilakukan sebelum terbit fajar shubuh (di malam hari). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat di malam hari (sebelum fajar shubuh, -pen)”.

Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam tercurah pada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 17468, juz 9, hal. 150)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Disusun di siang hari, 1 Sya’ban 1435 H di Pesantren Darush Sholihin

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/21560-berniat-puasa-setelah-shubuh.html



Sunday, July 26, 2020

Jangan Nodai Ibadah Anda Dengan Niat Duniawi


Abdullah Taslim, Lc., MA. 2 Mei 2013

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.

Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”1.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”2.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya”3.

*Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan*

Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shaleh yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’, karena riya’ biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut4.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: *Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya*5.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh berkata: “Termasuk syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak menghendaki (balasan di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber) penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat ini (firman Allah Ta’ala di atas) turun berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang (kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan) duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya”6.

*Makna dan perbedaannya dengan riya’*

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”, artinya balasan duniawi, “dan perhiasannya”, artinya harta. “Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”7.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)”8.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah Ta’ala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat9.

Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shaleh10.

Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain11.

*Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini*

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat lain12:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS al-Israa’: 18).

Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya, maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah Ta’ala menghendaki, dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena Allah Ta’ala tidak menghendakinya13.

Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah Ta’ala. Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela.

Benarlah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“14.

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: “Binasalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa) pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha (senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka. Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan lepas darinya”15.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia akan murka.

Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan beruntung selamanya16. Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan orang yang menjadi budak harta17, na’uudzu billahi min dzaalik.

*Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal kebaikan*

Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab18 rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:

1) Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Ta’ala) menjaga hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu.

2) Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari pahala akhirat.

3) Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid, sebagaimana ini sering terjadi.

4) Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Ta’ala). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan selain beliau.

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:

• Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk mendapatkan harta.
• Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.
• Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lain-lain.
• Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain19.

*Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya*

Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa hukum asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada niat/keinginan dunia padanya20.

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:

*A*. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”21.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut”22.

Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

1. Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.

2. Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”23.

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut”24.

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama25.

*B*. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dalam ucapan beliau: “Semestinya kita tidak boleh menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam al-Qur-an, tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya) disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)”26.

*C*. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA (Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:

• Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.
• Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar27.

*Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini*

Semua kebaikan ada di tangan Allah Ta’ala, tidak ada seorangpun yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan kecuali Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ. يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yuunus: 107).

Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah kepada Allah Ta’ala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).

Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini termasuk sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari keburukan besar ini.

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari perbuatan syirik adalah doa:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ »

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)”28.

Kemudian termasuk sebab yang paling penting untuk memudahkan kita meraih keikhlasan dalam ibadah dan terhindar dari keburukan syirik dalam segala bentuknya adalah berusaha keras dan berjuang menundukkan hawa nafsu dan keinginannya yang buruk. Inilah sifat penghuni surga yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى}

“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya (Allah Ta’ala) dan menahan diri dari (memperturutkan) keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)’ (QS an-Naazi’aat: 40-41).

Keinginan hawa nafsu yang paling penting dan paling sulit untuk ditundukkan, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, adalah kecintaan dan ambisi mengejar dunia yang berlebihan serta keinginan untuk selalu mendapatkan pujian dan sanjungan. Inilah dua penyakit hati terbesar yang merupakan penghalang utama untuk meraih keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak akan berkumpul (bertemu) keikhlasan dalam hati dengan keinginan (untuk mendapat) pujian dan sanjungan serta kerakuasan terhadap (harta benda duniawi) yang ada di tangan manusia, kecuali seperti berkumpulnya air dan api (tidak mungkin berkumpul selamanya)… Maka jika terbersit dalam dirimu (keinginan) untuk meraih keikhlasan, yang pertama kali hadapilah (sifat) rakus terhadap dunia dan penggallah sifat buruk ini dengan pisau ‘putus asa’ (dengan balasan duniawi yang ada di tangan manusia). Lalu hadapilah (keinginan untuk mendapat) pujian dan sanjungan, bersikap zuhudlah (tidak butuh) terhadap semua itu…Kalau kamu sudah bisa melawan sifat rakus terhadap dunia dan bersikap zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia maka (meraih) ikhlas akan menjadi mudah bagimu”29.

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan cara untuk menghilangkan dua pernyakit buruk penghalang keikhlasan tersebut, beliau berkata: “Adapun (cara untuk) membunuh (sifat) rakus (terhadap balasan duniawi yang ada di tangan manusia, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami secara yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang diinginkan oleh (manusia) kecuali di tangan Allah semata perbendaharaannya, tidak ada yang memiliki/menguasainya selan Dia Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang dapat memberikannya kepada hamba kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala semata. Adapun (berskap) zuhud terhadap pujian dan sanjungan, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami (secara yakin) bahwa tidak ada satupun yang pujiannya bermanfaat serta mendatangkan kebaikan dan celaannya mencelakakan dan mendatangkan keburukan kecuali Allah satu-satunya”30.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya dan menjadi sebab taufik dari Allah Ta’ala bagi kita untuk memurnikan tauhid dan penghambaan diri kepada-Nya serta penjagaan dari segala bentuk kesyirikan yang besar maupun kecil.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 12 Rabi’uts tsani 1434

1. Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 17).
2. Dinukil oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab “Hilyatu thaalibil ‘ilmi” (hal. 11).
3. Kitab “ al-Jawaabul kaafi” (hal. 94).
4. Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 451).
5. Ibid.
6. Kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 404-405).
7. Dinukil oleh Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh dalam kitab “Fathul Majiid” (hal. 451).
8. Dinukil oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsir beliau (15/264).
9. Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/242).
10. Lihat kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 404).
11. Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal. 473) dan “Fathul Majiid” (hal. 451).
12. Lihat keterangan Syaikh Bin Baz pada catatan kaki kitab “Fathul Majiid” (hal. 452).
13. Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 452).
14. HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
15. HSR al-Bukhari (no. 2730), dari Abu Hurairah .
16. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam “Igaatsatul lahfaan” (2/149).
17. Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmuu’ul fataawa” (10/180).
18. Dalam kitab “Fathul Majiid” (hal. 453-454).
19. Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/243).
20. Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/245).
21. HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).
22. HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).
23. HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).
24. HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).
25. Kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 406-407).
26. Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/245).
27. Lihat kitab “al-Qaulul mufiid” (2/244) dan “al-‘Ilmu” (hal. 21).
28. HR al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 716) dan Abu Ya’la (no. 60), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
29. Kitab “al-Fawa-id” (hal. 150).
30. Kitab “al-Fawa-id” (hal. 150).

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthony, MA.

https://muslim.or.id/13945-jangan-nodai-ibadah-anda-dengan-niat-duniawi.html

Hikmah Berqurban